A.
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pengembangan berasal dari
kata “kembang” yang artinya menjadi maju, sempurna, berkembang. Jadi,
pengembangan adalah proses, cara perbuatan mengembangkan suatu hal agar dapat
bertambah maju menuju ke arah yang lebih sempurna.[1]
Pengembangan ini juga dapat diartikan sebagai perubahan dari masa ke masa, artinya
merubah suatu struktur yang telah direncanakan sebelumnya.
Pengembangan kurikulum (curriculum
development) adalah the planning of learning opportunities intended to
bring about certain desired in pupils. And assesment of the extent to which
these changes have taken piece (Audrey Nicholls dan S. Howard Nichools).[2]
Rumusan ini menunjukkan bahwa
pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang
dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan
menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.
Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah
hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara para siswa, guru, bahan
peralatan, dan lingkungan dimana belajar yang diinginkan diharapkan terjadi.
Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar direncanakan oleh guru, bagi para
siswa sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri.
2.
Dasar-dasar
Pengembangan Kurikulum
a. Kurikulum
disusun untuk mewujudkan system pendidikan nasional
b. Kurikulum
pada semua jenjang pendidikan dikembangakan dengan pendekatan kemampuan
c. Kurikulum
harus sesuai dengan cirri khas satuan pendidikan pada masing-masing jenjang
pendidikan.
d. Kurikulum
pendidikan dasar, menengah dan tinggi dikembangkan atas dasar standar nasional
pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.
e. Kurikulum
pada semua jenjang pendidikan dikembangkan secara berdiversifikasi sesuai
dengan kebutuhan potensi, dan minat peserta didik dan tuntutan pihak – pihak
yang memerlukan dan berkepentingan.
f. Kurikulum
pada semua jenjang pendidikan mencakup aspek spiritual keagamaan,
intelektualitas, watak konsep diri, ketrampilan belajar, kewirausahaan,
keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, pola hidup sehat, estetik
dan rasa kebangsaan.
3.
Dasar
pertimbangan pengembangan kurikulum
Pengembangan
kurikulum dan teknologi pendidikan sebagai satu disiplin ilmu perlu bahkan
seharusnya mendapat perhatian secara khusus dan menempati kedudukan dan fungsi
sentral dalam system pendidikan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan secara
multidimensional sebagai berikut :
a. Kebijakan
nasional dalam rangka pembangunan nasional sebagai upaya merealisasi butir-butir
ketetapan dalam GBHN khususnya yang berkenaan dengan system pendidikan
Nasional.
b. Kebijakan-kebijakan
dalam bidang pendidikan dalam rangka merealisisasikan UU No. 2 tahun 1989 yang
menyebutkan bahwa kurikulum menempati kedudukan sentral.
c. Perkembangan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sinkron dengan kebutuhan
pembangunan dan memenuhi keperluan system pendidikan dalam upaya memanfaatkan,
mengembangkan dan menciptakan IPTEK.
d. Kebutuhan,
tuntutan, aspirasi dan masalah dalam system masyarakat yang bersifat dinamis
dan berubah dengan cepat dewasa ini dan masa datang.
e. Profesionalisasi
dan fungsionalisasi ketenagaan bidang pengembangan kurikulum dan teknologi
pendidikan yang berkualitas dan mampu bekerja sama dengan unsur-unsur
ketenagaan profesi lainnya.
f. Upaya
pembinaan disiplin ilmu pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang
berkaitan dengan uapaya pembinaan disiplin ilmu lainnya, serta pembinaan ilmu
pendidikan khususnya.
4.
Prinsip
pengembangan kurikulum
Kurikulum merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus
selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan laju perkembangan ilmu
pengetahuan dalam teknologi, serta masyarakat yang sedang
membangun. Pembangunan kurikulum harus didasarkan pada prinsip-prinsip
pengembangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan
kurikulum tersebut sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan peserta didik,
lingkungan, kebutuhan daerah sehingga dapat memperlancar pelaksanaan proses
pendidikan dalam rangka perwujudan atau pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Selama
terjadinya perkembangan dan pengembangan kurikulum sekolah Indonesia,
masing-masing mengikuti prinsip – prinsip pengembangan kurikulum yang berbeda.
Namun sasaran yang hendak dicapai adalah sama yaitu dalam rangka mewujudkan
cita-cita pembangunan Nasional pada khususnya dengan berdasarkan pancasila dan
UUD 1945 yang didasarkan pada kerangka dasar pembangunan Nasional yang tertuang
dalam GBHN.
a. Prinsip
Relevansi
Pendidikan
dapat dipandang sebagai invested of men power resources. Oleh karena
itu, lulusan dari pendidikan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Untuk dapat menghasilkan lulusan
pendidikan yang memiliki relevansi tersebut diperlukan kurikulum yang dapat
menggantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Apabila
kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat,
maka lulusan atau hasil pendidikan tersebut memiliki nilai relevansi yang
memadai.
b. Prinsip
Efektifitas dan Efisiensi
1)
Prinsip Efektivitas
Efektifitas
dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana apa yang direncanakan atau
dapat diinginkan dapat terlaksana atau tercapai. Bila ada 10 jenis kegiatan
yang kita rencanakan, dan tercapainya untuk kegiatan yang dapat dilaksanakan,
maka efektifitas kegiatan masih belum memadai.
Demikian pula bila ada 10 tujuan yang kita inginkan dan ternyata 5 yang tercapai, maka usaha untuk mencapai tujuan tersebut masih dipandang kurang efektifas ini dapat kita tinjau dari 2 segi efektifitas mengajar guru, dan efektifitas belajar murid.
Demikian pula bila ada 10 tujuan yang kita inginkan dan ternyata 5 yang tercapai, maka usaha untuk mencapai tujuan tersebut masih dipandang kurang efektifas ini dapat kita tinjau dari 2 segi efektifitas mengajar guru, dan efektifitas belajar murid.
2)
Prinsip Efisiensi
Untuk
menyelesaikan suatu program kita memerlukan waktu, tenaga dan biaya-biaya yang
kadang-kadang sangat besar jumlahnya. Kesemuanya itu tergantung pada banyaknya
program yang akan diselesaikan. Jadi efisiensi merupakan perbandingan antara
hasil yang dicapai dan pengeluaran (berupa waktu, tenaga dan biaya) yang
diharapkan paling tidak menunjukkan hasil yang seimbang.
Dalam kaitan
dengan pelaksanaan kurikulum atau proses belajar mengajar. Maka proses belajar
mengajar dikatakan efisien jika usaha dan biaya waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan program pengajaran tersebut dapat merealisasikan hasil yang
optimal.
c. Prinsip
Kesinambungan (Continuitas)
Kurikulum
sebagai wahana belajar yang dinamis perlu dikembangkan terus menerus dan
berkesinambungan. Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut
kesaling-hubungan dan saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program
pendidikan atau bidang studi.
d. Prinsip
Fleksibilitas
Prinsip
fleksibilitas menunjukkan bahwa kurikulum adalah tidak kaku. Dalam arti tidak
kaku dalam arti bahwa ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan
dalam bertindak. Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan proses dan
program pendidikan harus diperhatikan kondisi perbedaan yang ada dalam diri
peserta didik. Oleh karena itu peserta didik harus diberi kebebasan dalam
memilih program pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, kebutuhan dan
lingkungannya.
e. Prinsip
Berorientasi Pada Tujuan
Prinsip
berorientasi pada tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan maka langkah
pertama yang dilakukan untuk seorang guru adalah menentukan tujuan (goal/objectives)
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar segala jam dan kegiatan pelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru dapat benar-benar terarahkan
kepada tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut. Dengan
kejelasan tujuan ini, guru dapat menentukan secara tepat tentang metode
mengajar, alat pengajaran dan evaluasi.
f. Prinsip
Pendidikan Seumur Hidup
Lembaga pendidikan merupakan salah satu alternatif
dalam penyediaan waktu dan kegiatan dalam membentuk seseorang menjadi manusia
yang berkembang lebih baik. Waktu belajar disediakan dan tersedia sepanjang
hidup manusia. Oleh karena itu, kita harus dapat memanfaatkannya dengan baik.
Prinsip pendidikan seumur hidup mengandung implikasi lain yaitu agar lembaga
pendidikan tidak saja memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada
saat peserta didik tamat dari sekolah namun juga memberikan bekal kemampuan
untuk dapat menumbuhkembangkan dirinya sendiri.
g. Prinsip
dan Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus yaitu dengan jalan mengadakannya
terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai untuk melakukan
perbaikan, dan pengembangan lebih lanjut.
5.
landasan
pengembangan kurikulum
Landasan
pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik
tolak berarti pengembangan kurikulum dapat di dorong oleh pembaharuan tertentu
seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat
terhadap fungsi lembaga pendidikan. Titik sampai berarti kurikulum harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu,
seperti impak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan-tuntutan sejarah
masa lalu. Perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai filsafat suatu
masyarakat dan tuntutan-tuntutan tertentu.
6.
Hambatan-hambatan
pengembangan kurikulum
Dalam
pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak
pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu
disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua kekurang sesuaian
pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan
administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.[3]
Hambatan lain datang dari
masyarakat untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik
dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap system pendidikan
atau kurikulum
yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan
pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input
fakta dan pemikiran dari masyarakat.
Hambatan
lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum, apalagi yang berbentuk Kegiatan
eksperimen baik metode isi atau system secara keseluruhan membutuhkan biaya
yang sering tidak sedikit.
B.
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
1. Memahami Pendidikan Multikultural
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri
dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti
proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan
melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik.[4]
Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[5].
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural
berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas
dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan
aliran (agama)[6].
Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan,
karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar
luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman
etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana
tentang pendidikan multikultural, secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai berikut[7]: "pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan
multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain;[8]
pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan
yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada.
Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat
sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural
mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial,
moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya
adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda
dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai
pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah
keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini,
pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga
dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham,
keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan
bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan
bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan
nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan
menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan
penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk
disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan
transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah
negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi
yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa
dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural
diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik,
individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia
senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap
sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak
bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya
terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah.
Pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah.
Pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
2. Urgensi Pendidikan Multikultural
Manusia dan pendidikan adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan
pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua
segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan
dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas,
rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan
pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan
kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai
berikut:
a. Pendidikan multikultural secara
inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah
suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
b. Pendidikan multikultural memberikan
secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi
akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi,
nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan
etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan
antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah
model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan
kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata.
Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas
dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga
terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris.
Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun
aspeknya dalam masyarakat.
c. Pendidikan multikultural menentang
pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan
pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut
kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner,
kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan
verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan
spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik,
kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka
pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
d. Pendidikan multikultural bertujuan
untuk berbuat
sesuatu, yaitu
membangun
jembatan
antara kurikulum dan
karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan
kultur
sekolah guna membangun visi sekolah[9] yang menjunjung kesetaraan.
C.
MASYARAKAT MADANI
1.
Pengertian
masyarakat madani
Masyarakat madani merupakan masyarakat
yang mengakui akan harkat manusia yaitu hak-hak dan kewajiban dalam masyarakat
(human dignity) yang tidak lain berarti pengakuan pada setiap orang
untuk berkembang, mengatur dirinya sendiri baik secara perorangan maupun di
dalam hidup bersama.[10]
Hikam merumuskan masyarakat madani adalah masyarakat yang mengakui akan
kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni Negara dan menekankan
kepada kebebasan individu yang bertanggung jawab.
Masyarakat
madani merupakan konsep penerjemahan istilah dari konsep civil society
yang pertama sekali digulirkan oleh data seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya
pada symposium nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal,
26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang digunakan oleh
Anwar ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok
masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah system sosial yang subur
yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta
inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu/keinginan individu menjadikan
keterdugaan akan predictability serta ketulusan/transparency system.
Penerjemahan civil society menjadi
masyarakat madani ini dilatar belakangi oleh konsep kota ilahi kota peradaban /
masyarakat kota. Disisi lain, pemaknaan masyarakat madani ini juga dilandasi
oleh konsep tentang Al Mujtama', Al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof Naquib
Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban islam dari Malaysia dan salah
seorang pendiri Institute for Islamic tought and civilization (ISTAC)
yang secara definitive masyarakat madani merupakan konsep ideal yang mengandung
dua komponen besar yakni kota dan masyarakat yang beradab.
Masyarakat madani dapat
digambarkan mempunyai karakteristik sebagai
berikut[11] :
a.
Masyarakat yang
mengakui akan hakikat kemanusiaan (dignity of human) yang bukan hanya
sekedar untuk mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses hominisasi), tetapi juga
untuk eksis sebagai manusia (humanisasi).
b.
Pengakuan akan
hidup bersama manusia sebagai makhluk social melalui sarana yang berbentuk
organisasi social.
c.
Masyarakat yang
mengakui kedua karakteristik tersebut yaitu yang mengakui akan hal asasi
manusia dalam kehidupan demokratis.
2.
Paradigma baru
pendidikan dalam membangun masyarakat madani
Dibawah
ini beberapa strategi pembangunan pendidikan nasional dalam rangka membangun
masyarakat madani adalah sebagai berikut:
a.
Pendidikan dari,
oleh, dan bersama masyarakat.
Pendidikan
dari masyarakat artinya bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada
kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Jadi pendidikan bukan
dituangkan dari atas, dari kepentingan pemerintah semata-mata apalagi dari
penguasa, tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat sendiri dengan nilai-nilai
yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.
Pendidikan oleh masyarakat
artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan yaitu untuk
melaksanakan kemauan Negara / suatu kelompok semata-mata tetapi partisipasi
yang aktif dari masyarakat, dimana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap
langkah program pendidikannya. Hal ini berarti masyarakat bukanlah sekedar
penerima belas kasih dari Pemerintah.
Tetapi suatu system yang percaya kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi mudanya. Pendidikan oleh masyarakat bukan artinya melepaskan tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya tanggung jawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kalau perlu, Pemerintah dapat mengulurkan tangan untuk memecahkan masalah-masalah yang memang meminta intervensi pemerintah.
Tetapi suatu system yang percaya kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi mudanya. Pendidikan oleh masyarakat bukan artinya melepaskan tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya tanggung jawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kalau perlu, Pemerintah dapat mengulurkan tangan untuk memecahkan masalah-masalah yang memang meminta intervensi pemerintah.
Pendidikan
bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikut sertakan di dalam program-program
pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari
kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri.
b.
Proses
pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi.
Di dalam
proses hominisasi dimaksudkan
pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Makhluk manusia harus
dibesarkan agar supaya dia
dapat berdiri sendiri
dan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kehidupan biologis
yang membutuhkan makanan bergizi, kebutuhan sex, kehidupan ekonomis, termasuk
mempunyai lapangan kerja sendiri.
Dengan
proses humanisasi berarti manusia itu bukan hanya sekedar dapat hidup dan
makan, tetapi juga dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap
kesejahteraan masyarakatnya. Oleh sebab itu dia harus belajar untuk bertanggung
jawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai – nilai moral (knowing
is doing).
Tanpa tanggung jawab tidak mungkin tercipta suatu masyarakat yang aman dan tenteram dimana kepribadian dapat berkembang. Manusia dianggap sebagai makhluk yang mempunyai potensi yang tidak terbatas dalam arti bahwa manusia tidak mengenal humanisasi merupakan suatu proses yang terbuka dimana manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan serta penerapannya.
Tanpa tanggung jawab tidak mungkin tercipta suatu masyarakat yang aman dan tenteram dimana kepribadian dapat berkembang. Manusia dianggap sebagai makhluk yang mempunyai potensi yang tidak terbatas dalam arti bahwa manusia tidak mengenal humanisasi merupakan suatu proses yang terbuka dimana manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan serta penerapannya.
3.
Hasil yang
diharapkan dari pendidikan PAI untuk membangun masyarakat madani
Pendidikan
mampu menumbuhkembangkan berbagai sikap manusia yang memungkinkan lahirnya masyarakat
madani yang dicita-citakan. Berbagai sikap tersebut diantaranya adalah :
a.
Sikap demokratis
b.
Berakhlak mulia,
beriman dan bertaqwa
c.
Manusia dan
masyarakat yang berwawasan global, dsb.
D.
PENGEMBANGAN MATERI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL
Pendidikan agama Islam berbasis multikultural
adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran
Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas
kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang
mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan
kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan
kehidupan yang berkeadilan.
Edi Susanto mengutip pendapat
Zakiyuddin Baidhawy memerinci karakteristik pendidikan agama Islam berwawasan
multikultural, yaitu (1) Belajar hidup dalam perbedaan, (2) Membangun saling
percaya, (3) Memelihara saling pengertian (mutual understanding), (4)
Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), konflik dan
rekonsiliasi nirkekerasan.[12]
Sedangkan asumsi pendidikan agama Islam multikultural pluralistik antara lain
adalah inovasi dan reformasi pendidikan, identifikasi dan pengakuan akan
pluralitas, perjumpaan lintas batas, interdependensi dan kerja sama,
pembelajaran efektif dan proses interaksi.
Selanjutnya, dalam rangka membangun
keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam
yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain[13]:
a. Materi al-Qur’an, dalam menentukan
ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan
ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika
berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah
tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang
berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba
dalam kebaikan (Al-Baqarah/2:148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan
koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60:8-9);
c) materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4:135).
b. Materi fiqih, bisa diperluas dengan
kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah
terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi,
Sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya,
bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang
multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada
masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis,
multi-kultur, dan multi-agama.
c. Materi akhlak yang menfokuskan
kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri
sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar
kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu
bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah
diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi
moral. Agar Pendidikan Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran
guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode
mengajar yang variatif, tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam
juga perlu memberi keteladanan.
d. Materi Tarikh (SKI), materi
yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan
praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun
masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang
dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas
nilai pluralitas dan toleransi.[14]
Agar pemahaman pluralitas dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta
didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat
Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini
dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat
Islam, piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil memberlakukan nilai-nilai
keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua
warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Beberapa ahli tentang
sejarah Islam menyebut Piagam Madinah sebagai loncatan sejarah yang luar
biasa.
Program pendidikan multikulkural
yang akan dikembangkan merupakan sebuah program pendidikan yang menyediakan
lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dasar akademik dan sosial.
Program pendidikan yang dapat mengakses dan merealisasikan kompotensi-komptensi
yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat madani.
Maka perlu menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content integration, yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat untuk mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[15]
Maka perlu menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content integration, yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat untuk mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[15]
Dalam proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu proses
yang
rumit dan kompleks, karena tidak
semua faktor yang terlibat bisa dikendalikan oleh guru. Dalam analisisnya, Maurianne Adams
and Barbara J.
Love menyebutkan bahwa ada empat faktor yang terdapat dalam proses pembelajaran,
yaitu
:
1). Faktor
bawaan
siswa, 2) faktor
bawaan guru, 3) faktor pedagogy, dan 4) faktor
isi
kurikulum. Faktor-faktor dalam pembelajaran tersebut dapat digambarkan dapat digambarkan
sebagai berikut[16]:
Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Ketiga; kurikulum, bisa dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk setiap individu siswa. Keempat; pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan dampak yang berbeda pula. Keempat faktor tersebut harus diramu oleh seorang guru dalam suatu proses.
KESIMPULAN
Dari
paparan
di atas, dapat
ditarik beberapa
kesimpulan bahwa:
1. Pengembangan
kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan
untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai
hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.
2. Untuk mewujudkan gagasan pendidikan multikultural, harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan
iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan,
ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik-praktik
pendidikan untuk menuju masyarakat madani.
3. Konsep pendidikan multikultural harus berusaha memfasilitasi proses
pembelajaran yang menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleransi
dan sikap terbuka. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur
diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari paksaan, ancaman dan
kekerasan sebagai ciri dasar masyarakat madani.
4. Pendidikan agama Islam berbasis multikultural adalah proses
transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang
berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan
dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang mesti
diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang
plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang
berkeadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamolo,
Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Cet. Pertama, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Syaodih
Sukmadinata, Nana. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
cet ke II, Bandung: Rema Rosdakarya
Tilaar,
H.A.R. 1999. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,
cet. Pertama, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya
Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah
(Karya Tulis) sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
el-Ma’hady, Muhaemin, 2004. Multikulturalisme dan
Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html
Hidayatullah Al
Arifin, Akhmad. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural
dalam Praksis Pendidikan diIndonesia Jurnal Pembangunan
Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 1, Nomor 1, Juni.
[1]
Peter
Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 1991), hal. 700.
[2]
Hamolo, Oemar.
Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006)
Cet. Pertama hal. 96
[3]
Syaodih Sukmadinata, Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek, (Bandung: Rema Rosdakarya, 2009) cet ke II hal. 160
[4]
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), hal. 28
[5]
Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran &
Upaya Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hal. 19
[6]
Ibid, hal.21
[7]
Maksum, Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme
Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Yogyakarta: Aditya
Media, 2011), hal. 90
[8]
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman
Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis) sumber:
http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
[9]
Hidayatullah Al Arifin, Akhmad. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Praksis Pendidikan diIndonesia (Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012), hal. 77
[10]
Tilaar, H. A. R. Pendidikan Kebudayaan dan
Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya 1999 )
cet. Pertama hal. 158
[11]
Tilaar, H.A.R. .Pendidikan Kebudayaan dan
Masyarakat Madani Indonesia …..hal. 155.
[12]
Susanto, Edi. ringkasan Disertasi “Pemikiran
Nurcholish Madjid Tentang Pendidikan Agama Slam Multikultural Pluralistik
(Perspektif Sosiologi Pengetahuan), 2011. hal. 31
[13]
Salamah, Husniyatus Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman
Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis) sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
[14]
Bukti empiris
sejarah peradaban Islam di masa lalu, menunjukkan Islam tampil secara inklusif
dan sangat menghargai non-muslim. Sikap inklusif
ini ada karena al-Qur'an mengajarkan paham religius plurality. Bagi
orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini
akan terdapat keragaman agama. Meskipun kebenaran agama ada pada Islam (lihat:
QS. Âli Imrân : 13), namun dalam al-Qur'an juga disebutkan
adanya hak orang lain untuk beragama. Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada
orang lain (lihat: QS. al-Baqarah : 256). Sikap inilah
yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus mendasari kebijakan
politik kebebasan beragama.
[15]
el-Ma’hady, Muhaemin, Multikulturalisme dan
Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3
[16]
Hidayatullah Al Arifin, Akhmad. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Praksis Pendidikan diIndonesia (Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012), hal. 76
0 komentar :
Post a Comment