Ada banyak hal di dunia ini yang “ada” karena -dengan sengaja- diadakan. Ada, karena ia dijadikan sebagai alat pembantu untuk mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya sebagai makhluk sosial, sebagai produsen sekaligus konsumen. Uang, adalah salah satunya. Sebuah hasil dari peradaban manusia. Lembaran kertas dan kepingan logam yang hakikatnya hanyalah sebuah benda. Ironisnya, eksistensinya sedemikian terangkat hingga keberadaannya terlihat lebih eksis daripada manusia itu sendiri. Namun sayang, kita tak mampu lepas dari keterikatan kita atas kebutuhan kita sendiri dengan yang namanya uang.
Semakin majunya peradaban maka kebutuhan manusia akan uang semakin tinggi. Bahkan keberhasilan seseorang diukur dari seberapa banyak uang yang ia dapat dalam kurun waktu tertentu. Namun, yang lebih ekstrim adalah bahwa derajat manusia mulai diukur dari seberapa banyak nominal yang ia punya dan seberapa banyak harta yang ia kumpulkan. Siapa yang kaya ia berkuasa.
Lucunya, uang, benda konseptual itu juga bisa mengalami fluktuasi atau perubahan nilai. Maka ada yang namanya deflasi, inflasi dan sebagainya. Uang akan mengalami penurunan nilai jika ketersediaannya melebihi kebutuhan. Uang, benda itu sudah menguasai segalanya. Tentu ingatan kita belum pupus tentang bagaimana seorang spekulan pasar uang sekaliber George Soros, hanya bermodal beberapa milyar dollar mampu menjungkalkan perekonomian negara-negara di Asia Tenggara.
Rumit memang, sejauh kita memahami anatomi “duit”, hal itu tak mampu membuat kita lepas dari keterikatan kita atas kebutuhan kita sendiri. Konsep uang sudah melekat erat, hingga demikian melengketkan manusia pada para penguasa dalam perputarannya. Kita tidak akan bisa merubah fungsi uang sebagai alat bertransaksi dalam kehidupan ini. Kalaupun istilah uang akan hilang, pasti akan muncul benda pengganti yang lain yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan uang.
Dalam Islam, uang maupun benda-benda yang kita miliki disebut harta yang Rasulullah sendiri sudah memperingatkan kita agar tidak “lupa daratan” hanya karena harta. Carilah harta yang banyak, tapi jangan sampai ia mempengaruhi keimanan kita. Taruhlah harta ditanganmu, jangan dihatimu. Begitu kira-kira. Jadi, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan uang. Cara berpikir kitalah yang salah dengan terlalu melebih-lebihkan apa yang kita sebut uang. Lebih parah lagi, kita sudah men-dewa-kan uang dalam hidup ini.
Saya sendiri misalnya, saya tidak pernah berpikir akan sebegitu membutuhkannya dulu. Hingga hari ini, kisah perputaran uang sudah mulai mengalir seiring dengan bertambahnya usia. Namun, saya hanya ingin hal itu tidak benar-benar “merasuki” akal sehatku. Biarlah air mengalir. I need money but I am not crazy about it. Kita yang mengendalikan uang, bukan sebaliknya. Karena kita adalah orang yang agamis, maka mari kita sebut bahwa uang -sebenarnya- hanyalah sebuah titipan, tidak lebih.
Semakin dipikir semakin saya tidak paham dengan tingkah laku manusia zaman sekarang. Apa benar jika kita punya banyak uang maka prosentase ibadah yang kita lakukan akan bertambah dengan uang tersebut? Menurut saya pribadi, yang terpenting adalah “proses” yang kita jalani. Sebuah proses yang diawali dengan niat yang ikhlas yang kemudian dijalani dengan jalan yang halal, yang pada akhirnya kita mempergunakan hasilnya pada jalan yang benar, no matter how much is it. Dan disamping itu kita masih bisa membaginya dengan orang yang lebih membutuhkan. Misalnya, kita bekerja dengan niat ikhlas mencari ridhoNya. Bekerja untuk diri sendiri dan keluarga agar tidak meminta-minta pada orang lain sudah merupakan fi sabilillah. Jika ada kelebihan yang masih bisa digunakan maka tidak ada salahnya jika kita berbagi dengan orang yang membutuhkan.
Simple bukan? Jadi pada intinya mari kita cari harta sebanyak-banyaknya, diawali dengan niat karena-Nya, menjalani dengan cara yang halal dan jangan pernah menggadaikan keimanan dengan harta. Bekerjalah agar -minimal- kita tidak meminta-minta. Dan selebihnya agar kita bisa membantu saudara kita yang membutuhkan.
*gambar dari google
0 komentar :
Post a Comment