a Page of Dhikr
Home » ; Jalan Lain Kesana

Jalan Lain Kesana

Written By Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimie on 22 September 2010 | September 22, 2010


Ability has no School, kata sebuah pepatah. Rasanya, hal itu memang tidak salah. Apalagi jika kita kuliah hanya “niat-ingsun” untuk mencari ijazah. Konon, jalur pendidikan formal bisa membuat kita pintar dan berpengetahuan. Oleh sebab itu, konon pula, mahasiswa sering disebut-sebut sebagai biang keladi perubahan (agent of change). Sebagai sebuah alternatif, keberadaan pendidikan formal tentu tidak salah. Tetapi akan menjadi pangkal kebodohan bilamana kita menjadikan lembaga-lembaga pendidikan itu sebagai satu-satunya jalan menggapai ilmu pengetahuan.


Disisi lain, metode “self learning” atau otodidak merupakan cara yang juga cukup sering ditempuh para pemburu kecakapan. Dan satu-satunya hambatan kita untuk melakukan metode ini adalah diri kita sendiri. Harus ada niat ekstra kuat untuk mengawali dan konsisten di jalur itu. Karena jalan orang otodidak hampir selalu tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.

Menurut pakar ilmu perilaku, tak semua orang nyaman dengan sistem belajar otodidak atau sistem pembelajaran aktif. Malah sebagian besar manusia dilahirkan sebagai makhluk non-didaktik. Namun, sistem pembelajaran aktif dengan menghadapkan anak langsung pada permasalahan, punya efek kognitif yang luar biasa. Salah satu eksperimen yang dilakukan Harvard University mengungkapkan bahwa 85% dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran dan lainnya disebabkan oleh sikap atau cara berhubungan dengan orang lain (komunikasi efektif). Hanya 15% saja disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki.

Tidak heran, dalam beberapa dekade terakhir betapa menjamurnya lembaga atau sekolah kepribadian. Tetapi, pelatihan-pelatihan insidentil yang diadakan, harga tiketnya mencapai ratusan ribu rupiah. Itupun tidak menjamin bisa merubah seseorang secara instan. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif bagaimana agar kepribadian, pengembangan sikap serta metode berhubungan dengan orang lain bisa tetap diraih.

Salah satu sarana yang sebenarnya cukup ampuh untuk mengembangkan sikap tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar adalah berpartisipasi dalam sebuah komunitas atau yang lazim kita sebut sebagai “organization”. Dalam organisasi, umumnya bisa ditemukan berbagai corak dan warna manusia dengan latar belakang yang berbeda. Sehingga setiap anggota bisa meningkatkan pemahaman dan pola pikir terhadap permasalahan yang dialami oleh organisasi tersebut.

Ekses positifnya, kedewasaan berpikir dan kematangan jiwa seseorang bisa semakin meningkat dengan adanya berbagai variasi permasalahan yang mendera organisasi tersebut untuk dipecahkan bersama. Lewat organisasi atau komunitas-komunitas hoby dan minat, sistem pembelajaran itu akan ada dengan sendirinya. Tanpa “grand scenario” dengan “guru” yang bisa diajak berdiskusi dan bercanda. Senior-senior yang dengan sukarela membantu kesulitan kita.

Disisi jalan yang berbeda, kecenderungan mahasiswa tidak tertarik untuk masuk ke dalam sebuah organisasi dikarenakan organisasi itu sendiri tidak “menarik”. Paling tidak itu pandangan subjektif mereka dan siapapun bisa membantahnya. Anggota-anggota organisasi tidak dapat menunjukkan adanya perbedaan, baik dalam berperilaku maupun dalam prestasi belajarnya. Banyak yang berpendapat “buat apa berorganisasi, toh pada akhirnya mereka yang berorganisasi sama saja dengan yang tidak berorganisasi”.

Ketika berbincang dengan seorang kawan lama, dia mengatakan bahwa ada perbedaan yang mencolok antara mahasiswa di era pergolakan (reformasi) dengan pasca reformasi. Menurutnya, mahasiswa pada zaman reformasi orientasinya adalah eksternal. Mahasiswa saat itu melihat banyak keadaan yang tidak ideal dan akhirnya berpikir untuk memberikan sumbangsih dalam memecahkan persoalan rakyat. Namun, saat ini tampaknya para mahasiswa lebih berorientasi pada permasalahan-permasalahan internal masing-masing dengan cara bagaimana menarik kader organisasi sebanyak-banyaknya. Dan tidak jarang pula, pada akhirnya banyak kader yang di“anak-tiri”kan.

Diluar koridor itu, budaya formalisme memang masih sering terjadi dan bahkan menjadi trend untuk menarik minat mahasiswa baru akan sebuah organisasi. Kabar yang santer terdengar dikalangan mahasiswa, terutama mahasiswa baru adalah bahwa setiap mahasiswa harus mempunyai sertifikat karena akan dipakai sebagai syarat wajib untuk mengikuti ujian skripsi nantinya. Jika hanya sebatas itu (sertifikat. Pen) tujuan mereka, pantas saja jika mereka tidak mampu bertahan dalam sebuah organisasi.

Pandangan umum berorganisasi

Apa yang membuat seseorang mau bertahan dalam sebuah organisasi? Kita akan sepakat menyebut satu kata penting untuk menggambarkannya, komitmen. Komitmen merupakan motivasi dalam diri seseorang untuk mengerjakan sesuatu, termasuk berkarya dalam organisasi. Sebaik apapun kompetensi yang dimiliki seseorang, tidak akan membuahkan hasil yang besar jika tidak dibarengi dengan komitmen. Colquitt Lepine dan Wesson, dua orang pakar organisasi dan bisnis ini membagi komitmen terhadap organisasi menjadi tiga bagian, yaitu Continuance commitment, Affective commitment dan Normative commitment.

Continuance commitment merupakan komitmen yang dibangun semata-mata hanya berdasar pertimbangan ekonomi (feed back yang diberikan oleh organisasi). Besarnya “bayaran” maupun “bonus” sangat menentukan komitmennya pada organisasi tersebut. Makin besar pemasukan yang diterima dari organisasi maka makin besar pula komitmen yang diberikan pada organisasinya. Itulah salah satu alasan seseorang mau bertahan dalam sebuah organisasi. Kejelasan perencanaan “karir” dalam organisasi juga menentukan besar kecilnya komitmen yang dimiliki siapapun yang tinggal dalam organisasi.

“Staying because you need to” merupakan pernyataan yang tepat untuk menggambarkan komitmen tersebut. Niat seseorang yang bergabung dengan sebuah organisasi, apakah karena organisasi itu ada “bayaran”nya, atau karena “bonus”nya besar ataupun karena alasan-alasan ekonomi lainnya tidak akan membuat seseorang bertahan lama dalam organisasi tersebut. Pasang-surut dalam dunia organisasi adalah hal yang wajar. Baik permasalahan kader maupun “pemasukan” untuk menjalankan roda organisasi itu sendiri. Jika kita “butuh” kita akan bertahan, tapi jika sebaliknya, maka kita akan pergi begitu saja.

Affective commitment merupakan komitmen yang dibangun berdasar kedalaman ikatan emosional antara anggota dan organisasinya. Semakin dalam ikatan emosional semakin memperbesar komitmen dalam diri anggota tersebut. Ikatan emosional bisa berupa ikatan persaudaraan dengan teman dan lingkungan organisasi. Komitmen itu membuat seseorang tinggal dalam organisasi karena memang ia menginginkannya. Semangat yang membara biasanya mewarnai dalam menuntaskan amanah yang diberikan kepadanya.

Istilah kerennya, “staying because you want to”. Keinginan untuk belajar dan bersosialisasi dengan banyak orang dengan pemikiran yang beragam. Keinginan untuk mempererat silaturrahim, dengan merasakan susah dan senang bersama-sama dalam berorganisasi. Keinginan-keinginan tersebut akan mengantarkan seseorang pada kepedulian atau sikap “respect” pada orang lain disekitarnya.

Normative commitment merupakan komitmen yang dibangun berdasarkan suatu kewajiban. Perasaan yang menyelimuti seseorang dalam berkomitmen adalah rasa berhutang budi kepada organisasi. Organisasi itu yang membesarkan saya. Organisasi tersebut memberi kesempatan saat saya belum memiliki kompetensi apapun. Perhatian yang penuh dari organisasi turut memperbesar komitmen yang dimiliki anggotanya. Komitmen itu membuat seseorang tinggal dalam organisasi karena merasa punya kewajiban. Komitmen jenis tersebut kurang mampu meningkatkan rasa “menikmati” amanah yang ada karena hanya berdasar pada pemenuhan kewajiban.

Istilah “staying because you ought to” sangat pas untuk menggambarkan komitmen jenis normatif. Merasa harus membalas kebaikan, merasa bersalah jika meninggalkan dan sebagainya tidak akan memunculkan ketulusan yang benar-benar keluar dari hati yang terdalam, atau ketulusan yang kurang sempurna.

Manakah yang lebih baik? Jawabannya kembali pada pemahaman masing-masing tentang “berorganisasi” itu sendiri. Namun menurut pendapat saya, ketiga jenis komitmen ini bisa berubah dari satu jenis ke jenis yang lain berdasarkan sebab-sebab tertentu. Misalnya, komitmen seseorang pada awalnya masuk dalam kategori Continuance atau Normative, namun karena sering berkumpul dengan teman-teman yang lain dan mengalami pengalaman yang menyenangkan atau menyedihkan bersama maka “alasan” dia berorganisasi bisa saja berubah menjadi Affective di kemudian hari, begitu pula sebaliknya. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, apa motivasi kita berorganisasi.


Share

Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimie

Berasal dari kota kecil nan indah di lereng gunung Lawu, Magetan. Bisa dihubungi melalui email: ahmad.elmagetany@gmail.com

0 komentar :

Post a Comment