Secara etimologis Asbab al Nuzul terdiri dari kata “asbab” (bentuk plural dari kata “sabab”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/ illat.[1] Sedang kata “nuzul” berasal dari
kata “nazala” yang berarti turun[2].
Dengan demikian Asbab al Nuzul adalah suatu konsep, teori, atau berita tentang
sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, baik
berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.
Secara terminology, dalam Mabahist fi ‘ulumil
Qur’an disebutkan bahwa asbab al-nuzul adalah:
هو مـا نزل قرآن بشأنه وقت
وقوعه كحادثة أو سؤال[3].
Asbab al Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya
Al-Qur’an, berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu
kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
Sedangkan dalam Manahil al ‘irfan fi ulum Al-Qur’an disebutkan:
ما نز لت الاية او الايات بسببه متضمنة له او مجبة عنه او مبينة
لحكمه زمن وقوعه.
Segala sesuatu yang menjadi sebab
turunnya ayat maupun rangkaian ayat, baik untuk mengomentari, menjawab, ataupun
menerangkan hukum pada saat sesuatu itu terjadi.
Dengan demikian (menurut definisi
tersebut) yang harus diperhatikan adalah bahwa berbagai peristiwa masa lalu
pada zaman para Nabi dan rasul tidak semuanya termasuk Asbab al Nuzul[4].
Disisi lain, mengetahui waktu, tempat dan
orang-orang dalam segala seluk-beluk kisah suatu ayat atau surah mempunyai
pengaruh yang besar dalam mengukur kedalaman makna ayat dan mengungkap tabir
yang terselubung didalamnya. Begitu pula
sebaliknya, ketidaktahuan terhadap semua itu akan menyebabkan timbulnya
kekeliruan, bahkan bisa menimbulkan pengamalan yang berlawanan dengan yang
dikehendaki oleh suatu ayat.
Bagaimana cara mengetahui Asbab al Nuzul? Dalam kitab-kitab ulum Al- quran (meskipun dengan
redaksi yang berbeda) para ulama sepakat bahwa tidak ada cara lain kecuali
dengan jalan naql atau riwayat yang shahih, baik itu
dari Nabi ataupun sahabat yang secara langsung menyaksikan hal itu serta para
tabiin yang menerima berita dari para sahabat. Al Wahidi berpendapat bahwa tidak diperbolehkan
berpendapat mengenai Asbab al Nuzul ayat-ayat Al-Qur’an kecuali melalui periwayatan,
mendengar dari mereka (sahabat) yang menjadi saksi peristiwa turunnya ayat, dan
mereka yang meneliti (mencari ilmu) tentang sebab-sebab turunnya ayat[5].
Para ulama
memberikan prioritas mutlak terhadap riwayat-riwayat para sahabat, khususnya
apabila disebutkan sebab turunnya ayat dengan jelas bukan menyebutkan hukum
atau dalalah-nya, maka mereka menganggap bahwa tipe
periwayatan semacam itu sebagai periwayatan yang menduduki hadis musnad. Riwayat yang
berasal dari tabiin menduduki hadis marfu' yang dapat diterima apabila sanadnya sahih, dan
tabiin tersebut termasuk imam-imam tafsir yang mendapatkannya dari sahabat
seperti: mujahid, ikrimah, dan said bin Jabir.
B. Urgensi dan Manfaat Mengetahui Asbab al Nuzul
Ilmu Asbab al Nuzul termasuk diantara ilmu-ilmu penting. Ilmu ini membahas dan menyingkapkan hubungan dan
dialektika antara teks (ayat) dan realitas. Diantara hal-hal yang dapat menjadi petunjuk tentang sebab
turunnya sebuah ayat ialah:
1. Jika terjadi sebuah
peristiwa kemudian Allah menurunkan ayat yang berkenaan dengan peristiwa
tersebut. Begitu juga bila disebutkan nama pribadi orang seperti Abu Lahab (kisah
turunnya surat al-Lahab).
2. Jika dimulai dengan
ungkapan dialogis, seperti: “mereka
bertanya kepadamu (Nabi), katakan kepada mereka”, yaitu ketika Rasulullah
ditanya tentang sesuatu hal, kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan
hukumnya.
Masdar f. mas’udi[6] dalam
artikelnya “Relevansi Asbab al Nuzul bagi pandangan
historisis segi-segi tertentu ajaran keagamaan” menyatakan bahwa pengetahuan tentang Asbab al Nuzul akan membantu seseorang memahami konteks
diturunkannya sebuah ayat. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang
implikasi sebuah ayat dan memberi bahan penafsiran dan pemikiran tentang
bagaimana mengaplikasikan ayat tersebut dalam situasi yang berbeda.
Sumber pengetahuan tentang Asbab al Nuzul diperoleh dari penuturan para sahabat Nabi. Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita
lain yang menyangkut persoalan kuat dan lemah, sahih dan dhaif serta otentik dan palsunya berita itu. Semua ini
menjadi bahasan dalam cabang ilmu kritik hadis (ilmu al-jarhu wa at-ta’dil). Sebagaimana persoalan hadis pada umumnya,
penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat
beraneka ragam, sejalan dengan keanekaragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa
informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis. Sebagai contoh
ialah berita tentang firman Allah:
“Kepunyaan Allah-lah
timur dan barat maka kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, disanalah wajah Allah,
sesungguhnya Allah maha luas (rahmatnya) dan maha
mengetahui” (QS. Al Baqarah: 115).
Firman ini turun kepada Nabi
berkaitan dengan peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang
mengadakan perjalanan di malam hari. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa
semalam mereka shalat dengan menghadap kearah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian
mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan
bahwa kemanapun seseorang menghadapkan wajahnya, sebenarnya ia juga menghadap
Tuhan. Karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga Ia ada di
mana-mana, Timur atau pun Barat. Akan tetapi
Karena konteks turunnya ayat itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu diatas,
tidak berarti dalam melaksanakan shalat seorang muslim dapat menghadap
kemanapun ia suka. Ia harus
menghadap kiblat yang sah, yaitu arah masjid al
haram mekah. Namun, ia dibenarkan menghadap mana saja dalam
shalat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau karena kondisi tertentu yang
tidak mungkin baginya menghadap kearah yang benar.
Berkaitan dengan hal ini, Masdar
menyatakan[7]
bahwa firman Allah tentang Timur dan Barat mempunyai kemungkinan implikasi yang
luas. Firman itu
menyangkut kaum yahudi madinah. Menurut
penuturan Ibn Abi Thalhah, ketika Nabi -dengan izin Allah- mengubah kiblat dari
arah Yerussalem kearah Mekah, kaum yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan
yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama?. Maka firman Allah tersebut bermaksud untuk
menampikkan ejekan kaum yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap
dalam shalat bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan
permasalahan nilai keagamaan yang lebih mendalam, seperti keteguhan atau
konsistensi (istiqomah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan.
Dalam kitab-kitab ulum Al-Qur’an atau ulum al Tafsir, baik yang klasik ataupun yang kontemporer,
hampir semua ulama sepakat tentang pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbab
al Nuzul dalam rangka
memahami atau menafsirkan Al-Qur’an. Syaikhul Islam
ibn Taimiyah[8]
menyatakan bahwa penguasaan Asbab al Nuzul merupakan unsur penentu dalam memahami sebuah
ayat, karena sesungguhnya pengetahuan tentang "sebab" akan melahirkan
tentang "akibat".
Secara lebih terperinci, para ulama
menyebutkan beberapa manfaat Asbab al Nuzul, diantaranya adalah:
1. Mengetahui berbagai
hikmah yang terkandung dalam pemberlakuan suatu hukum.
2. Menjelaskan al Hasr (pembatasan) yang terdapat dalam
suatu ayat dengan melihat konteks turunnya.
3. Membantu menentukan
spesifikasi berlakunya suatu hukum (ini bagi pihak yang berpendapat bahwa
ketentuan hukum itu berdasarkan sebab yang khusus/al-‘ibrah bi khusus
al-sabab).
C. Problematika Asbab al Nuzul
Asbab al Nuzul sebagai suatu
peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala
peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Tidak semua hadis tentang Asbab al Nuzul sanadnya muttasil, tetapi ada juga yang sanad periwayatannya
terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam menelaah Asbab al Nuzul suatu ayat, diperlukan ketelitian dalam rangka
mendapatkan data yang akurat dan valid.
Ada empat hal dari Asbab al Nuzul yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari segi
redaksi, periwayatan, peristiwa dan ‘ibrahnya. Keempat segi inilah yang menjadi problematika Asbab al Nuzul.
1.
Redaksi Asbab al Nuzul
Asbab al Nuzul diketahui
melalui beberapa bentuk susunan redaksi. Bentuk-bentuk
redaksi itu akan memberikan penjelasan apakah suatu peristiwa itu merupakan Asbab al Nuzul atau bukan. Redaksi dari
riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab
turunnya ayat. Diantara nash ersebut ada
yang menggunakan pernyataan yang konkret (nash sharih), dan ada pula
yang menggunakan bahasa yang samar, yang kurang jelas maksudnya (Muhtamilah). Mungkin yang dimaksudkannya adalah sebab turunnya
ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Redaksi yang digunakan
para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Al-Qur’an tidak selamanya sama. Redaksi-redaksi
itu berupa beberapa bentuk:
a. Redaksi Asbab al Nuzul
berupa ungkapan yang jelas dan tegas, seperti نزلت هذه الأية كذا (Sebab turun ayat ini adalah begini…..).
b. Redaksi Asbab al Nuzul tidak ditunjukkan dengan lafadz sebab, tetapi
dengan menggunakan tambahan lafadz fa ta’qibiyah (…fa
anzalahu…). Redaksi dengan menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira
seperti “maka” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata
“turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia
mengatakan : “Telah terjadi peristiwa
begini” atau “Rasulullah ditanya
tentang hal begini, maka turunlah
ayat ini”. Dengan demikian kedua bentuk ini (poin a dan b) merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab
turunnya ayat[10].
c. Asbab al Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini Rasulullah ditanya oleh seseorang,
maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru
diterimanya.
d. Asbab al Nuzul tidak disebutkan dengan redaksi sebab secara
jelas, tidak dengan menggunakan fa ta’qibiyah yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa
jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan. Akan tetapi dengan redaksi نزلت هذه الأية فى كذا (ayat
ini diturunkan
mungkin berkenaan dengan…) atau أحسب هذه الأية نزلت فى
كذا (saya kira ayat ini
diturunkan berkenaan dengan…( dan ما أحسب هذه الأية نزلت
إلا فى كذا (saya kira ayat ini tidak
diturunkan kecuali berkenaan dengan…). Redaksi seperti itu tidak secara
definitif menunjukkan sebab, tetapi redaksi itu mengandung dua kemungkinan,
yaitu bermakna sebab turunnya (tentang hukum suatu kasus) atau persoalan yang
sedang dihadapi.
2.
Periwayatan Asbab al
Nuzul
Keterangan dari riwayat-riwayat
tentang Asbab al Nuzul tidak semua bernilai shahih (benar),
seperti halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian yang seksama terhadap keterangan-keterangan
(riwayat-riwayat) tentang Asbab al Nuzul, baik tentang sanad-sanadnya (perawi-perawi)
maupun matan- matannya.
Asbab al Nuzul suatu ayat
terkadang mengandung beberapa riwayat, maka riwayat manakah yang benar-benar
merupakan Asbab al Nuzul, dalam hal seperti ini dapat dilakukan beberapa
cara untuk mengetahuinya, diantaranya:
a. Satu diantara bentuk redaksi riwayat
itu tidak tegas, sedangkan riwayat lain menyebutkan Asbab al Nuzul suatu ayat dengan tegas, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab al Nuzul secara tegas,
dan riwayat lain dipandang masuk dalam kandungan hukum ayat.
b. Apabila banyak riwayat tentang Asbab al Nuzul
dan semuanya menegaskan sebab turunnya, tetapi
hanya salah satu riwayat saja yang shahih, maka yang menjadi pegangan adalah
yang shahih. Disinilah diperlukan penelitian hadis, baik matan
maupun sanad.
c. Apabila beberapa riwayat itu sama
shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran
perowi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sharih,
maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
d. Apabila beberapa riwayat Asbab al Nuzul sama kuat, maka riwayat-riwayat tersebut
dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, sehingga dinyatakan bahwa ayat
tersebut turun sesudah terjadi dua sebab atau lebih, karena jarak waktu
diantara sebab-sebab itu berdekatan.
e. Riwayat-riwayat itu tidak bisa
dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka
hal yang demikian menurut para ulama dianggap sebagai
banyaknya sebab dan berulang-ulang turunnya ayat tersebut. Namun sebagian ulama
berpendapat bahwa pendapat yang menyatakan ayat itu turun berulang-ulang tidak
dapat diterima. Bahkan menurut
Al Qattan[11]
hal ini tidak mempunyai kridit poin yang positif. Kedua riwayat itu bisa ditarjih atau dikuatkan salah satunya.
3.
Peristiwa Asbab al Nuzul
1) Interval waktu antara
peristiwa dan nuzul ayat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama jarak
yang memisahkan antara terjadinya peristiwa atau pernyataan dengan turunnya
ayat Al-Qur’an, sehingga peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai Asbab al Nuzul. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa jarak antara
turunnya ayat dengan peristiwa yang dianggap sebagai Asbab al Nuzul ayat tidak harus dekat, tetapi boleh berjarak
waktu yang cukup lama. Al Wahidi berpendapat bahwa surat Al fill turun karena peristiwa terjadinya penyerangan
tentara gajah ke ka’bah yang terjadi sekitar 40 tahun lebih sebelum
turunnya ayat. Kedua, pendapat lain menyatakan bahwa jarak antara
peristiwa dengan ayat yang diturunkan harus dekat, sehingga ayat yang turun
jauh setelah peristiwa tersebut tidak dapat dipandang sebagai Asbab al Nuzul ayat. Maka peristiwa
serangan tentara gajah bukanlah merupakan Asbab al Nuzul surat Al fill.
2) Banyak nuzul dengan satu sebab (ta’addud al nuzul wa al-sabab wahid).
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini
tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun
berkenaan dengan satu peristiwa[12].
Statemen Al Qattan diatas benar apabila yang dimaksud dengan “satu sebab”
adalah satu tema Asbab al Nuzul yang sama, yang kemudian dianggap satu sebab.
3) Beberapa ayat yang turun
untuk satu orang.
Terkadang seorang sahabat mengalami beberapa peristiwa, yang Al-Qur’an
turun mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena
itu, banyak ayat Al-Qur’an yang turun mengenai dirinya sesuai dengan banyaknya
peristiwa yang terjadi. Misalnya, apa
yang diriwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al adab Al mufrad[13] dari saad bin abi waqas yang menyatakan
bahwa ada empat ayat yang turun berkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum
sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan ayat ke-15 surat Luqman.
وإن جاهداك على أن تشرك بى ما ليس لك
به علم فلا تطعهما وصا حبهما
فى الدنيا معروفا............الأية
(سورة لقمان :15)
“Jika keduanya (ibu bapakmu) memaksa
supaya engkau mempersekutukan Aku (Allah) dengan sesuatu yang lain, yang engkau
tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau ikuti keduanya
dan bergaullah dengan keduanya di dunia secara ma’ruf (baik) dan turutlah jalan
orang yang bertaubat kepada-Ku, kemudian tempat kembalimu kepada-Ku, akan
kubawakan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).
Kedua, ketika aku
mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah,
wahai Rasulullah berikanlah pedang ini kepadaku, maka Allah menurunkan ayat
pertama surat Al anfal.
يسئلو نك عن الأنفال قل الأنفال لله و الرسول...الأية (سورة الأنفال: 1)
“Mereka itu menanyakan kepada engkau
tentang harta rampasan perang, katakanlah: harta rampasan perang itu untuk
Allah dan Rasul, sebab itu takutlah kepada Allah dan perbaikilah urusan diantaramu
dan ikutlah Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang beriman” (QS. Al anfal : 1).
Ketiga, ketika aku
sedang sakit, Rasulullah mengunjungiku. Aku bertanya kepadanya: wahai
Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?
Ia menjawab, tidak. Aku bertanya
lagi bagaimana kalau sepertiganya? Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itulah yang
diperbolehkan[14].
Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras
(khamr), salah seorang diantara merka memukul hidungku dengan tulang rahang
unta, lalu aku datang kepada Rasulullah. Maka Allah
menurunkan larangan minum khamr.
4.
Kaidah al-‘Ibrah
Ada persoalan lain dalam pembahasan Asbab al Nuzul yang perlu kita
perhatikan. Misalnya, Rasulullah ditanya tentang suatu hal maupun ada sebuah
peristiwa yang terjadi kemudian turunlah sebuah/rangkaian ayat untuk
memberiakan penjelasan maupun jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut
menggunakan redaksi ‘aam (umum)
hingga mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus peristiwa
ataupun pertanyaan tersebut. Kemudian apakah ayat tersebut harus dipahami dari
keumuman lafadz ataukah dari sebab khusus (spesifik) tersebut. Apakah ayat
tersebut berlaku secara khusus ataukah umum?
a) Al-‘Ibrah Bi
‘Umum Al-Lafdzi La Bi Khusus As-Sabab
Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan,
tauladan atau pelajaran.[15]
Maka Al-‘Ibrah Bi
‘Umum Al-Lafdzi La Bi Khusus As-Sabab ialah mengambil pelajaran atau hukum dari keumuman
lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila sebuah ayat turun
karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum (general), maka hukum
yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan setiap hal
yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun sebagai syari’at umum
yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok ukur/standar adalah
keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Ada 3 pokok kandungan yang terambil dari kaidah Al-‘Ibrah Bi ‘Umum Al-Lafdzi La Bi Khusus As-Sabab:
a. Yang
jadi hujjah adalah lafadznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
b. Lafadz haruslah diberlakukan secara umum,
kecuali ada dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
c. Para sahabat salalu berhujjah dengan lafadz
umum, walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan mengambil kesimpulan
dari suatu ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan dari sebab turunnya
suatu ayat, merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika seseorang menguasai
kaidah ini, niscaya akan bertambah padanya ilmu dan kebaikan yang banyak, namun
jika tidak maka ia akan terjatuh kepada kesalahan dan kerancuan.
Kaidah ini merupakan kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dan
mereka bersepakat atas benarnya kaidah ini. Dimana kesimpulan dan makna suatu
ayat tidak hanya dibatasi dengan Asbab al Nuzul nya suatu ayat, akan
tetapi melihat secara umum maksud ayat yang diinginkan. Sehingga ketika suatu
ayat mempunyai Asbab al Nuzul, bukan berarti ayat itu hanya khusus
diperuntukkan bagi orang yang terlibat di dalamnya, begitu pula ketika Asbab
al Nuzul suatu ayat berkaitan dengan para sahabat, bukan berarti maksud
dari ayat tersebut adalah hanya untuk para sahabat. Akan tetapi semua ayat,
baik yang mempunyai Asbab al Nuzul ataupun tidak, maka hal tersebut
diperuntukkan bagi seluruh manusia, tidak hanya terbatas pada sahabat atau
orang-orang pada jaman mereka, akan tetapi diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia di setiap tempat dan waktu.
Apabila
ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab yang umum atau sesuai dengan sebab
yang khusus, maka yang umum diterapkan pada keumumannya dan yang khusus pada
kekhususannya. Contohnya :
وَيَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ
وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Al Baqarah : 222)
Kata
Anas dalam suatu riwayat : “Jika istri orang-orang yahudi haid, mereka
dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan di dalam rumah tidak
boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam ditanya tentang
hal itu, maka Alah Ta'ala menurunkan : “Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh…” Kemudian kata Rasulullah : “….dengan mereka di rumah dan
berbuatlah apa saja kecuali jima” (HR. Muslim)
b) Al-‘Ibrah Bi
Khusus As-Sabab La Bi Bi’umum Al-Lafdzi
Disisi
lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus
dipandang dari segi kekhususan dan bukannya dari segi keumuman lafazh (Al-‘Ibrah Bi Khusus As-Sabab La Bi Bi’umum Al-Lafdzi). Jadi,
cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan diturunkannya sebuah
ayat. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian
yang sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan
dari dalil lain, yaitu dengan qiyas apabila memang memenuhi
syarat-syarat qiyas.
Perlu
diberikan catatan bahwa perbedaan pendapat di atas hanya terjadi pada ayat yang
bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku khusus.
Jika ternyata ada petunjuk demikian, tentu seluruh ulama sepakat bahwa hukum
ayat itu hanya berlaku untuk kasus yang disebutkan itu.
D.
Signifikansi Asbab al
Nuzul dalam memahami Al-Qur’an
Asbab al Nuzul mempunyai
peranan penting dalam upaya mengetahui dan memahami maksud suatu ayat dan
hikmah yang terkandung di dalamnya. Asbab al Nuzul juga dibutuhkan terutama untuk menetapkan tujuan
atau sasaran yang ingin dicapai Al-Qur’an ("ideal
moral" Al-Qur’an) atau sebab berlakunya hukum (ratiolegis). Hampir semua ulama sepakat bahwa Asbab al Nuzul itu penting dan mendasar untuk menemukan makna dan
signifikansi ayat-ayat Al-Qur’an. Al wahidi
salah seorang ulama yang mengawali penulisan kitab “Asbab al Nuzul”
menyatakan bahwa tidak mungkin bisa menafsirkan ayat dan mengetahui maknanya,
tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.
Namun demikian ada juga yang
berpendapat bahwa pengaruh Asbab al Nuzul terhadap pemahaman Al-Qur’an tidak begitu penting. Mereka beralasan, karena tidak seluruh ayat dan surat dalam Al-Qur’an
memiliki Asbab al Nuzul. Kalaupun
dihitung jumlahnya tidak signifikan. Bahkan Muhammad Syahrur[16]
berpendapat bahwa Al-Qur’an sebenarnya tidak memiliki Asbab al Nuzul, karena kandungan Al-Qur’an sudah terprogram sejak di lauhul mahfud yang tercermin dalam terminologi Al kitab, Al makmun, dan fi Imam Mubin. Di samping bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam
satu paket wahyu yang utuh pada bulan Ramadhan (Jumlah wahidah),
karenanya tidak ada kaitan antara peristiwa quranik yang diceritakan dalam al
hadis dengan ayat-ayat tersebut. Sebagaimana
firman Allah:
إنا أنزلناه فى ليلة القدر(القدر:1)
“Sesungguhnya kami
menurunkannya pada malam qadr” (QS. Al qadr:1)
شهر رمضان الذى انزل فيه
القران....(البقرة:185)
“Bulan Ramadhan di
dalamnya Al-Qur’an diturunkan…..(QS. Al baqarah:185).
Meskipun Asbab al Nuzul sangat penting dalam menyingkapkan makna teks,
namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab sejumlah besar teks Al-Qur’an
diturunkan tidak selalu mudah[17]. Sebab, terkadang kita dapatkan banyak riwayat
yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi turunnya suatu ayat itu
sendiri (ta'addud al asbab wa al nazil wahid), dan terkadang sebab yang
sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al nazil wa al
sabab wahid). Apakah Asbab al Nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang
yang spesifik atau dapat digeneralisasikan.
Perspektif Kuantitatif
Dalam kitab “Asbab al Nuzul”
karya Al Wahidi, jumlah ayat yang memiliki Asbab al Nuzul sebanyak 715 ayat/11,46% dari keseluruhan ayat Al-Qur’an. Dalam kitab “Lubab al nuqul fi Asbab al Nuzul”
karya Al suyuti terdapat 711 ayat/11,40%. Sedangkan
dalam kitab “Al musnad al shahih min Asbab al Nuzul” karya Muqbil bin Hadi al wadi’i terdapat 333
ayat/5,34% saja[18].
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ayat-ayat yang mempunyai Asbab al Nuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah ayat Al-Qur’an
secara keseluruhan. Namun jumlah surat yang memiliki Asbab al Nuzul menurut ketiga ulama
tersebut cukup dominan, dari 114 surat-surat Al-Qur’an. Jumlah surat yang ayat-ayatnya mempunyai Asbab al Nuzul sebanyak: 82 surat/71,90% (Al wahidi), 103 surat/90,35% (Al suyuti), dan 55 surat/48,24% (Muqbil bin Hadi).
Sedangkan jumlah hadis yang membuat Asbab al Nuzul menurut Al Wahidi memuat 885 hadis dari 715 ayat
yang dijelaskan, sedangkan as suyuti menyatakan 994 hadis dari 711 ayat. Akan tetapi sebagian hadis-hadis tersebut tidak
secara spesifik menceritakan sebab-sebab turunnya sebuah ayat, karena hanya
bersifat menjelaskan tentang posisi Makki dan Madani ayat dan sebagian hadis yang lain, lebih tepat
diistilahkan dengan: “Ma ruwiya min
al hadis bi sabab al hayah “. Dengan kata
lain, tidak semua sahabat menyaksikan turunnya ayat dalam berbagai waktu yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah[19]
menyadari bahwa kita harus membedakan riwayat-riwayat sahabat antara riwayat yang
memastikan sebab turunnya ayat dengan riwayat yang menunjukkan hukumnya (ayat).
Dari perspektif kuantitatif di atas
bisa disimpulkan bahwa sebetulnya penggunaan Asbab al Nuzul digunakan pada ayat-ayat yang tidak dapat
dipahami secara tepat berdasarkan teksnya saja. Diantaranya adalah ayat :
إن الصفا والمروة من شعا ئرالله فمن حج
البيت اواعتمر فلا جناح عليه ان يطوف بهما...... (سورة البقرة :158)
"Sesungguhnya shafa dan marwa
adalah sebagian dari syiar Allah, maka barangsiapa beribadah haji ke baitullah
atau berumah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'I antara keduanya…(QS. Al baqarah:
158).
Dalam redaksi ayat tersebut terdapat
kalimat la junaha (tidak ada dosa besar) yang memberikan pengertian
menafikan kewajiban Sa'i. Kemudian Zubair bertanya kepada kepada Aisyah ra,
tentang hal tersebut yang kemudian diterangkan bahwa kalimat la junaha tidak berarti menafikan kewajiban, melainkan berarti
menghilangkan perasaan berdosa dan beban dari hati kaum muslimin ketika
melaksanakan Sa'i antara Shafa dan Marwa, sebab perbuatan itu termasuk tradisi
jahiliyah. Dalam riwayat disebutkan bahwa di daerah shafa terdapat patung yang
dinamakan Ishaf, dan di atas marwa ada patung lain yang bernama nailah. Jauh sebelum
Islam datang, ketika orang musyrik mengerjakan sa'i, mereka melakukannya sambil mengusap kedua patung tersebut. Setelah Islam datang dan kedua patung itu
dihancurkan, kaum muslimin masih merasa keberatan untuk melakukan Sa'i,
sehingga turunlah ayat tersebut[20].
Kesimpulan
Penjelasan di atas merupakan pembahasan
singkat mengenai posisi dan fungsi Asbab al Nuzul dalam memahami Al-Qur’an. Mengingat bahwa Asbab al Nuzul adalah salah satu dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang penting. Oleh karena itu para ulama menuangkan masalah Asbab al Nuzul dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi
rujukan para ahli. Memang tidak semua ayat Al-Qur’an
membutuhkan penjelasan dengan memakai Asbab al Nuzul.
Sehingga dalam memahami ataupun menafsirkan Al-Qur’an,
faktor pengetahuan Asbab al Nuzul digunakan pada ayat-ayat yang tidak dapat
dipahami secara tepat berdasarkan teksnya saja. Namun ini sama sekali tidak
berarti mengurangi arti penting Asbab al Nuzul, apalagi dianggap tidak perlu lagi.
Melalui Asbab
al Nuzul, pertama, seseorang dapat mengetahui hikmah di balik
syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu. Kedua, seseorang dapat
mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului
turunnya suatu ayat. Ketiga, seseorang dapat menentukan apakah ayat
mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti
diterapkan. Keempat, seseorang mengetahui bahwa Allah selalu memberi
perhatian penuh pada Rasulullah dan hamba-Nya.
Studi tentang Asbab al Nuzul akan selalu menemukan relevansi-nya sepanjang
perjalanan peradaban manusia, mengingat Asbab
al Nuzul menjadi tolok ukur dalam upaya kontekstualisasi teks-teks
Al-Qur’an pada setiap ruang dan waktu serta psiko-sosio-historis yang menyertai
langkah manusia. Wallahu A’lam Bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawwir, Ahmad Warson. 1997 (cet. 14). Kamus Al
munawwir. Surabaya : Pustaka progressif.
Al qattan, Manna’ Kholil.1973. Mabahis fi
ulum Al-Qur’an. Tk.: Mansyurat bi’ashri al hadis.
Al Zarqani . Tt. Manahil al ‘irfan fi ulum
Al-Qur’an. Beirut : Daar al
fikr.
Rowi, Prof. DR. HM. Roem. 2005. Menimbang kembali signifikansi Asbab al Nuzul
dalam pemahaman Al-Qur’an. Surabaya: Tp.
Abu Zayd, Nasr Hamid. 2003 (cet. Revisi). Tekstualitas
Al-Qur’an. Yogyakarta : LkiS.
Al aththar, DR. Dawud.1994 (cet. Ke-1). Perspekltif
baru ilmu Al-Qur’an. Terjemahan
Afif dan Ahsin. Bandung:
Pustaka hidayah.
Mas’udi, Masdar. Tt. “Asbab al Nuzul – Relevansinya bagi pandangan
Historisis segi-segi
tertentu ajaran keagamaan”. Dalam
Munawar, Budhy dan Rachmat. Artikel
yayasan paramadina: KONTEKSTUALISASI DOKTRIN ISLAM DALAM SEJARAH. Jakarta. Yayasan
paramadina.
Lampiran :
Jumlah surat dan ayat yang
memiliki Asbab al Nuzul
menurut As Suyuti dalam karyanya “Lubab Al Nuqul
fi Asbab al Nuzul”.
No.
|
Nama
|
Jml.
ayat
|
Jml.
ayat Asb. Nuzul (%)
|
Nomor
ayat
|
Jml.
hds
|
||||
1
|
Alfatihah
|
7
|
|||||||
2
|
Al
baqarah
|
286
|
71
|
6,7,14,17,19,26,62,76,79,80,81,
89,94,99,100,102,104,118,119,
120,125,130,135,142,143,144,154,
159,164,174,177,178,184,186,187,
188,189,190,195,196,197,198,199,
200,204,207,208,214,215,217,219,
220,221,222,223,228,229,230,231,
237,238,240,241,245,256,257,237
272,274,278,285.
|
152
|
||||
3
|
Ali
imran
|
200
|
33
|
21,26,28,31,58,65,71,72,73,77,79,
86,97,100,113,118,121,128,130,140,
143,144,154,161,165,169,172,181,
186,188,190,195,199.
|
56
|
||||
4
|
Al
Nisa
|
176
|
47
|
3,6,11,19,22,23,24,32,33,34,37,43,
48,49,51,58,59,60,65,66,69,77,83,88,90,92,93,94,95,97,100,101,102,
105,123,124,127,128,135,148,153,154, 155,156,163,166,176.
|
102
|
||||
5
|
Al
maidah
|
120
|
25
|
2,3,4,6,11,15,18,23,38,41,49,51,53,
57,59,64,68,82,87,90,91,93,100,101,106.
|
50
|
||||
6
|
Al
an’am
|
165
|
19
|
19,26,33,52,53,54,55,65,82,91,93,94,108,109,118,119,120,121,122.
|
25
|
||||
7
|
Al
a’raf
|
206
|
5
|
31,32,184,187,204.
|
6
|
||||
8
|
Al
anfal
|
75
|
23
|
1,5,9,17,19,27,30,31,32,33,34,35,36,49,55,58,64,65,67,70,71,73,75.
|
40
|
||||
9
|
Al
taubah
|
129
|
35
|
14,17,18,19,25,28,30,37,38,39,41,43,49,50,53,58,61,65,74,75,79,81,84,
91,99,102,103,107,108,111,113,117,
119,122.
|
57
|
||||
10
|
Yunus
|
109
|
1
|
1
|
1
|
||||
11
|
Hud
|
123
|
3
|
5, 8, 114
|
5
|
||||
12
|
Yusuf
|
111
|
1
|
3
|
2
|
||||
13
|
Al
ra’d
|
43
|
16
|
8,9,10,11,12,13,31,38,39
|
4
|
||||
14
|
Ibrahim
|
52
|
1
|
28
|
1
|
||||
15
|
Al
hijr
|
99
|
5
|
24,45,47,49,95
|
7
|
||||
16
|
Al
nahl
|
128
|
12
|
1,38,41,75,83,91,92,103,106,110,126
|
16
|
||||
17
|
Al
isra’
|
111
|
20
|
15,26,28,29,45,56,59,60,61,73,76,80,
85,88,90,91,92,93,110,111
|
31
|
||||
18
|
Al
kahfi
|
110
|
5
|
6,23,28,104
|
15
|
||||
19
|
Maryam
|
98
|
3
|
64,77,96
|
1
|
||||
20
|
Taha
|
135
|
4
|
1,105,114,131
|
6
|
||||
21
|
Al
anbiya’
|
112
|
4
|
6,34,36,101
|
3
|
||||
22
|
Al
hajj
|
78
|
9
|
3,11,19,25,27,37,39,52,60
|
13
|
||||
23
|
Al
mukminun
|
118
|
4
|
2,14,67,76
|
8
|
||||
24
|
Al
nur
|
64
|
27
|
26,27,29,31,33,48,55,61,62,63
|
38
|
||||
25
|
Al
furqan
|
77
|
7
|
10,20,27,32,68,69,70
|
7
|
||||
26
|
Al
syu’ara
|
227
|
6
|
205,214,224,225,226,227,
|
2
|
||||
27
|
Al
naml
|
93
|
-
|
-
|
-
|
||||
28
|
Al
qasas
|
88
|
6
|
51,52,56,57,61,85
|
9
|
||||
29
|
Al
ankabut
|
69
|
5
|
1,2,8,51,60,68
|
7
|
||||
30
|
Al
rum
|
60
|
3
|
1,27,28
|
3
|
||||
31
|
Luqman
|
34
|
3
|
6,27,34
|
6
|
||||
32
|
Al
sajdah
|
30
|
4
|
16,17,18,28
|
4
|
||||
33
|
Al
ahzab
|
73
|
16
|
1,4,9,12,23,28,35,36,37,40,43,47,50,
51,53,57
|
42
|
||||
34
|
Saba’
|
54
|
2
|
15,34
|
2
|
||||
35
|
Fatir
|
45
|
4
|
8,29,35,42
|
4
|
||||
36
|
Yasin
|
83
|
10
|
1,2,3,4,5,6,7,8,21,77
|
4
|
||||
37
|
Al
saffat
|
182
|
4
|
64,158,165,176
|
5
|
||||
38
|
Sad
|
88
|
8
|
1,2,3,4,5,6,7,8,
|
1
|
||||
39
|
Al
zumar
|
75
|
11
|
3,9,17,23,36,45,53,64,65,66,67
|
19
|
||||
40
|
Al
mu’min
|
85
|
4
|
4,55,56,57
|
4
|
||||
41
|
Fussilat
|
54
|
3
|
22,40,44
|
3
|
||||
42
|
Al
shura’
|
53
|
5
|
16,23,24,25,27
|
5
|
||||
43
|
Al
zuhruf
|
89
|
5
|
19,31,36,57,80
|
5
|
||||
44
|
Al
dukhan
|
59
|
5
|
10,15,16,43,49
|
4
|
||||
45
|
Al
jahiyah
|
37
|
2
|
23,24
|
2
|
||||
46
|
Al
ahqaf
|
35
|
8
|
10,11,17,19
|
8
|
||||
47
|
Muhammad
|
38
|
5
|
1,4,13,16,33
|
5
|
||||
48
|
Al
fath
|
29
|
7
|
1,2,5,18,25,25,27
|
6
|
||||
49
|
Al
hujurat
|
18
|
10
|
1,2,3,4,6,9,11,12,13,17
|
22
|
||||
50
|
Qaf
|
45
|
2
|
35,38
|
1
|
||||
51
|
Al
dhariyat
|
60
|
3
|
19,54,55
|
3
|
||||
52
|
Al
tur
|
49
|
1
|
30
|
1
|
||||
53
|
Al
najm
|
62
|
11
|
32,33,34,35,36,37,38,39,40,41,61
|
5
|
||||
54
|
Al
qamar
|
55
|
5
|
1,45,47,48,49
|
3
|
||||
55
|
Al
rahman
|
78
|
1
|
46
|
1
|
||||
56
|
Al
waqi’ah
|
96
|
12
|
13,27,29,75,76,77,78,79,80,81,82
|
6
|
||||
57
|
Al
hadid
|
29
|
3
|
16,28,29
|
8
|
||||
58
|
Al
mujadilah
|
22
|
9
|
1,8,10,11,12,13,14,18,22
|
13
|
||||
59
|
Al
hasr
|
24
|
4
|
1,5,9,11
|
9
|
||||
60
|
Al
mumtahanah
|
13
|
5
|
1,8,10,11,13
|
9
|
||||
61
|
Al
saf
|
14
|
4
|
1,2,10,11
|
3
|
||||
62
|
Al
jumu’ah
|
11
|
1
|
11
|
2
|
||||
63
|
Al
munafiqun
|
11
|
4
|
5,6,7,8
|
4
|
||||
64
|
Al
taghabun
|
18
|
2
|
14,16
|
3
|
||||
65
|
Al
talaq
|
12
|
3
|
1,2,4
|
7
|
||||
66
|
Al
tahrim
|
12
|
3
|
1,2,5
|
7
|
||||
67
|
Al
mulk
|
30
|
-
|
-
|
-
|
||||
68
|
Al
qalam
|
52
|
6
|
2,4,10,11,13,17
|
6
|
||||
69
|
Al
haqqah
|
52
|
1
|
1,2,4
|
1
|
||||
70
|
Al
ma’arij
|
44
|
2
|
1,2,5
|
3
|
||||
71
|
Nuh
|
28
|
-
|
-
|
-
|
||||
72
|
Al
jin
|
28
|
5
|
2,6,16,18,22
|
8
|
||||
73
|
Al
muzammil
|
20
|
2
|
1,20
|
2
|
||||
74
|
Al
mudasir
|
56
|
11
|
1,2,3,4,5,6,7,11,30,31,52
|
6
|
||||
75
|
Al
qiyamah
|
40
|
3
|
16,34,35
|
3
|
||||
76
|
Al
insan
|
31
|
3
|
8,20,24
|
3
|
||||
77
|
Al
mursalat
|
50
|
1
|
48
|
1
|
||||
78
|
Al
naba’
|
40
|
1
|
1
|
1
|
||||
79
|
Al
naziyat
|
46
|
7
|
10,12,42,43,44,45,46
|
2
|
||||
80
|
‘Abasa
|
40
|
2
|
1,7
|
2
|
||||
81
|
Al
takwir
|
29
|
1
|
29
|
1
|
||||
82
|
Al
infitar
|
19
|
1
|
6
|
1
|
||||
83
|
Al
mutaffifin
|
36
|
1
|
1
|
1
|
||||
84
|
Al
inshiqaq
|
25
|
-
|
||||||
85
|
Al
buruj
|
22
|
-
|
||||||
86
|
Al
tariq
|
17
|
1
|
5
|
1
|
||||
87
|
Al
a’la
|
19
|
1
|
6
|
1
|
||||
88
|
Al
gasiyah
|
26
|
1
|
17
|
1
|
||||
89
|
Al
fajr
|
30
|
1
|
27
|
1
|
||||
90
|
Al
balad
|
20
|
-
|
||||||
91
|
Al
sams
|
15
|
-
|
-
|
|||||
92
|
Al
lail
|
21
|
12
|
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12
|
4
|
||||
93
|
Al
zuha
|
11
|
5
|
1,2,3,4,5
|
5
|
||||
94
|
Al
inshirah
|
8
|
1
|
6
|
1
|
||||
95
|
Al
tin
|
8
|
1
|
5
|
1
|
||||
96
|
Al
‘alaq
|
19
|
6
|
6,9,10,11,12,13
|
3
|
||||
97
|
Al qadar
|
5
|
2
|
1,3
|
3
|
||||
98
|
Al
bayinah
|
8
|
-
|
-
|
|||||
99
|
Al
zalzalah
|
8
|
1
|
7
|
1
|
||||
100
|
Al
‘adiyat
|
11
|
1
|
1
|
1
|
||||
101
|
Al
qari’ah
|
11
|
-
|
-
|
|||||
102
|
Al
takatsur
|
8
|
2
|
1,2
|
2
|
||||
103
|
Al
‘asr
|
3
|
-
|
-
|
|||||
104
|
Al
humazah
|
9
|
9
|
1,2,3,4,5,6,7,8,9
|
3
|
||||
105
|
Al
fiil
|
5
|
-
|
-
|
|||||
106
|
Al
qurays
|
4
|
1
|
1
|
1
|
||||
107
|
Al
ma’un
|
7
|
1
|
4
|
1
|
||||
108
|
Al
kautsar
|
3
|
3
|
1,2,3
|
8
|
||||
109
|
Al
kafirun
|
6
|
6
|
1,2,3,4,5,6
|
3
|
||||
110
|
Al
nasr
|
3
|
3
|
1,2,3
|
1
|
||||
111
|
Al
lahab
|
5
|
5
|
1,2,3,4,5
|
2
|
||||
112
|
Al
ikhlas
|
4
|
4
|
1
|
4
|
||||
113
|
Al
falaq
|
5
|
5
|
1,2,3,4,5
|
1
|
||||
114
|
Al
nas
|
6
|
6
|
1,2,3,4,5,6
|
1
|
||||
Jml
|
6234
|
711
|
994
|
||||||
[1] Al Munawwir,1997:602
[2] Al Munawwir,1997:1409
[3] Al Qattan, Manna’ Kholil. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. (Tk: Mansyurat bi’ashri al hadis. 1973), Hlm:78
[4] Al Zarqani. Manahil al ‘irfan fi ulum Al-Qur’an. (Beirut: Daar al fikr.
Tt), Hlm: 108
[5] As suyuti dalam Abu Zayd, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur’an. (Yogyakarta : LkiS. 2003), Hlm: 132
[6] Beliau adalah Direktur perhimpunan pengembangan
pesantren dan masyarakat (P3M) Jakarta.
[7] Mas’udi, Masdar. Tt. “Asbab al nuzul –
Relevansinya bagi pandangan Historisis segi-segi tertentu ajaran keagamaan”. Dalam Munawar, Budhy dan Rachmat. Artikel yayasan paramadina: KONTEKSTUALISASI
DOKTRIN ISLAM DALAM SEJARAH. Jakarta. Yayasan Paramadina.
[8] Lihat Rowi, Prof.
DR. HM. Roem. Menimbang kembali
signifikansi asbab al nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. (Surabaya: Tp, 2005), Hlm. 10
[9] Untuk
mengetahui perincian faedah mengetahui asbab al nuzul ini, lihat al zarkasyi,al
burhan; al zarqani, manahil al 'irfan; abu syahbah, al madkhal
(lihat pada bab 'fawaid asbab al nuzul'). Dalam Manna’ul qatthan, Mabahist,
hlm: 79
[10] Al Qattan, Manna’ Kholil. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. (Tk: Mansyurat bi’ashri al hadis. 1973), Hlm.
85
[11] Al Qattan, Manna’ Kholil. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. Hlm. 91
[12]
Ibid;
Hlm. 92
[13]
Ibid. Hlm: 94
[14] Firman Allah mengenai wasiat terdapat
dalam surat Al Baqarah: 180
[15] Al Munawir, 1997, Hlm. 888
[16]
Lihat Rowi, Prof. DR. HM. Roem. Menimbang
kembali signifikansi asbab al nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. (Surabaya: Tp, 2005),
Hlm. 12
[17] Pedoman dasar dalam mengetahui Asbab al Nuzul
ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulallah atau shahabat. Itu disebabkan
pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal
itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia punya hukum marfu’ (disandarkan
kepada Rasulallah).
[18] Rowi, Prof. DR. HM. Roem. Menimbang kembali signifikansi asbab al nuzul … Hlm. 16
[19]
Abu Zayd, Nasr
Hamid. Tekstualitas Al-Qur’an. (Yogyakarta : LkiS. 2003), Hlm. 132
[20] Dari kisah ini kita mengetahui sejauh mana
kehati-hatian kaum muslimin terdahulu dan keinginan mereka untuk menjauhi
perbuatan-perbuatan jahiliyah, serta kesadaran dan keihlasan terhadap Islam.
0 komentar :
Post a Comment