a Page of Dhikr
Home » ; Konsep Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural Menuju Masyarakat Madani

Konsep Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural Menuju Masyarakat Madani

Written By Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi on 10 December 2014 | December 10, 2014


   A.    PENGEMBANGAN KURIKULUM
1.      Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan berasal dari kata “kembang” yang artinya menjadi maju, sempurna, berkembang. Jadi, pengembangan adalah proses, cara perbuatan mengembangkan suatu hal agar dapat bertambah maju menuju ke arah yang lebih sempurna.[1] Pengembangan ini juga dapat diartikan sebagai perubahan dari masa ke masa, artinya merubah suatu struktur yang telah direncanakan sebelumnya.

Pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils. And assesment of the extent to which these changes have taken piece (Audrey Nicholls dan S. Howard Nichools).[2]

Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa. Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara para siswa, guru, bahan peralatan, dan lingkungan dimana belajar yang diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar direncanakan oleh guru, bagi para siswa sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri.

2.      Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum

a.   Kurikulum disusun untuk mewujudkan system pendidikan nasional
b.   Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangakan dengan pendekatan kemampuan
c.   Kurikulum harus sesuai dengan cirri khas satuan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan.
d.   Kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi dikembangkan atas dasar standar nasional pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.
e.   Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan secara berdiversifikasi sesuai dengan kebutuhan potensi, dan minat peserta didik dan tuntutan pihak – pihak yang memerlukan dan berkepentingan.
f.    Kurikulum pada semua jenjang pendidikan mencakup aspek spiritual keagamaan, intelektualitas, watak konsep diri, ketrampilan belajar, kewirausahaan, keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, pola hidup sehat, estetik dan rasa kebangsaan.

3.      Dasar pertimbangan pengembangan kurikulum

Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan sebagai satu disiplin ilmu perlu bahkan seharusnya mendapat perhatian secara khusus dan menempati kedudukan dan fungsi sentral dalam system pendidikan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan secara multidimensional sebagai berikut :
a.    Kebijakan nasional dalam rangka pembangunan nasional sebagai upaya merealisasi butir-butir ketetapan dalam GBHN khususnya yang berkenaan dengan system pendidikan Nasional.
b.   Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan dalam rangka merealisisasikan UU No. 2 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa kurikulum menempati kedudukan sentral.
c.    Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sinkron dengan kebutuhan pembangunan dan memenuhi keperluan system pendidikan dalam upaya memanfaatkan, mengembangkan dan menciptakan IPTEK.
d.   Kebutuhan, tuntutan, aspirasi dan masalah dalam system masyarakat yang bersifat dinamis dan berubah dengan cepat dewasa ini dan masa datang.
e.    Profesionalisasi dan fungsionalisasi ketenagaan bidang pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkualitas dan mampu bekerja sama dengan unsur-unsur ketenagaan profesi lainnya.
f.    Upaya pembinaan disiplin ilmu pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkaitan dengan uapaya pembinaan disiplin ilmu lainnya, serta pembinaan ilmu pendidikan khususnya.

4.      Prinsip pengembangan kurikulum

Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dalam teknologi, serta masyarakat yang sedang membangun. Pembangunan kurikulum harus didasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan kurikulum tersebut sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan peserta didik, lingkungan, kebutuhan daerah sehingga dapat memperlancar pelaksanaan proses pendidikan dalam rangka perwujudan atau pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Selama terjadinya perkembangan dan pengembangan kurikulum sekolah Indonesia, masing-masing mengikuti prinsip – prinsip pengembangan kurikulum yang berbeda. Namun sasaran yang hendak dicapai adalah sama yaitu dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan Nasional pada khususnya dengan berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang didasarkan pada kerangka dasar pembangunan Nasional yang tertuang dalam GBHN.

a.    Prinsip Relevansi
Pendidikan dapat dipandang sebagai invested of men power resources. Oleh karena itu, lulusan dari pendidikan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Untuk dapat menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki relevansi tersebut diperlukan kurikulum yang dapat menggantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Apabila kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka lulusan atau hasil pendidikan tersebut memiliki nilai relevansi yang memadai.

b.   Prinsip Efektifitas dan Efisiensi
1)   Prinsip Efektivitas
Efektifitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana apa yang direncanakan atau dapat diinginkan dapat terlaksana atau tercapai. Bila ada 10 jenis kegiatan yang kita rencanakan, dan tercapainya untuk kegiatan yang dapat dilaksanakan, maka efektifitas kegiatan masih belum memadai. 

Demikian pula bila ada 10 tujuan yang kita inginkan dan ternyata 5 yang tercapai, maka usaha untuk mencapai tujuan tersebut masih dipandang kurang efektifas ini dapat kita tinjau dari 2 segi efektifitas mengajar guru, dan efektifitas belajar murid.

2)   Prinsip Efisiensi
Untuk menyelesaikan suatu program kita memerlukan waktu, tenaga dan biaya-biaya yang kadang-kadang sangat besar jumlahnya. Kesemuanya itu tergantung pada banyaknya program yang akan diselesaikan. Jadi efisiensi merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dan pengeluaran (berupa waktu, tenaga dan biaya) yang diharapkan paling tidak menunjukkan hasil yang seimbang.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan kurikulum atau proses belajar mengajar. Maka proses belajar mengajar dikatakan efisien jika usaha dan biaya waktu yang digunakan untuk menyelesaikan program pengajaran tersebut dapat merealisasikan hasil yang optimal.

c.    Prinsip Kesinambungan (Continuitas)
Kurikulum sebagai wahana belajar yang dinamis perlu dikembangkan terus menerus dan berkesinambungan. Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut kesaling-hubungan dan saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan atau bidang studi.

d.   Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas menunjukkan bahwa kurikulum adalah tidak kaku. Dalam arti tidak kaku dalam arti bahwa ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak. Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan proses dan program pendidikan harus diperhatikan kondisi perbedaan yang ada dalam diri peserta didik. Oleh karena itu peserta didik harus diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, kebutuhan dan lingkungannya.

e.    Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Prinsip berorientasi pada tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan maka langkah pertama yang dilakukan untuk seorang guru adalah menentukan tujuan (goal/objectives) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar segala jam dan kegiatan pelajaran yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru dapat benar-benar terarahkan kepada tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut. Dengan kejelasan tujuan ini, guru dapat menentukan secara tepat tentang metode mengajar, alat pengajaran dan evaluasi.

f.    Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Lembaga pendidikan merupakan salah satu alternatif dalam penyediaan waktu dan kegiatan dalam membentuk seseorang menjadi manusia yang berkembang lebih baik. Waktu belajar disediakan dan tersedia sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu, kita harus dapat memanfaatkannya dengan baik. Prinsip pendidikan seumur hidup mengandung implikasi lain yaitu agar lembaga pendidikan tidak saja memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari sekolah namun juga memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuhkembangkan dirinya sendiri.

g.   Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus yaitu dengan jalan mengadakannya terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai untuk melakukan perbaikan, dan pengembangan lebih lanjut.

5.      landasan pengembangan kurikulum

Landasan pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik tolak berarti pengembangan kurikulum dapat di dorong oleh pembaharuan tertentu seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat terhadap fungsi lembaga pendidikan. Titik sampai berarti kurikulum harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu, seperti impak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan-tuntutan sejarah masa lalu. Perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai filsafat suatu masyarakat dan tuntutan-tuntutan tertentu.

6.      Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum

Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua kekurang sesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.[3]

Hambatan lain datang dari masyarakat untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap system pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.

Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum, apalagi yang berbentuk Kegiatan eksperimen baik metode isi atau system secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.

   B.     PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
1.      Memahami Pendidikan Multikultural
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik.[4] Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[5].

Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama)[6]. Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut[7]: "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".

Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain;[8] pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;

Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.

Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.

Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.

Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. 

Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. 


Pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.

2.      Urgensi Pendidikan Multikultural
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
a.    Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
b.   Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
c.    Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
d.   Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu  membangun jembatan antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur sekolah guna membangun visi sekolah[9] yang menjunjung kesetaraan.

   C.    MASYARAKAT MADANI
1.      Pengertian masyarakat madani
Masyarakat madani merupakan masyarakat yang mengakui akan harkat manusia yaitu hak-hak dan kewajiban dalam masyarakat (human dignity) yang tidak lain berarti pengakuan pada setiap orang untuk berkembang, mengatur dirinya sendiri baik secara perorangan maupun di dalam hidup bersama.[10] Hikam merumuskan masyarakat madani adalah masyarakat yang mengakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni Negara dan menekankan kepada kebebasan individu yang bertanggung jawab.

Masyarakat madani merupakan konsep penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama sekali digulirkan oleh data seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada symposium nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang digunakan oleh Anwar ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.

Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah system sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah mengikuti undang-undang dan bukan nafsu/keinginan individu menjadikan keterdugaan akan predictability serta ketulusan/transparency system.

Penerjemahan civil society menjadi masyarakat madani ini dilatar belakangi oleh konsep kota ilahi kota peradaban / masyarakat kota. Disisi lain, pemaknaan masyarakat madani ini juga dilandasi oleh konsep tentang Al Mujtama', Al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof Naquib Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban islam dari Malaysia dan salah seorang pendiri Institute for Islamic tought and civilization (ISTAC) yang secara definitive masyarakat madani merupakan konsep ideal yang mengandung dua komponen besar yakni kota dan masyarakat yang beradab.

Masyarakat madani dapat digambarkan mempunyai karakteristik sebagai berikut[11] :
a.         Masyarakat yang mengakui akan hakikat kemanusiaan (dignity of human) yang bukan hanya sekedar untuk mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses hominisasi), tetapi juga untuk eksis sebagai manusia (humanisasi).
b.      Pengakuan akan hidup bersama manusia sebagai makhluk social melalui sarana yang berbentuk organisasi social.
c.       Masyarakat yang mengakui kedua karakteristik tersebut yaitu yang mengakui akan hal asasi manusia dalam kehidupan demokratis.

2.      Paradigma baru pendidikan dalam membangun masyarakat madani
Dibawah ini beberapa strategi pembangunan pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat madani adalah sebagai berikut:
a.         Pendidikan dari, oleh, dan bersama masyarakat.
Pendidikan dari masyarakat artinya bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Jadi pendidikan bukan dituangkan dari atas, dari kepentingan pemerintah semata-mata apalagi dari penguasa, tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.

Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan yaitu untuk melaksanakan kemauan Negara / suatu kelompok semata-mata tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat, dimana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Hal ini berarti masyarakat bukanlah sekedar penerima belas kasih dari Pemerintah. 

Tetapi suatu system yang percaya kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi mudanya. Pendidikan oleh masyarakat bukan artinya melepaskan tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya tanggung jawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kalau perlu, Pemerintah dapat mengulurkan tangan untuk memecahkan masalah-masalah yang memang meminta intervensi pemerintah.


Pendidikan bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikut sertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri.

b.        Proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi.
Di  dalam  proses  hominisasi  dimaksudkan  pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Makhluk manusia harus dibesarkan agar  supaya  dia  dapat  berdiri  sendiri  dan  memenuhi  kebutuhan hidupnya seperti kehidupan biologis yang membutuhkan makanan bergizi, kebutuhan sex, kehidupan ekonomis, termasuk mempunyai lapangan kerja sendiri.

Dengan proses humanisasi berarti manusia itu bukan hanya sekedar dapat hidup dan makan, tetapi juga dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Oleh sebab itu dia harus belajar untuk bertanggung jawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai – nilai moral (knowing is doing). 

Tanpa tanggung jawab tidak mungkin tercipta suatu masyarakat yang aman dan tenteram dimana kepribadian dapat berkembang. Manusia dianggap sebagai makhluk yang mempunyai potensi yang tidak terbatas dalam arti bahwa manusia tidak mengenal humanisasi merupakan suatu proses yang terbuka dimana manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan serta penerapannya.

3.      Hasil yang diharapkan dari pendidikan PAI untuk membangun masyarakat madani
Pendidikan mampu menumbuhkembangkan berbagai sikap manusia yang memungkinkan lahirnya masyarakat madani yang dicita-citakan. Berbagai sikap tersebut diantaranya adalah :
a.       Sikap demokratis
b.      Berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa
c.       Manusia dan masyarakat yang berwawasan global, dsb.


D.    PENGEMBANGAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL
Pendidikan agama Islam berbasis multikultural adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan.

Edi Susanto mengutip pendapat Zakiyuddin Baidhawy memerinci karakteristik pendidikan agama Islam berwawasan multikultural, yaitu (1) Belajar hidup dalam perbedaan, (2) Membangun saling percaya, (3) Memelihara saling pengertian (mutual understanding), (4) Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.[12] Sedangkan asumsi pendidikan agama Islam multikultural pluralistik antara lain adalah inovasi dan reformasi pendidikan, identifikasi dan pengakuan akan pluralitas, perjumpaan lintas batas, interdependensi dan kerja sama, pembelajaran efektif dan proses interaksi.

Selanjutnya, dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain[13]:
a.       Materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Al-Baqarah/2:148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60:8-9); c) materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4:135).
b.      Materi fiqih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
c.       Materi akhlak yang menfokuskan kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar Pendidikan Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
d.      Materi Tarikh (SKI), materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralitas dan toleransi.[14] Agar pemahaman pluralitas dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat Islam, piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut Piagam Madinah  sebagai loncatan sejarah yang luar biasa.

Program pendidikan multikulkural yang akan dikembangkan merupakan sebuah program pendidikan yang menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dasar akademik dan sosial. Program pendidikan yang dapat mengakses dan merealisasikan kompotensi-komptensi yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat madani. 

Maka perlu menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content integration, yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat untuk mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[15]


Dalam proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu proses yang rumit dan kompleks, karena tidak semua faktor yang terlibat bisa dikendalikan oleh guru. Dalam analisisnya,  Maurianne Adams  and  Barbara  J. Love menyebutkan bahwa ada empat faktor yang terdapat dalam proses pembelajaran, yaitu  :  1).  Faktor  bawaan  siswa,  2)  faktor bawaan guru, 3) faktor pedagogy, dan 4) faktor isi kurikulum. Faktor-faktor dalam pembelajaran tersebut dapat digambarkan dapat digambarkan sebagai berikut[16]:



 













Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Ketiga; kurikulum, bisa  dipersepsi  dan  memiliki  dampak berbeda untuk  setiap  individu  siswa.  Keempat; pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan dampak yang berbeda pula. Keempat faktor tersebut harus diramu oleh seorang guru dalam suatu proses.


KESIMPULAN
Dari  paparan  di  atas,  dapat  ditarik  beberapa kesimpulan bahwa:
1.  Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.
2.  Untuk mewujudkan gagasan pendidikan multikultural,  harus didasarkan pada konsep ketaqwaan dan iman, keberadaban, sopan, toleran, mandiri, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik-praktik pendidikan untuk menuju masyarakat madani.
3. Konsep pendidikan multikultural harus berusaha memfasilitasi proses pembelajaran yang menghargai keragaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleransi dan sikap terbuka.  Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan sebagai ciri dasar masyarakat madani.
4.  Pendidikan agama Islam berbasis multikultural adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan.




DAFTAR PUSTAKA

Hamolo, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Cet. Pertama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Syaodih Sukmadinata, Nana. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, cet ke II, Bandung: Rema Rosdakarya

Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, cet. Pertama, Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis) sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html

el-Ma’hady, Muhaemin, 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html

Hidayatullah Al Arifin, Akhmad. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan diIndonesia Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 1, Nomor 1, Juni.






[1] Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hal. 700.
[2] Hamolo, Oemar. Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006) Cet. Pertama hal. 96
[3] Syaodih Sukmadinata, Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Rema Rosdakarya, 2009) cet ke II hal. 160
[4] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 28
[5] Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hal. 19
[6] Ibid, hal.21
[7] Maksum, Ali.  Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia  (Yogyakarta: Aditya Media, 2011), hal. 90
[8] Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis) sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
[9] Hidayatullah Al Arifin, Akhmad. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan diIndonesia (Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012), hal. 77
[10]  Tilaar, H. A. R. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya 1999 ) cet. Pertama hal. 158
[11]  Tilaar, H.A.R. .Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia …..hal. 155.
[12] Susanto, Edi. ringkasan Disertasi “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pendidikan Agama Slam Multikultural Pluralistik (Perspektif Sosiologi Pengetahuan), 2011. hal. 31
[13] Salamah, Husniyatus Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis) sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
[14] Bukti empiris sejarah peradaban Islam di masa lalu, menunjukkan Islam tampil secara inklusif dan sangat menghargai non-muslim. Sikap inklusif ini ada karena al-Qur'an mengajarkan paham religius plurality. Bagi orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini akan terdapat keragaman agama. Meskipun kebenaran agama ada pada Islam (lihat: QS. Âli Imrân : 13), namun dalam al-Qur'an juga disebutkan adanya hak orang lain untuk beragama. Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (lihat: QS. al-Baqarah : 256). Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
[15] el-Ma’hady, Muhaemin, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3
[16] Hidayatullah Al Arifin, Akhmad. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan diIndonesia (Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012), hal. 76


Share

Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi

Berasal dari kota kecil nan indah di lereng gunung Lawu, Magetan. Bisa dihubungi melalui email: ahmad.elmagetany@gmail.com

0 komentar :

Post a Comment