a Page of Dhikr
Home » ; Ilmu Asbab Al-Nuzul: Signifikansinya dalam memahami Al-Qur’an

Ilmu Asbab Al-Nuzul: Signifikansinya dalam memahami Al-Qur’an

Written By Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi on 15 February 2017 | February 15, 2017




A.    Pengertian Asbab al Nuzul
Secara etimologis Asbab al Nuzul terdiri dari kata “asbab” (bentuk plural dari kata “sabab”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/ illat.[1] Sedang kata “nuzul” berasal dari kata “nazala” yang berarti turun[2]. Dengan demikian Asbab al Nuzul adalah suatu konsep, teori, atau berita tentang sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat. 


Secara terminology, dalam Mabahist fi ‘ulumil Qur’an disebutkan bahwa asbab al-nuzul adalah:
هو مـا نزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة أو سؤال[3].
Asbab al Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
Sedangkan dalam Manahil al ‘irfan fi ulum Al-Qur’an disebutkan:
ما نز لت الاية او الايات بسببه متضمنة له او مجبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه.
Segala sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat maupun rangkaian ayat, baik untuk mengomentari, menjawab, ataupun menerangkan hukum pada saat sesuatu itu terjadi.

Dengan demikian (menurut definisi tersebut) yang harus diperhatikan adalah bahwa berbagai peristiwa masa lalu pada zaman para Nabi dan rasul tidak semuanya termasuk Asbab al Nuzul[4]. Disisi lain, mengetahui waktu, tempat dan orang-orang dalam segala seluk-beluk kisah suatu ayat atau surah mempunyai pengaruh yang besar dalam mengukur kedalaman makna ayat dan mengungkap tabir yang terselubung didalamnya. Begitu pula sebaliknya, ketidaktahuan terhadap semua itu akan menyebabkan timbulnya kekeliruan, bahkan bisa menimbulkan pengamalan yang berlawanan dengan yang dikehendaki oleh suatu ayat.
Bagaimana cara mengetahui Asbab al NuzulDalam kitab-kitab ulum Al- quran (meskipun dengan redaksi yang berbeda) para ulama sepakat bahwa tidak ada cara lain kecuali dengan jalan naql atau riwayat yang shahih, baik itu dari Nabi ataupun sahabat yang secara langsung menyaksikan hal itu serta para tabiin yang menerima berita dari para sahabat. Al Wahidi berpendapat bahwa tidak diperbolehkan berpendapat mengenai Asbab al Nuzul ayat-ayat Al-Qur’an kecuali melalui periwayatan, mendengar dari mereka (sahabat) yang menjadi saksi peristiwa turunnya ayat, dan mereka yang meneliti (mencari ilmu) tentang sebab-sebab turunnya ayat[5]. 
Para ulama memberikan prioritas mutlak terhadap riwayat-riwayat para sahabat, khususnya apabila disebutkan sebab turunnya ayat dengan jelas bukan menyebutkan hukum atau dalalah-nya, maka mereka menganggap bahwa tipe periwayatan semacam itu sebagai periwayatan yang menduduki hadis musnad. Riwayat yang berasal dari tabiin menduduki hadis marfu' yang dapat diterima apabila sanadnya sahih, dan tabiin tersebut termasuk imam-imam tafsir yang mendapatkannya dari sahabat seperti: mujahid, ikrimah, dan said bin Jabir.

B.     Urgensi dan Manfaat Mengetahui Asbab al Nuzul
Ilmu Asbab al Nuzul termasuk diantara ilmu-ilmu penting. Ilmu ini membahas dan menyingkapkan hubungan dan dialektika antara teks (ayat) dan realitas. Diantara hal-hal yang dapat menjadi petunjuk tentang sebab turunnya sebuah ayat ialah:
1.    Jika terjadi sebuah peristiwa kemudian Allah menurunkan ayat yang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Begitu juga bila disebutkan nama pribadi orang seperti Abu Lahab (kisah turunnya surat al-Lahab).
2.    Jika dimulai dengan ungkapan dialogis, seperti: “mereka bertanya kepadamu (Nabi), katakan kepada mereka”, yaitu ketika Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan hukumnya.
Masdar f. mas’udi[6] dalam artikelnya “Relevansi Asbab al Nuzul bagi pandangan historisis segi-segi tertentu ajaran keagamaan” menyatakan bahwa pengetahuan tentang Asbab al Nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah ayat dan memberi bahan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan ayat tersebut dalam situasi yang berbeda.
Sumber pengetahuan tentang Asbab al Nuzul diperoleh dari penuturan para sahabat Nabi. Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut persoalan kuat dan lemah, sahih dan dhaif serta otentik dan palsunya berita itu. Semua ini menjadi bahasan dalam cabang ilmu kritik hadis (ilmu al-jarhu wa at-ta’dil). Sebagaimana persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keanekaragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis. Sebagai contoh ialah berita tentang firman Allah:

Kepunyaan Allah-lah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, disanalah wajah Allah, sesungguhnya Allah maha luas (rahmatnya) dan maha mengetahui” (QS. Al Baqarah: 115). 

Firman ini turun kepada Nabi berkaitan dengan peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka shalat dengan menghadap kearah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa kemanapun seseorang menghadapkan wajahnya, sebenarnya ia juga menghadap Tuhan. Karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga Ia ada di mana-mana, Timur atau pun Barat. Akan tetapi Karena konteks turunnya ayat itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu diatas, tidak berarti dalam melaksanakan shalat seorang muslim dapat menghadap kemanapun ia suka. Ia harus menghadap kiblat yang sah, yaitu arah masjid al haram mekah. Namun, ia dibenarkan menghadap mana saja dalam shalat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau karena kondisi tertentu yang tidak mungkin baginya menghadap kearah yang benar.
Berkaitan dengan hal ini, Masdar menyatakan[7] bahwa firman Allah tentang Timur dan Barat mempunyai kemungkinan implikasi yang luas. Firman itu menyangkut kaum yahudi madinah. Menurut penuturan Ibn Abi Thalhah, ketika Nabi -dengan izin Allah- mengubah kiblat dari arah Yerussalem kearah Mekah, kaum yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama?. Maka firman Allah tersebut bermaksud untuk menampikkan ejekan kaum yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam shalat bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan permasalahan nilai keagamaan yang lebih mendalam, seperti keteguhan atau konsistensi (istiqomah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan.
Dalam kitab-kitab ulum Al-Qur’an atau ulum al Tafsir, baik yang klasik ataupun yang kontemporer, hampir semua ulama sepakat tentang pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbab al Nuzul dalam rangka memahami atau menafsirkan Al-Qur’an.  Syaikhul Islam ibn Taimiyah[8] menyatakan bahwa penguasaan Asbab al Nuzul merupakan unsur penentu dalam memahami sebuah ayat, karena sesungguhnya pengetahuan tentang "sebab" akan melahirkan tentang "akibat".
Secara lebih terperinci, para ulama menyebutkan beberapa manfaat Asbab al Nuzul, diantaranya adalah:
1.    Mengetahui berbagai hikmah yang terkandung dalam pemberlakuan suatu hukum.
2.    Menjelaskan al Hasr (pembatasan) yang terdapat dalam suatu ayat dengan melihat konteks turunnya.
3.    Membantu menentukan spesifikasi berlakunya suatu hukum (ini bagi pihak yang berpendapat bahwa ketentuan hukum itu berdasarkan sebab yang khusus/al-‘ibrah bi khusus al-sabab).
4.    Memudahkan pemahaman dan menguatkan ingatan terhadap kandungan wahyu yang diketahui sebab-sebab kejadiannya.[9]

C.    Problematika Asbab al Nuzul
Asbab al Nuzul sebagai suatu peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Tidak semua hadis tentang Asbab al Nuzul sanadnya muttasil, tetapi ada juga yang sanad periwayatannya terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam menelaah Asbab al Nuzul suatu ayat, diperlukan ketelitian dalam rangka mendapatkan data yang akurat dan valid. 
Ada empat hal dari Asbab al Nuzul yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari segi redaksi, periwayatan, peristiwa dan ‘ibrahnya. Keempat segi inilah yang menjadi problematika Asbab al Nuzul.

1.      Redaksi Asbab al Nuzul
Asbab al Nuzul diketahui melalui beberapa bentuk susunan redaksi. Bentuk-bentuk redaksi itu akan memberikan penjelasan apakah suatu peristiwa itu merupakan Asbab al Nuzul atau bukan. Redaksi dari riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat. Diantara nash ersebut ada yang menggunakan pernyataan yang konkret (nash sharih), dan ada pula yang menggunakan bahasa yang samar, yang kurang jelas maksudnya (Muhtamilah). Mungkin yang dimaksudkannya adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Redaksi yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Al-Qur’an tidak selamanya sama. Redaksi-redaksi itu berupa beberapa bentuk:
a.   Redaksi Asbab al Nuzul berupa ungkapan yang jelas dan tegas, seperti نزلت هذه الأية كذا (Sebab turun ayat ini adalah begini…..). 
b.  Redaksi Asbab al Nuzul tidak ditunjukkan dengan lafadz sebab, tetapi dengan menggunakan tambahan lafadz  fa ta’qibiyah (…fa anzalahu…). Redaksi dengan menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia mengatakan : “Telah terjadi peristiwa begini” atau “Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”. Dengan demikian kedua bentuk ini (poin a dan b) merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab turunnya ayat[10].
c.   Asbab al Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini Rasulullah ditanya oleh seseorang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya.
d.   Asbab al Nuzul tidak disebutkan dengan redaksi sebab secara jelas, tidak dengan menggunakan fa ta’qibiyah yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan. Akan tetapi dengan redaksi نزلت هذه الأية فى كذا (ayat ini diturunkan mungkin berkenaan dengan…) atau أحسب هذه الأية نزلت فى كذا (saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…( dan ما أحسب هذه الأية نزلت إلا فى كذا (saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan…). Redaksi seperti itu tidak secara definitif menunjukkan sebab, tetapi redaksi itu mengandung dua kemungkinan, yaitu bermakna sebab turunnya (tentang hukum suatu kasus) atau persoalan yang sedang dihadapi.

2.      Periwayatan Asbab al Nuzul
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang Asbab al Nuzul tidak semua bernilai shahih (benar), seperti halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang Asbab al Nuzul, baik tentang sanad-sanadnya (perawi-perawi) maupun matan- matannya.
Asbab al Nuzul suatu ayat terkadang mengandung beberapa riwayat, maka riwayat manakah yang benar-benar merupakan Asbab al Nuzul, dalam hal seperti ini dapat dilakukan beberapa cara untuk mengetahuinya, diantaranya:
a.     Satu diantara bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, sedangkan riwayat lain menyebutkan Asbab al Nuzul suatu ayat dengan tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab al Nuzul secara tegas, dan riwayat lain dipandang masuk dalam kandungan hukum ayat. 
b. Apabila banyak riwayat tentang Asbab al Nuzul dan semuanya menegaskan sebab turunnya, tetapi hanya salah satu riwayat saja yang shahih, maka yang menjadi pegangan adalah yang shahih. Disinilah diperlukan penelitian hadis, baik matan maupun sanad. 
c.  Apabila beberapa riwayat itu sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perowi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sharih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. 
d.  Apabila beberapa riwayat Asbab al Nuzul sama kuat, maka riwayat-riwayat tersebut dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, sehingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua sebab atau lebih, karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
e.  Riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian menurut para ulama dianggap sebagai banyaknya sebab dan berulang-ulang turunnya ayat tersebut. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa pendapat yang menyatakan ayat itu turun berulang-ulang tidak dapat diterima. Bahkan menurut Al Qattan[11] hal ini tidak mempunyai kridit poin yang positif. Kedua riwayat itu bisa ditarjih atau dikuatkan salah satunya.

3.      Peristiwa Asbab al Nuzul
1)      Interval waktu antara peristiwa dan nuzul ayat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama jarak yang memisahkan antara terjadinya peristiwa atau pernyataan dengan turunnya ayat Al-Qur’an, sehingga peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai Asbab al Nuzul. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa jarak antara turunnya ayat dengan peristiwa yang dianggap sebagai Asbab al Nuzul ayat tidak harus dekat, tetapi boleh berjarak waktu yang cukup lama. Al Wahidi berpendapat bahwa surat Al fill turun karena peristiwa terjadinya penyerangan tentara gajah ke ka’bah yang terjadi sekitar 40 tahun lebih sebelum turunnya ayat. Kedua, pendapat lain menyatakan bahwa jarak antara peristiwa dengan ayat yang diturunkan harus dekat, sehingga ayat yang turun jauh setelah peristiwa tersebut tidak dapat dipandang sebagai Asbab al Nuzul ayat. Maka peristiwa serangan tentara gajah bukanlah merupakan Asbab al Nuzul surat Al fill.

2)      Banyak nuzul dengan satu sebab (ta’addud al nuzul wa al-sabab wahid).
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun berkenaan dengan satu peristiwa[12]. Statemen Al Qattan diatas benar apabila yang dimaksud dengan “satu sebab” adalah satu tema Asbab al Nuzul yang sama, yang kemudian dianggap satu sebab.

3)      Beberapa ayat yang turun untuk satu orang.
Terkadang seorang sahabat mengalami beberapa peristiwa, yang Al-Qur’an turun mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur’an yang turun mengenai dirinya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al adab Al mufrad[13] dari saad bin abi waqas yang menyatakan bahwa ada empat ayat yang turun berkenaan denganku.  Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan ayat ke-15 surat Luqman.
وإن جاهداك على أن تشرك بى ما ليس لك به علم فلا تطعهما وصا حبهما
فى الدنيا معروفا............الأية (سورة لقمان :15)

“Jika keduanya (ibu bapakmu) memaksa supaya engkau mempersekutukan Aku (Allah) dengan sesuatu yang lain, yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau ikuti keduanya dan bergaullah dengan keduanya di dunia secara ma’ruf (baik) dan turutlah jalan orang yang bertaubat kepada-Ku, kemudian tempat kembalimu kepada-Ku, akan kubawakan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah, wahai Rasulullah berikanlah pedang ini kepadaku, maka Allah menurunkan ayat pertama surat Al anfal.
يسئلو نك عن الأنفال قل الأنفال لله و الرسول...الأية (سورة الأنفال: 1)
“Mereka itu menanyakan kepada engkau tentang harta rampasan perang, katakanlah: harta rampasan perang itu untuk Allah dan Rasul, sebab itu takutlah kepada Allah dan perbaikilah urusan diantaramu dan ikutlah Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang beriman” (QS. Al anfal : 1).

Ketiga, ketika aku sedang sakit, Rasulullah mengunjungiku. Aku bertanya kepadanya: wahai Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya? Ia menjawab, tidak. Aku bertanya lagi bagaimana kalau sepertiganya? Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itulah yang diperbolehkan[14]. 
Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr), salah seorang diantara merka memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rasulullah. Maka Allah menurunkan larangan minum khamr.

4.      Kaidah al-‘Ibrah
Ada persoalan lain dalam pembahasan Asbab al Nuzul yang perlu kita perhatikan. Misalnya, Rasulullah ditanya tentang suatu hal maupun ada sebuah peristiwa yang terjadi kemudian turunlah sebuah/rangkaian ayat untuk memberiakan penjelasan maupun jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘aam (umum) hingga mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus peristiwa ataupun pertanyaan tersebut. Kemudian apakah ayat tersebut harus dipahami dari keumuman lafadz ataukah dari sebab khusus (spesifik) tersebut. Apakah ayat tersebut berlaku secara khusus ataukah umum?

a)    Al-‘Ibrah Bi ‘Umum Al-Lafdzi La Bi Khusus As-Sabab
Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan, tauladan atau pelajaran.[15] Maka Al-‘Ibrah Bi ‘Umum Al-Lafdzi La Bi Khusus As-Sabab ialah mengambil pelajaran atau hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum (general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Ada 3 pokok kandungan yang terambil dari kaidah Al-‘Ibrah Bi ‘Umum Al-Lafdzi La Bi Khusus As-Sabab:
a.    Yang  jadi hujjah adalah lafadznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
b.    Lafadz haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
c.    Para sahabat salalu berhujjah dengan lafadz umum, walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan mengambil kesimpulan dari suatu ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan dari sebab turunnya suatu ayat, merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika seseorang menguasai kaidah ini, niscaya akan bertambah padanya ilmu dan kebaikan yang banyak, namun jika tidak maka ia akan terjatuh kepada kesalahan dan kerancuan.
Kaidah ini merupakan kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dan mereka bersepakat atas benarnya kaidah ini. Dimana kesimpulan dan makna suatu ayat tidak hanya dibatasi dengan Asbab al Nuzul nya suatu ayat, akan tetapi melihat secara umum maksud ayat yang diinginkan. Sehingga ketika suatu ayat mempunyai Asbab al Nuzul, bukan berarti ayat itu hanya khusus diperuntukkan bagi orang yang terlibat di dalamnya, begitu pula ketika Asbab al Nuzul suatu ayat berkaitan dengan para sahabat, bukan berarti maksud dari ayat tersebut adalah hanya untuk para sahabat. Akan tetapi semua ayat, baik yang mempunyai Asbab al Nuzul ataupun tidak, maka hal tersebut diperuntukkan bagi seluruh manusia, tidak hanya terbatas pada sahabat atau orang-orang pada jaman mereka, akan tetapi diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di setiap tempat dan waktu.
Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab yang umum atau sesuai dengan sebab yang khusus, maka yang umum diterapkan pada keumumannya dan yang khusus pada kekhususannya. Contohnya :


وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al Baqarah : 222)
Kata Anas dalam suatu riwayat : “Jika istri orang-orang yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam ditanya tentang hal itu, maka Alah Ta'ala menurunkan : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh…” Kemudian kata Rasulullah : “….dengan mereka di rumah dan berbuatlah apa saja kecuali jima” (HR. Muslim)

b)   Al-‘Ibrah Bi Khusus As-Sabab La Bi Bi’umum Al-Lafdzi
Disisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus dipandang dari segi kekhususan dan bukannya dari segi keumuman lafazh (Al-‘Ibrah Bi Khusus As-Sabab La Bi Bi’umum Al-Lafdzi). Jadi, cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan diturunkannya sebuah ayat. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan dari dalil lain, yaitu dengan qiyas apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas.
Perlu diberikan catatan bahwa perbedaan pendapat di atas hanya terjadi pada ayat yang bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku khusus. Jika ternyata ada petunjuk demikian, tentu seluruh ulama sepakat bahwa hukum ayat itu hanya berlaku untuk kasus yang disebutkan itu.

D.    Signifikansi Asbab al Nuzul dalam memahami Al-Qur’an
Asbab al Nuzul mempunyai peranan penting dalam upaya mengetahui dan memahami maksud suatu ayat dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Asbab al Nuzul juga dibutuhkan terutama untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai Al-Qur’an ("ideal moral" Al-Qur’an) atau sebab berlakunya hukum (ratiolegis). Hampir semua ulama sepakat bahwa Asbab al Nuzul itu penting dan mendasar untuk menemukan makna dan signifikansi ayat-ayat Al-Qur’an. Al wahidi salah seorang ulama yang mengawali penulisan kitab “Asbab al Nuzul” menyatakan bahwa tidak mungkin bisa menafsirkan ayat dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.
Namun demikian ada juga yang berpendapat bahwa pengaruh Asbab al Nuzul terhadap pemahaman Al-Qur’an tidak begitu penting. Mereka beralasan, karena tidak seluruh ayat dan surat dalam Al-Qur’an memiliki Asbab al Nuzul. Kalaupun dihitung jumlahnya tidak signifikan. Bahkan Muhammad Syahrur[16] berpendapat bahwa Al-Qur’an sebenarnya tidak memiliki Asbab al Nuzul, karena kandungan Al-Qur’an sudah terprogram sejak di lauhul mahfud yang tercermin dalam terminologi Al kitab, Al makmun, dan fi Imam Mubin. Di samping bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam satu paket wahyu yang utuh pada bulan Ramadhan (Jumlah wahidah), karenanya tidak ada kaitan antara peristiwa quranik yang diceritakan dalam al hadis dengan ayat-ayat tersebut. Sebagaimana firman Allah:
إنا أنزلناه فى ليلة القدر(القدر:1)
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam qadr” (QS. Al qadr:1)
شهر رمضان الذى انزل فيه القران....(البقرة:185)
“Bulan Ramadhan di dalamnya Al-Qur’an diturunkan…..(QS. Al baqarah:185).

Meskipun Asbab al Nuzul sangat penting dalam menyingkapkan makna teks, namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab sejumlah besar teks Al-Qur’an diturunkan tidak selalu mudah[17]. Sebab, terkadang kita dapatkan banyak riwayat yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi turunnya suatu ayat itu sendiri (ta'addud al asbab wa al nazil wahid), dan terkadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al nazil wa al sabab wahid). Apakah Asbab al Nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan.

Perspektif Kuantitatif

Dalam kitab “Asbab al Nuzul” karya Al Wahidi, jumlah ayat yang memiliki Asbab al Nuzul sebanyak 715 ayat/11,46% dari keseluruhan ayat Al-Qur’an. Dalam kitab “Lubab al nuqul fi Asbab al Nuzul” karya Al suyuti terdapat 711 ayat/11,40%. Sedangkan dalam kitab “Al musnad al shahih min Asbab al Nuzul” karya Muqbil bin Hadi al wadi’i terdapat 333 ayat/5,34% saja[18]. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ayat-ayat yang mempunyai Asbab al Nuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah ayat Al-Qur’an secara keseluruhan. Namun jumlah surat yang memiliki Asbab al Nuzul menurut ketiga ulama tersebut cukup dominan, dari 114 surat-surat Al-Qur’an. Jumlah surat yang ayat-ayatnya mempunyai Asbab al Nuzul sebanyak: 82 surat/71,90% (Al wahidi), 103 surat/90,35% (Al suyuti), dan 55 surat/48,24% (Muqbil bin Hadi).
Sedangkan jumlah hadis yang membuat Asbab al Nuzul menurut Al Wahidi memuat 885 hadis dari 715 ayat yang dijelaskan, sedangkan as suyuti menyatakan 994 hadis dari 711 ayat. Akan tetapi sebagian hadis-hadis tersebut tidak secara spesifik menceritakan sebab-sebab turunnya sebuah ayat, karena hanya bersifat menjelaskan tentang posisi Makki dan Madani ayat dan sebagian hadis yang lain, lebih tepat diistilahkan dengan: “Ma ruwiya min al hadis bi sabab al hayah “. Dengan kata lain, tidak semua sahabat menyaksikan turunnya ayat dalam berbagai waktu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah[19] menyadari bahwa kita harus membedakan riwayat-riwayat sahabat antara riwayat yang memastikan sebab turunnya ayat dengan riwayat yang menunjukkan hukumnya (ayat).
Dari perspektif kuantitatif di atas bisa disimpulkan bahwa sebetulnya penggunaan Asbab al Nuzul digunakan pada ayat-ayat yang tidak dapat dipahami secara tepat berdasarkan teksnya saja. Diantaranya adalah ayat :
 إن الصفا والمروة من شعا ئرالله فمن حج البيت اواعتمر فلا جناح عليه ان يطوف بهما...... (سورة البقرة :158)

"Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian dari syiar Allah, maka barangsiapa beribadah haji ke baitullah atau berumah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'I antara keduanya…(QS. Al baqarah: 158).

Dalam redaksi ayat tersebut terdapat kalimat la junaha (tidak ada dosa besar) yang memberikan pengertian menafikan kewajiban Sa'i. Kemudian Zubair bertanya kepada kepada Aisyah ra, tentang hal tersebut yang kemudian diterangkan bahwa kalimat la junaha tidak berarti menafikan kewajiban, melainkan berarti menghilangkan perasaan berdosa dan beban dari hati kaum muslimin ketika melaksanakan Sa'i antara Shafa dan Marwa, sebab perbuatan itu termasuk tradisi jahiliyah. Dalam riwayat disebutkan bahwa di daerah shafa terdapat patung yang dinamakan Ishaf, dan di atas marwa ada patung lain yang bernama nailah. Jauh sebelum Islam datang, ketika orang musyrik mengerjakan sa'i, mereka melakukannya sambil mengusap kedua patung tersebut. Setelah Islam datang dan kedua patung itu dihancurkan, kaum muslimin masih merasa keberatan untuk melakukan Sa'i, sehingga turunlah ayat tersebut[20].


Kesimpulan
Penjelasan di atas merupakan pembahasan singkat mengenai posisi dan fungsi Asbab al Nuzul dalam memahami Al-Qur’an. Mengingat bahwa Asbab al Nuzul adalah salah satu dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang penting. Oleh karena itu para ulama menuangkan masalah Asbab al Nuzul dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli. Memang tidak semua ayat Al-Qur’an membutuhkan penjelasan dengan memakai Asbab al Nuzul.  Sehingga dalam memahami ataupun menafsirkan Al-Qur’an, faktor pengetahuan Asbab al Nuzul digunakan pada ayat-ayat yang tidak dapat dipahami secara tepat berdasarkan teksnya saja. Namun ini sama sekali tidak berarti mengurangi arti penting Asbab al Nuzul, apalagi dianggap tidak perlu lagi.
            Melalui Asbab al Nuzul, pertama, seseorang dapat mengetahui hikmah di balik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu. Kedua, seseorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat. Ketiga, seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan. Keempat, seseorang mengetahui bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada Rasulullah dan hamba-Nya.
Studi tentang Asbab al Nuzul akan selalu menemukan relevansi-nya sepanjang perjalanan peradaban manusia, mengingat Asbab al Nuzul menjadi tolok ukur dalam upaya kontekstualisasi teks-teks Al-Qur’an pada setiap ruang dan waktu serta psiko-sosio-historis yang menyertai langkah manusia. Wallahu A’lam Bishshawab.




DAFTAR PUSTAKA

Al Munawwir, Ahmad Warson. 1997 (cet. 14). Kamus Al munawwir. Surabaya : Pustaka progressif.

Al qattan, Manna’ Kholil.1973. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. Tk.: Mansyurat bi’ashri al hadis.

Al Zarqani . Tt. Manahil al ‘irfan fi ulum Al-Qur’an. Beirut : Daar al fikr.

Rowi, Prof. DR. HM. Roem. 2005. Menimbang kembali signifikansi Asbab al Nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. Surabaya: Tp.

Abu Zayd, Nasr Hamid. 2003 (cet. Revisi). Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta : LkiS.

Al aththar, DR. Dawud.1994 (cet. Ke-1). Perspekltif baru ilmu Al-Qur’an. Terjemahan Afif dan Ahsin. Bandung: Pustaka hidayah.

Mas’udi, Masdar. Tt. Asbab al Nuzul – Relevansinya bagi pandangan Historisis segi-segi tertentu ajaran keagamaan”. Dalam Munawar, Budhy dan Rachmat. Artikel yayasan paramadina: KONTEKSTUALISASI DOKTRIN ISLAM DALAM SEJARAH. Jakarta. Yayasan paramadina.




Lampiran :
Jumlah surat dan ayat yang memiliki Asbab al Nuzul
menurut As Suyuti dalam karyanya “Lubab Al Nuqul fi Asbab al Nuzul”.

No.
Nama
Jml.
ayat
Jml. ayat Asb. Nuzul (%)
Nomor ayat


Jml. hds
1
Alfatihah
7





2
Al baqarah
286
71
6,7,14,17,19,26,62,76,79,80,81,
89,94,99,100,102,104,118,119,
120,125,130,135,142,143,144,154,
159,164,174,177,178,184,186,187,
188,189,190,195,196,197,198,199,
200,204,207,208,214,215,217,219,
220,221,222,223,228,229,230,231, 237,238,240,241,245,256,257,237
272,274,278,285.


152
3
Ali imran
200
33
21,26,28,31,58,65,71,72,73,77,79,
86,97,100,113,118,121,128,130,140,
143,144,154,161,165,169,172,181,
186,188,190,195,199.


56
4
Al Nisa
176
47
3,6,11,19,22,23,24,32,33,34,37,43,
48,49,51,58,59,60,65,66,69,77,83,88,90,92,93,94,95,97,100,101,102,
105,123,124,127,128,135,148,153,154, 155,156,163,166,176.


102
5
Al maidah
120
25
2,3,4,6,11,15,18,23,38,41,49,51,53,
57,59,64,68,82,87,90,91,93,100,101,106.


50
6
Al an’am
165
19
19,26,33,52,53,54,55,65,82,91,93,94,108,109,118,119,120,121,122.


25
7
Al a’raf
206
5
31,32,184,187,204.


6
8
Al anfal
75
23
1,5,9,17,19,27,30,31,32,33,34,35,36,49,55,58,64,65,67,70,71,73,75.


40
9
Al taubah
129
35
14,17,18,19,25,28,30,37,38,39,41,43,49,50,53,58,61,65,74,75,79,81,84,
91,99,102,103,107,108,111,113,117,
119,122.


57
10
Yunus
109
1
1


1
11
Hud
123
3
5, 8, 114


5
12
Yusuf
111
1
3


2
13
Al ra’d
43
16
8,9,10,11,12,13,31,38,39


4
14
Ibrahim
52
1
28


1
15
Al hijr
99
5
24,45,47,49,95


7
16
Al nahl
128
12
1,38,41,75,83,91,92,103,106,110,126


16
17
Al isra’
111
20
15,26,28,29,45,56,59,60,61,73,76,80,
85,88,90,91,92,93,110,111


31
18
Al kahfi
110
5
6,23,28,104


15
19
Maryam
98
3
64,77,96


1
20
Taha
135
4
1,105,114,131


6
21
Al anbiya’
112
4
6,34,36,101


3
22
Al hajj
78
9
3,11,19,25,27,37,39,52,60


13
23
Al mukminun
118
4
2,14,67,76


8
24
Al nur
64
27
26,27,29,31,33,48,55,61,62,63


38
25
Al furqan
77
7
10,20,27,32,68,69,70


7
26
Al syu’ara
227
6
205,214,224,225,226,227,


2
27
Al naml
93
-
-


-
28
Al qasas
88
6
51,52,56,57,61,85


9
29
Al ankabut
69
5
1,2,8,51,60,68


7
30
Al rum
60
3
1,27,28


3
31
Luqman
34
3
6,27,34


6
32
Al sajdah
30
4
16,17,18,28


4
33
Al ahzab
73
16
1,4,9,12,23,28,35,36,37,40,43,47,50,
51,53,57


42
34
Saba’
54
2
15,34


2
35
Fatir
45
4
8,29,35,42


4
36
Yasin
83
10
1,2,3,4,5,6,7,8,21,77


4
37
Al saffat
182
4
64,158,165,176


5
38
Sad
88
8
1,2,3,4,5,6,7,8,


1
39
Al zumar
75
11
3,9,17,23,36,45,53,64,65,66,67


19
40
Al mu’min
85
4
4,55,56,57


4
41
Fussilat
54
3
22,40,44


3
42
Al shura’
53
5
16,23,24,25,27


5
43
Al zuhruf
89
5
19,31,36,57,80


5
44
Al dukhan
59
5
10,15,16,43,49


4
45
Al jahiyah
37
2
23,24


2
46
Al ahqaf
35
8
10,11,17,19


8
47
Muhammad
38
5
1,4,13,16,33


5
48
Al fath
29
7
1,2,5,18,25,25,27


6
49
Al hujurat
18
10
1,2,3,4,6,9,11,12,13,17


22
50
Qaf
45
2
35,38


1
51
Al dhariyat
60
3
19,54,55


3
52
Al tur
49
1
30


1
53
Al najm
62
11
32,33,34,35,36,37,38,39,40,41,61


5
54
Al qamar
55
5
1,45,47,48,49


3
55
Al rahman
78
1
46


1
56
Al waqi’ah
96
12
13,27,29,75,76,77,78,79,80,81,82


6
57
Al hadid
29
3
16,28,29


8
58
Al mujadilah
22
9
1,8,10,11,12,13,14,18,22


13
59
Al hasr
24
4
1,5,9,11


9
60
Al mumtahanah
13
5
1,8,10,11,13


9
61
Al saf
14
4
1,2,10,11


3
62
Al jumu’ah
11
1
11


2
63
Al munafiqun
11
4
5,6,7,8


4
64
Al taghabun
18
2
14,16


3
65
Al talaq
12
3
1,2,4


7
66
Al tahrim
12
3
1,2,5


7
67
Al mulk
30
-
-


-
68
Al qalam
52
6
2,4,10,11,13,17


6
69
Al haqqah
52
1
1,2,4


1
70
Al ma’arij
44
2
1,2,5


3
71
Nuh
28
-
-


-
72
Al jin
28
5
2,6,16,18,22


8
73
Al muzammil
20
2
1,20


2
74
Al mudasir
56
11
1,2,3,4,5,6,7,11,30,31,52


6
75
Al qiyamah
40
3
16,34,35


3
76
Al insan
31
3
8,20,24


3
77
Al mursalat
50
1
48


1
78
Al naba’
40
1
1


1
79
Al naziyat
46
7
10,12,42,43,44,45,46


2
80
‘Abasa
40
2
1,7


2
81
Al takwir
29
1
29


1
82
Al infitar
19
1
6


1
83
Al mutaffifin
36
1
1


1
84
Al inshiqaq
25

-



85
Al buruj
22

-



86
Al tariq
17
1
5


1
87
Al a’la
19
1
6


1
88
Al gasiyah
26
1
17


1
89
Al fajr
30
1
27


1
90
Al balad
20

-



91
Al sams
15

-


-
92
Al lail
21
12
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12


4
93
Al zuha
11
5
1,2,3,4,5


5
94
Al inshirah
8
1
6


1
95
Al tin
8
1
5


1
96
Al ‘alaq
19
6
6,9,10,11,12,13


3
97
Al qadar
5
2
1,3


3
98
Al bayinah
8

-


-
99
Al zalzalah
8
1
7


1
100
Al ‘adiyat
11
1
1


1
101
Al qari’ah
11

-


-
102
Al takatsur
8
2
1,2


2
103
Al ‘asr
3

-


-
104
Al humazah
9
9
1,2,3,4,5,6,7,8,9


3
105
Al fiil
5

-


-
106
Al qurays
4
1
1


1
107
Al ma’un
7
1
4


1
108
Al kautsar
3
3
1,2,3


8
109
Al kafirun
6
6
1,2,3,4,5,6


3
110
Al nasr
3
3
1,2,3


1
111
Al lahab
5
5
1,2,3,4,5


2
112
Al ikhlas
4
4
1


4
113
Al falaq
5
5
1,2,3,4,5


1
114
Al nas
6
6
1,2,3,4,5,6


1
Jml

6234
711



994























[1] Al Munawwir,1997:602
[2] Al Munawwir,1997:1409
[3] Al Qattan, Manna’ Kholil. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. (Tk: Mansyurat bi’ashri al hadis. 1973), Hlm:78
[4] Al Zarqani. Manahil al ‘irfan fi ulum Al-Qur’an. (Beirut: Daar al fikr. Tt), Hlm: 108
[5] As suyuti dalam Abu Zayd, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur’an. (Yogyakarta : LkiS. 2003), Hlm: 132
[6] Beliau adalah Direktur perhimpunan pengembangan pesantren dan masyarakat (P3M) Jakarta.
[7] Mas’udi, Masdar. Tt. Asbab al nuzul – Relevansinya bagi pandangan Historisis segi-segi tertentu ajaran keagamaan”. Dalam Munawar, Budhy dan Rachmat. Artikel yayasan paramadina: KONTEKSTUALISASI DOKTRIN ISLAM DALAM SEJARAH. Jakarta. Yayasan Paramadina.
[8] Lihat Rowi, Prof. DR. HM. Roem. Menimbang kembali signifikansi asbab al nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. (Surabaya: Tp, 2005), Hlm. 10
[9]  Untuk mengetahui perincian faedah mengetahui asbab al nuzul ini, lihat al zarkasyi,al burhan; al zarqani, manahil al 'irfan; abu syahbah, al madkhal (lihat pada bab 'fawaid asbab al nuzul'). Dalam Manna’ul qatthan, Mabahist, hlm: 79
[10] Al Qattan, Manna’ Kholil. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. (Tk: Mansyurat bi’ashri al hadis. 1973), Hlm. 85
[11] Al Qattan, Manna’ Kholil. Mabahis fi ulum Al-Qur’an. Hlm. 91

[12] Ibid; Hlm. 92
[13] Ibid. Hlm: 94
[14] Firman Allah mengenai wasiat terdapat dalam surat Al Baqarah: 180
[15] Al Munawir, 1997, Hlm. 888
[16] Lihat Rowi, Prof. DR. HM. Roem. Menimbang kembali signifikansi asbab al nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. (Surabaya: Tp, 2005), Hlm. 12
[17]  Pedoman dasar dalam mengetahui Asbab al Nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulallah atau shahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang shahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia punya hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulallah).
[18] Rowi, Prof. DR. HM. Roem. Menimbang kembali signifikansi asbab al nuzul … Hlm. 16
[19] Abu Zayd, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur’an. (Yogyakarta : LkiS. 2003), Hlm. 132
[20] Dari kisah ini kita mengetahui sejauh mana kehati-hatian kaum muslimin terdahulu dan keinginan mereka untuk menjauhi perbuatan-perbuatan jahiliyah, serta kesadaran dan keihlasan terhadap Islam.

Share

Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi

Berasal dari kota kecil nan indah di lereng gunung Lawu, Magetan. Bisa dihubungi melalui email: ahmad.elmagetany@gmail.com

0 komentar :

Post a Comment