1) Netral Terhadap Agama
Dua
Dasawarsa terakhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20 dikenal
sebagai puncak abad imperialisme, yang merupakan masa keemasan bagi
bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk kekaisaran. Pada masa itu, Inggris,
Perancis, dan lain-lainnya merajalela di Afrika dan Asia, mengancam
negara-negara merdeka untuk dijadikan propinsi Eropa. Sedangkan Belanda sudah
memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu.
Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya di Kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya, betapapun tidak terlepas dari kaitan ajaran agama ini. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, mula-mula Belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Sikap Belanda dalam masalah ini “dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan.”
Di satu
pihak, Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam
fanatik. Sementara di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam
sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katolik. Hubungan antara umat
Islam di kepulauan ini –terutama pada ulamanya- dengan Khalifah Turki, semula
dianggap sama dengan hubungan antara umat Katolik dengan Paus di Roma. Tetapi
pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam,
dan belum mempunyai Kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Di samping
karena belum memiliki pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab, pada waktu
itu pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem sosial Islam. Keenganan
mencampuri masalah Islam ini, tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda,[3] sehingga
pada tahun 1865 pemerintah Belanda tidak sudi memberi bantuan bagi pembangunan
masjid, kecuali kalau ada alasan istimewa. Kepentingan pemerintah kolonial
dalam hal ini terbatas pada usaha memelihara agar penduduk
tidak terpaksa memberikan uang, baik untuk pembangunan maupun perbaikan masjid.[4]
Tetapi Kebijakan
untuk tidak mencampuri urusan agama ini nampak tidak konsisten, karena tidak
adanya garis yang jelas. Dalam masalah haji misalnya, ternyata pemerintah
kolonial tidak bisa menahan diri untuk tidak campur turun tangan; justru para
haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang memberontak.[5] Pada
tahun 1959, Gubernur Jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus
mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan
ketertiban keamanan.[6] Di sini
terlihat bahwa Kebijakan tidak mencampuri urusan agama hanyalah bersifat
sementara, karena belum dikuasainya masalah Islam sepenuhnya. Kebijakan ini pun
masih harus tunduk kepada kepentingan rust
en orde.
Setelah
kedatangan Shouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah pemerintah Hindia Belanda
mempunyai Kebijakan yang jelas mengenai masalah Islam, di mana ia melawan
ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam. Ditegaskannya bahwa dalam Islam
tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori
fanatik. Penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, dan bukan atasannya.
Ulama independen bukanlah komplotan jahat, sebab mereka hanya menginginkan
ibadah. Pergi haji ke Mekah pun bukan berarti fanatik berjiwa pemberontak.
Sebagai
kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan inlandsch
politiek, yakni Kebijakan mengenai pribumi.[7] Agaknya
dengan menampilkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni
memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu. Dialah “arsitek
keberhasilan politik Islam yang paling legendaris,” yang telah melengkapi
pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama bidang sosial dan politik, di
samping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.
Sekalipun
Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu
penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme
Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama,
melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia tidak menutup mata terhadap
kenyataan bahwa Islam sering kali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan
Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan
animisme dan Hindu, namun ia tahu bahwa orang Islam di negeri ini pada waktu
itu memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari
orang lain. Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai
titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen
dan asing.
Menghadapi
medan seperti itu, Snouck Hurgrunje membedakan Islam dalam arti “Ibadah” dengan
Islam sebagai “kekuatan sosial politik”. Dalam hal ini dia membagi masalah
Islam atas tiga kategori, yakni: 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang
sosial kemasyarakatan; dan 3. Bidang politik; di mana masing-masing bidang
menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal
dengan Islam Politiek, atau Kebijakan
pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia.
2) Asosiasi Kebudayaan
Prinsip
politik Islam Snouck Hurgronje dibidang kemasyarakatan adalah menggalakkan
pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini
sebenarnya tidak lepas dari kaitan upaya merebut kemenangan dalam persaingannya
dengan Islam, demi kelestarian penjajahannya. Oleh karena itu, mereka
menerapkan politik asosiasi dan pemanfaatan adat. Politik asosiasi ini
bertujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan Negara
penjajahnya melalui kebudayaan, dimana lapangan pendidikan menjadi garapan
utama. Dengan adanya asosiasi[8]
ini maka Indonesia bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan
kebudayaannya sendiri.
Sasaran akhir politik
asosiasi adalah memperkuat kedudukan pemerintah kolonial, oleh karena itu
kehadiran Islam diperhitungkan sebagai factor penghalang. Dimata pemerintah
colonial, Islam sering dinilai sebagai “negara dalam negara” (staat in den
staat) yang harus dihadapi, karena agama ini juga mengatur dimensi
horizontal hubungan antar manusia. Snouck Hurgonje sendiritelah memperhitungkan
bahwa Islam Indonesia akan mengalami kekalahan melalui asosiasi pemeluk agama
ini dalam kebudayaan Belanda. Snouck Hurgonje selama di Hindia Belanda telah
berjuang untuk menwujudkan ide tersebut. Ia menerima beberapa putra dari kaum
ningrat dan pegawai sipil yang berkedudukan tinggi untuk tinggal dirumahnya,
menjadi murid The Batavian Grammar School.[9]
B. Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda
Terhadap Pendidikan Islam
1)
Asosiasi
Pendidikan
Ada tiga fase dalam perkembangan pendidikan di
Hindia Belanda pada abad ke-20. Sampai tahun 1915, pendidikan Barat dianggap
sangat penting bagi pribumi; kemudian timbul suatu reaksi yang menghendaki agar
pendidikan bagi pribumi tidak melepaskan mereka dari kebudayaan aslinya. Selanjutnya
timbul fase pengurangan pendidikan Barat yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantar, sejalan dengan keinginan mengadakan penghematan dalam bidang
pendidikan.[10]
Seiring
dengan merosotnya ekonomi, maka pada awal tahun tiga puluhan pemerintah Belanda
bermaksud meninjau kembali Kebijakan pendidikannya untuk membatasinya, atas
dasar pertimbangan sosio-ekonomi. Dalam kongres pendidikan yang diselenggarakan
oleh Budi Utomo pada tanggal 31 Desember 1930 di Solo, gagasan pemerintah untuk
meninjau kembali pendidikan ini ditolak secara aklamasi. Pada penglihatan
mereka, peninjauan ini berlatar belakang faktor ekonomis dan politis. Dikatakan
ekonomis karena pendidikan Barat memberikan kemungkinan bagi pribumi untuk
menyaingi Eropa; dan dikatakan politis karena umumnya masyarakat Eropa
mendukung pendidikan Barat bagi pribumi, bila pendidikan tersebut menolong
kepentingan mereka. Ternyata usaha penghematan tersebut tidak dapat ditunda,
berhubung situasi ekonomi keuangan pemerintah kolonial waktu itu.
Agaknya yang ditolak pihak pribumi adalah
gagasan untuk membatasi pendidikannya, bukan semata-mata difat Baratnya
pendidikan tersebut. Hal ini terlihat pada banyaknya sekolah-sekolah swasta
yang mereka dirikan, yang di mata pemerintah kolonial kemudian disebut sebagai
“sekolah liar”. Besarnya minat mereka untuk menyelenggarakan Barat ini bisa
dimaksudkan, sebab aneka jabatan di lingkungan pemerintah kolonial justru
menghendaki pendidikan Barat. Di samping itu, pendidikan Barat juga
memungkinkan seseorang untuk memperluas pergaulannya dengan Belanda sebagai
kelas penguasa.
Memang
mereka tidak menolak sifat Baratnya pendidikan semata, tapi yang mereka
inginkan adalah tertanamnya jiwa Indonesia pada pendidikan tersebut. Hal ini
terlihat jelasa pada aneka usaha pendidikan Muhammadiyah, berupa pendidikan
Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan Islam dan Indonesia.[11]
Organisasi ini bahkan pada tahun 1937 mendirikan MULO pribumi di Yogyakarta,
suatu sekolah menengah pertama dengan sistem pendidikan sebagai MULO biasa tapi
menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar. Jiwa Indonesia ini pula agaknya
yang melatarbelakangi sikap keras Taman Siswa,[12] dalam
menolak sistem pendidikan resmi dan menolak subsidi pemerintah kolonial.
Organisasi ini tidak menginginkan tujuan pendidikan hanya sekedar menyiapkan
calon pegawai pemerintahan kolonial, sementara itu merenggut mereka dari
kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaannya sendiri.
Pada
tahun 1914, atas inisiatif Dr. Hazeu sekolah pribumi kelas satu dikembangkan
menjadi HIS tujuh tahun, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagi pengantar.
Hal ini kemudian dinilai sebagai kebelanda-belandaan, karena sejak tahun 1848
telah ditetapkan bahwa bahasa daerah harus menjadi bahasa pengantar bagi
sekolah pribumi. Sampai-sampai pada tahun tiga puluhan timbul keinginan yang
disuarakan oleh Van der Plas, agar sistem pendidikan lebih menekankan
kepentingan pribumi. Pada tahun 1934, C.C. Berg juga menganjurkan agar
kebudayaan Indonesia memperoleh perlindungan.[13] Namun
betapapun arah pendidikan ini tetap tidak berubah, dan HIS pun tetap
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sampai akhir masa
penjajahan Belanda.
Sejalan
dengan pola pendidikan Snouck Hurgronje yang memimpikan pengubahan bangsawan
tradisional pribumi menjadi elit berpendidikan barat, maka sekolah HIS semula
hanya diperuntukkan bagi keluarga bangsawan pribumi.[14] Agaknya
pemerintah kolonial sedikit sekali berbuat bagi pendidikan rakyat biasa,
sehingga 93 persen dari 60 juta rakyat Indonesia pada akhir tahun 1930 masih
dalam keadaan buat huruf. Pada waktu itu hanya sekitar 200 orang Indonesia yang
lulus dari sekolah menengah atas per tahun. Pada tahun 1940 hanya 40 persen
anak usia enam sampai delapan tahun yang telah memperoleh pendidikan dasar.
Keengganan
pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini
bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah
kolonial menyadari, bahwa, “pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem
pemerintahan kolonial yang berlaku.” Kebijakannya dalam bidang pendidikan,
tidak terlepas dari pola politik kolonialnya. Alasan penyelenggaraan pendidikan
pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada
kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam Kebijakannya
yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam
ordonansi sekolah liar.
2)
Kebijakan
Pendidikan dan Islam
Kelestarian
penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial, sejalan
dengan pola ini, maka Kebijakan di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai
saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor
yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19
Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing
dengan pendidikan Barat.[15] Agama ini dinilai sebagai
beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan
taraf kemajuan pribumi.[16]
Agaknya
ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor kemampuan Islam untuk
mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkan faktor
kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang
cukup alasan agaknya untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam
pada waktu itu memang sedemikian rupa,[17] sehingga
diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup
melawan pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak
akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah kolonial. Tetapi
ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang menjadi berbeda dengan
perhitungan dan ramalan tersebut.
Kesadaran
bahwa kolonial Belanda merupakan “pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan
bangsa mereka, semakin mendalam tertanam di benak para santri. Pesantren yang
merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda.
Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda,
dinilainya sebagai uang haram.[18] Celana
dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.[19] Sikap
konfrontasi kaum santri dengan pemerintah kolonial ini, terlihat pula pada
letak pesantren dii Jawa pada waktu itu, yang umumnya tidak terletak di tengah
kota atau desa, tapi di pinggiran atau bahkan di luar keduanya.
Di mata
umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen,
sementara pelbagai Kebijakan pemerintah maupun
aktivitas zending dan missi sendiri, justru sering mempersubur tuduhan
tersebut. Sekolah-sekolah Kristen - yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintahan
kolonial – sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam.[20]
Sekolah-sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda
suatu aliran gereja.[21] Semua
ini ikut memperdalam jurang pemisah antara pemerintah kolonial dengan
masyarakat santri. Aksi menimbulkan reaksi. Dengan segala kekurangan dan
kelemahannya, umat Islam berusaha mempertahankan diri, dan kemudia ternyata
berhasil.
3)
Ordonansi
guru
Suatu Kebijakan
pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah
Ordonansi Guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan
setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu,
sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi kedua
yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan
diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah
kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur Islam di
negeri ini.
Sesudah
terjadinya peristiwa Cilegon tahun 188, K.F. Holle pada tahun 1890 menyarankan
agar pendidikan agama Islam diawasi, karena pemberontakan para petani di Banten
itu dinilai sebagai dimotori oelh para haji dan guru agama. Maka di Jawa
terjadilah pemburuan terhadap guru agama; dan demi penyeragaman dalam
pengawasannya, maka K.F. Holle menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru
di daerahnya setiap tahun. Kemudian pada tahun 1904 Snouck Hurgronje mengusulkan
agar pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar
tentang guru dan murid, serta pengawasan oleh bupati harus dilakukan oleh suatu
panitia. Pada tahun 1905 lahirlah suatu peraturan tentang pendidikan agama
Islam yang disebut dengan Ordonansi Guru,[22] dan
dinyatakan berlaku untuk Jawa madura kecuali Yogya dan Solo.
Bagi
suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang
tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak memiliki administrasi
yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa sangat
memberatkan. Apalagi pada waktu itu lembaga pendidikan pesantren belum memiliki
administrasi yang teratur, daftar murid dan guru, atau mata pelajaran. Banyak
di antara guru agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf latin, sedangkan
yang bisa pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian
lembar daftar laporan.
Dalam
praktek, ordonansi guru ini bisa dipergunakan untuk menekan agama Islam, karena
dikaitkan dengan ketertiban keamanan. Misalnya ketika terjadi persaingan ketat
antara Islam – Kristen di Tanah Batak pada awal abad ini. Lulofs selaku
penasehat urusan luar Jawa menetapkan adanya suatu garis perbatasan antara
Islam dan Kristen. Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih
dari 24 jam. Tetapi gagasan ini ditentang oleh Hazeu, selaku Adviseur voor Inlandsche zaken, yang
sangat keras melawan gagasan yang dinilainya sebagai penyalahgunaan Ordonansi
guru untuk mengusir orang Islam. Ditegaskannya, Ordonansi Guru itu dibuat untuk
mengawasi pendidikan Islam, bukan untuk menghambat atau
menekannya.
Ordonansi
Guru tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam untuk minta izin itu,
kemudian dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan
aktifitasnya – yang secara periodik disampaikan bupati – ternyata kurang
meyakinkan,[23] di
samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan
“pemburuan” guru agama. Karena itu pada tahun 1925 dikeluarkanlah Ordonansi
Guru baru – sebagai pengganti – yang hanya mewajibkan guru agama untuk
memberitahu, bukan meminta izin.[24]
Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk Jawa – madura. Sejak 1 Januari 1927
berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau, Riau, Palembang, Tapanuli,
Manado, dan Lombok. Kemudian pada tahun tiga puluhan berlaku pula untuk
Bengkulu.
Tetapi
seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam praktek
bisa dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang
tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut.[25]
Misalnya peristiwa yang terjadi di Sekayu pada tahun 1926.[26] H.
Fachruddin selaku Ketua Muhammadiyah menyatakan keluhan bahwa sejak
diumumkannya ordonansi ini pelbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi
kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Karena itu ia mengimbau gobee,
selaku Adviseur voor Inlandsche zaken,
agar turun tangan.[27]
Memang
banyak reaksi yang dilancarkan oleh pihak pribumi terhadap ordonansi ini.
Kongres Al-Islam tehun 1926 (1-5 Desember) di Bogor menolak cara pengawasan
terhadap pendidikan agama ini. Kewajiban memberitahukan kurikulum, guru dan
murid secara periodik ini dinilainya memberatkan, karena lembaga pendidikan
Islam pada umumnya tidak memiliki administrasi dan sarana yang memadai[28]. Begitu
pula keharusan mengisi formulir berbahasa Belanda, dirasakan sebagai beban
sangat berat, sebab hampir semua guru agama tidak mengerti bahasa ini;
paling-paling mereka mengerti bahasa Arab. Organisasi Muhammadiyah dalam
kongres XVII tahun 1928 (12-20 Februari) dengan sangat keras menuntut agar
Ordonansi Guru ini ditarik kembali.[29] Tetapi
reaksi yang demikian hebat terjadi di Sumatera Barat, ketika pemerintah
kolonial bermaksud hendak menerapkan Ordonansi Guru ini di daerah tersebut,
segera setelah timbulnya pemberontakan komunis pada tahun 1927. Apalagi di
beberapa tempat ternyata untuk mengajarkan agama, seseorang harus memperoleh
izin resmi, bukan hanya cukup memberitahu. Tidaklah mengherankan kalau di
kalangan masyarakat setempat banyak timbul pendapat bahwa andaikata Ordonansi
Guru diterapkan, berarti orang Minang akan kehilangan kebebasan dalam
melaksanakan aktivitas agamanya.
Dalam
menjajagi kemungkinan dilaksanakannya Ordonansi Guru di Sumatera Barat, misi
petugas Kantoor voor Inlandsche zaken,
Dr. L. De Vries, memperoleh dukungan para demang dan para asisten demang,
sebagian besar kepala nagari dan sebagian besar ulama tradisional. Ternyata
tidak semua kaum muslimin Minangkabau bersedia menerima ordonansi tersebut.
Untuk membicarakan masalah ini, pada tanggal 18 Agustus 1928 diselenggarakanlah
rapat besar di Bukittinggi yang dihadiri 800 orang ulama dan guru agama,
ditambah 200 orang utusan dari 115 organisasi Islam di Minagkabau. Menurut
laporan resmi pemerintah Belanda, dalam pertemuan tersebut tampil 23 pembicara,
yakni 17 orang dari Kaum Muda dan 5 orang dari Kaum Kuno, serta seorang dari
golongan netral. Agaknya pidato H. Rasul[30] itu
berhasil menguasai sidang sehingga semuanya sepakat untuk mengirim utusan ke
Gubernur Jenderal, guna menolak dilaksanakannya Ordonansi guru di Sumatera
Barat. Gubernur Jenderal memberikan jawaban, bahwa pemerintah Belanda “belum
berniat berketetapan hendak menjalankan Ordonansi Guru itu di Minangkabau.”
Reaksi
terhadap Ordonansi Guru agaknya bukan hanya dilancarkan oleh pihak pribumi, tapi
juga oleh pihak Belanda sendiri. Sebagaimana diuraikan di atas, tujuan
ordonansi ini adalah untuk mengawasi atau mengontrol pendidikan agama Islam;
dan untuk itu adanya daftar guru dan segala aktifitasnya senagat diperlukan.
Dalam hal ini van der Plas pada tahun 1934 berpendapat, bahwa untuk mencapai
tujuan tersebut daftar guru yang dipaksakan itu sema sekali tidak ada gunanya.[31] Dia pun
melihat akibat sampingan ordonansi ini dan memandangnya sebagai “rintangan
paling besar bagi karya produktif di Hindia Belanda.” Dia berpendapat bahwa
demi penyederhanaan dan efisiensi, hendaknya pemerintah kolonial menghapuskan
Ordonansi Guru yang dinilainya hanya akan menghabiskan kertas ini.
Menanggapi
pelbagai keinginan dihapuskannya Ordonansi Guru ini, Snouck Hurgronje dalam
suratnya kepada Menteri Jajahan tahun 1935 masih berpendapat perlunya
dipertahankannya ordonansi tersebut, meskipun dengan beberapa usul perubahan.
Namun betapapun situasi kondisi telah jauh berubah. Di pihak pemerintahan
kolonial sendiri, situasi ekonomi moneter menuntut diadakannya penghematan dan
penyederhanaan. Di pihak pribumi, kekhawatiran akan timbulnya pemberontakan
seperti terjadi di Cilegon tahun 1888, sudah tidak perlu ada. Bahaya gerakan
tarekat maupun Pan Islam juga tidak perlu dikhawatirkan lagi, sehingga guru
agama Islam tidak lagi harus diburu. Itulah sebabnya mengapa nasehat arsitek
Ordonansi guru 1905 ini, tidak seampuh masa-masa yang lalu. Ordonansi Guru 1905
kehilangan urgensinya dan betapapun terpaksa menghilang dari peredaran.
4)
Ordonansi
Sekolah Liar
Sejak
tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik
pribumi. Kebebasan mendidik pribumi ini kemudian dihapuskan oleh adanya
Ordonansi Pengawasan tahun 1923. Sejak itu setiap orang yang hendak mendirikan
suatu lembaga pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat
mengajarnya.
Agaknya
perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya
Ordonansi Pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan
penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah
aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijakan ini membawa akibat
sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia.[32]
Sementara itu keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat
juga semakin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi
arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakkannya selama ini,
mengakibatkan bermunculannya sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal
sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini
dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah
tersebut tidak diakui di kantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan
oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.[33]
Sementara
itu menghebatnya propaganda komunis di tengah memburuknya situasi politik pada
awal tahun dua puluhan itu, dinilai pemerintah kolonial sebagai sudah cukup
membahayakan stabilitas kekuasaannya. Kesadaran politik orang-orang Indonesia
di pelbagai partai terus tumbuh, sementara di pihak lain – sejak diangkatnya
Fock sebagai Gubernur Jenderal – tindakan pemerintah kolonial semakin keras.[34]
Persaingan antara Islam dan komunis dalam tubuh Sarekat Islam (SI) pun
bertambah ketat, sampai kemudian orang-orang komunis terpaksa harus dikeluarkan
dari SI.[35] Gerakan
komunis ini semakin menghebat sejak kembalinya Semaun dari Moskow pada
pertengahan 1922, meskipun terpaksa harus berdiri di luar SI.[36] Corak
politik pergerakan Indonesia pada tahun 1922 pada umumnya menjadi semakin
radikal. Konsentrasi Radikal di Volksraad merupakan manifestasi perkembangan
ini. Pada awal tahun 1923, banyak organisasi pribumi yang cenderung mengambil
sikap non-kooperasi dan menolak keras imperialisme. Dikeluarkannya Ordonansi
Pengawasan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari keinginan untuk mengontrol
dan mengendalikan perkembangan ini.
Pengawasan
melalui Ordonansi 1923 ini hanya bersifat wajib lapor bagi penyelenggara suatu
lembaga pendidikan, sementara kalangan luas pejabat kolonial menghendaki
pengawasan lebih ketat. Pada tanggal 17 Oktober 1929, Schrieke – selaku
direktur Pendidikan – diperintahkan oleh Sekretaris Negara atas saran Dewan
Penasehat Hindia, untuk meninjau kemungkinan ditindaknya sekolah liar. Tetapi
Schrieke, yang pada dasarnya menyetujui pendapat pendahulunya Hardeman – bahwa
pemerintah belum perlu mengambil tindakan terhadap sekolah liar – agaknya
berhasil menunda masalah ini sampai tahun 1932; yakni keluarnya Toezicht-ordonantie particulier Onderwijs
tanggal 17 September 1932 yang dinyatakan berlaku mulai 1 Oktober 1932.[37]
Krisis
ekonomi tahun tiga puluhan memaksa pemerintah kolonial untuk menekan anggaran
belanja pendidikan. Sementara itu tuntutan pendidikan sudah semakin meningkat,
sehingga bermunculanlah sekolah-sekolah swasta, meskipun tanpa subsidi
pemerintah. Tetapi, dan ini suatu ironi, justru pemerintah kolonial menyambut
inisiatif masyarakat ini dengan Ordonansi Sekolah Liar. Akibatnya timbullah
reaksi hebat dari kalangan luas masyarakat, baik dari organisasi nasional
maupun Islam.[38] Direktur
Pendidikan sendiri agaknya bisa memaklumi hal tersebut, namun hal ini justru
menyebabkan dirinya sedikit tersisih dari lingkungannya.[39]
Taman
siswa – yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan ordonansi ini – bertekad
untuk mengadakan perlawanan pasif. Tekad tersebut dinyatakan oleh Ki Hadjar
Dewantara dalam kawatnya ke Gubernur Jenderal, juga dalam pembicaraan lisan
dengan Kiewiet de Jounge – selaku kuasa pemerintah – ketika berkunjung ke
rumahnya.[40] Sarekat
Islam (SI) yang sejak tahun 1932 telah menjelma menjadi Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), juga mengumumkan suatu manifesto menentang ordonansi ini.
Pada
tahun tahun 1932 sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir dengan
keputusan menolak Ordonansi Sekolah Liar. Konferensi dewan pendidikan Persatuan
Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat tanggal 26-27 Desember 1932
memutuskan bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar
umum, di samping mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan
membangun pendidikannya sendiri. Para ulama besar Minangkabau, yang beranggapan
ordonansi ini merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam, menuduh
pemerintah kolonial bertindak menguntungkan Kristen. Mereka memutuskan akan
berjuang hidup atau mati untuk Islam, dan membentuk suatu panitia aksi yang
diketuai oleh H. Rasul. Suatu partai yang dianggap loyal yaitu Budi Utomo, juga
menentang keras ordonansi ini. Partai ini bertekad akan menarik
anggota-anggotanya dari aneka lembaga perwakilan, andaikata pada tanggal 31
Maret 1933 Ordonansi Sekolah Liar belum ditarik kembali; bahkan akan
menutup-menutup sekolahnya serta akan memberikan bantuan keuangan kepada
parakurban perlawananan pasif. Sedangkan Muhammadiyah, pada mulanya menunjukkan
sikap ragu terhadap ordonansi ini, mungkin karena sebagian sekolahnya
memperolah subsidi dari pemerintah, meskipun hanya sebagian kecil. Namun dalam
konferensi daruratnya di Yogyakarta pada tanggal 18-19 Nopember 1932, akhirnya
organisasi ini pun menolak Ordonansi Sekolah Liar.
Dari
sini terlihat bahwa usaha pemerintah kolonial untuk menekan pendidikan swasta,
ternyata memperoleh perlawanan keras dari pihak pribumi, baik dari organisasi
nasional maupun organisasi Islam. Organisasi PSII dan Permi serta Muhammadiyah
bahu membahu dengan Taman Siswa, Budi Utomo, PNI, Partindo, dan Isteri Sedar,
untuk menentang keras Ordonansi Sekolah Liar. Reaksi ini memaksa pemerintah
kolonial untuk meninjau ordonansi yang berumur setengah tahun itu. Pada
pertengahan Februari 1933 ordonansi ini dinyatakan ditarik kembali, dan pada
pertengahan Oktober 1933 penarikan ini dipertegas dengan keluarnya peraturan
baru.[41] Sejak
itulah pelbagai sekolah yang selama ini dinilai sebagai liar, disebut sebagai
“sekolah swasta tak bersubsidi”. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah sekolah
ini semakin banyak dan mutunya pun semakin meningkat.
KESIMPULAN
Kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda tidaklah
dimaksudkan untuk mencerdaskan orang-orang Indonesia, melainkan tak lebih daripada sekedar memberi kesempatan kepada keluarga golongan tertentu yang dipercaya
untuk
ikut
serta mempertahankan kelangsungan kolonialnya. Keinginan keras untuk tetap
berkuasa di Indonesia, mengharuskan pemerintah Hindia Belanda untuk menemukan
politik Islam yang tepat, karena
sebagian besar penduduk kawasan ini beragama Islam. Snouck Hurgronje mendorong
untuk bersikap netral terhadap ibadah agama, di samping bertindak tegas
terhadap setiap kemungkinan perlawanan orang-orang Islam fanatik. Disisi lain Snouck
Hurgronje juga menggunakan sistem asosiasi kebudayaan, dia percaya bahwa pendidikan barat, dalam analisanya, merupakan sarana yang paling meyakinkan untuk mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia.
Secara implisit, faktor-faktor utama yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda yaitu:
- Faktor ekonomi, yakni pendirian sekolah-sekolah selalu didorong pertimbangan untung-rugi secara sosio-ekonomis bagi pemerintah Hindia Belanda (hlm.8
- Faktor Kristenisasi, yaitu pendirian sekolah-sekolah berkaitan dengan upaya-upaya Kristenisasi terhadap pribumi dan berusaha menyisihkan kekuatan Islam sebagai sebuah ideologi yang telah mengakar kuat dalam diri sebagian besar penduduk pribumi (hlm.5 dan 11).
- Penyelenggaraan sekolah-sekolah yang tak lain dimaksudkan untuk mencetak tenaga menengah ke bawah untuk mengisi posisi-posisi pekerjaan di berbagai perkebunan dan pabrik-pabrik dengan kata lain menyiapkan calon pegawai pemerintahan kolonial (hlm.9).
- Faktor politik, yakni suasana perpolitikan baik yang terjadi di Parlemen Belanda maupun di Hindia Belanda sendiri turut memengaruhi produk kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Disisi lain, Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri (hlm. 10).
- Faktor kondisi umat Islam Indonesia, yaitu fenomena umat Islam yang pada paruh kedua abad ke-19 sedang mengalami kebangkitan juga ikut menjadi pemicu pemerintah kolonial Belanda untuk menyainginya dengan banyak mendirikan sekolah-sekolah – terutama sekolah kristen. Dsb.
DAFTAR
PUSTAKA
Suminto,
Aqib., 1985, Politik Islam Hindia Belanda,
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Noer,
Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. IISteenbrink, Karel, 1995, Kawan dalam pertikaian kaum kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penj. Suryan A. Jamrah. Jakarta. Mizan.
[1] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
1985), hal. 1.
[2] Aqib Suminto, op.cit., hal. 4.
[3] Ayat 119 RR: “Setiap warga negara bebas
menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran
peraturan umum hukum agama.”
[4] Di sini terlihat bahwa karena enggan membantu
masjid, maka digunakan ketentuan: tidak boleh mencampuri masalah agama;
sedangkan dalam masalah haji ketentuan tersebut dikesampingkan justru karena
alasan ketertiban keamanan.
[5] Hal ini terlihat jelas pada aneka peraturan
tentang haji yang dikeluarkan antara tahun 1825 – 1859, yang bertujuan untuk
membatasi dan mempersulit ibadah haji ke Mekah. (Ibid).
[6] Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 no. 78
memberikan instruksi rahasia kepada Gubernur Jenderal. Ayat 78 berbunyi:
“Gubernur Jenderal yang memegang prinsip bahwa pemerintah tidak boleh
mencampuri urusan agama, boleh mencampurinya bila dipandang perlu untuk
memelihara ketenangan dan ketertiban umum.” Ayat 80 berbunyi: “Gubernur
Jenderal harus mengawasi dengan teliti tingkah laku para ulama, dan harus
menjada agar guru atau zendeling Kristen
tidak mengganggu mereka.” (Lihat Arsip UB no. 1803, A21, Leiden).
[7] Penulis terkenal Perancis Joseph Chailley,
dosen perbandingan sistem kolonial, pernah menyatakan bahwa aktivitas kolonial
harus berdasarkan politik pribumi, yaitu seni memahami dan menguasai penduduk
pribumi. Lihat: ADA de Kat Angelino, Colonial
Policy I, (The Hague, 1931), hal. 3.
[8] Gagasan Snouck Hurgronje mengenai politik
asosiasinya meyakini bahwa
pendidikan Barat yang diberikan kepada rakyat jajahan akan mengalahkan Islam. Karena, menurut pandangannya, lapisan pribumi yang
berkebudayaan lebih tinggi akan relatif jauh dari pengaruh
Islam, sedangkan pengaruh yang akan mereka miliki
akan lebih mempermudah mempertemukannya
dengan pemerintahan Eropa.
Pendidikan Barat, dalam analisanya, merupakan
sarana yang paling meyakinkan untuk mengurangi
dan akhirnya menaklukkan pengaruh
Islam di Indonesia. Lihat, Husnul Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, hal. 43
[9] Steenbrink, Karel.Kawan dalam pertikaian kaum colonial Belanda
dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penj. Suryan A. Jamrah. Jakarta. Mizan.
1995. Hlm: 122
[10] Perkembangan pendidikan pada abad ke-20:
1900-1915: Percaya akan arti
nilai pendidikan Barat bagi pribumi. Walaupun ada sekolah desa yang didirikan
oleh Van Heutz, pendidikan Barat sangat menarik perhatian.
1915-1927: Timbul reaksi yang
menghendaki pendidikan yang lebih cocok bagi pribumi, agar mereka tidak
terlepas dari kebudayaan aslinya; meskipun pada masa Direktur Pendidikan dan
Agama Creutzberg masih terdapat optimisme bahwa pendidikan Barat akan segera
tersebar.
1927-1942: Yakni sejak
berdirinya panitia Pendidikan Belanda Indonesia oleh G.J. de Graeff tahun 1927.
Panitia ini bkerja sampai tahun 1930, diketuai oleh Dr. B.J.O. Schrieke.
Pemerintah mengakui secara terbuka
bahwa karena kekurangan biaya dan tenaga guru, maka pendidikan harus dibatasi.
[11] Sekitar tahun 1939 Muhammadiyah memiliki 1744
sekolah. Sekitar separuh dari padanya merupakan sekolah model pemerintah, dan
separuh lainnya model madrasah. Model pertama pada umumnya dinilai baik oleh
pemerintah kolonial, dan diberi subsidi olehnya. Meskipun model ini sejalan
dengan sekolah sekuler pemerintah, namun tidak terlepas dari jiwa al-Qur’an.
[12] Taman Siswa adalah perguruan swasta nasional
yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Perguruan ini menentang sistem pendidikan kolonial, yang dinilainya hanya
mengutamakan mendidik pegawai. Dalam kongres pertamanya bulan Agustus 1930,
Taman Siswa telah memiliki 58 cabang di seluruh Indonesia, yang seluruhnya
didukung swadaya masyarakat.
[13] Pada tahun itu, C.C. Berg memberikan prasaran
tentang pengaruh kebudayaan Barat dan tugasnya di Indonesia, dalam suatu
diskusi yang diselenggarakan oleh Indisch
Genootschap. Ketika ditanya pendapatnya tentang penambahan pelajaran
al-Qur’an bagi sekolah desa, dia menyetujuinya dengan alasan agar pribumi tidak
terlepas dari kebudayaannya.
[14] Ternyata kemudian mereka yang menyekolahkan
anaknya ke HIS hanya 28 persen yang berpenghasilan di atas f.100, - per bulan.
[15] Tapi dalam kenyataannya, penetrasi Belanda
keluar Jawa segera diikuti oleh kedatangan para mahasiswa dari Al-Azhar di
Mesir, dan modernisasi Islam menjalar bagaikan api liar.
[16] R.A. Kern pernah menyatakan bahwa Islam tidak
pernah mengenal usaha ke arah kemajuan, justru beku. Harus diperingatkan bahwa
peraturan agama Islam merupakan rintangan paling besar. Pribumi pada dasarnya
mengenal dorongan kepada kemajuan, walaupun mereka beragama Islam. ”Jadi dalam
memerangi Islam, kita harus berusaha membawa pribumi ke tingkat lebih tinggi”.
[17] Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
pada sekitar tahun 1850 oleh Brumund dinilai hanya merupakan tempat lahirnya
kepercayaan bodoh dan asusila. Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa dilihat
dari sudut didaktis, pesantren tidak banyak berarti. Dikatakannya bahwa para
santri membuang waktu dengan menelusuri ilmu moral, dan kadang-kadang mengarah
ke intoleransi. Baru dua belas tahun kemudian ia mengakui bahwa pesantren
tinggi mampu mendidik murid ke pengertian lebih luas.
[18] Ahmad Djajaningrat melukiskan pengalamannya di
pesantren, ketika dimarahi lurahnya akibat salah membaca huruf arab. Dikatakan
kepadanya, misalnya: “Tak akan masuk pelajaran ini ke otakmu, karena perutmu
penuh disumbat dengan nasi yang dibeli dengan uang haram”.
[19] Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi
Muhammad SAW, bahwa barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia tergolong kaum
tersebut. Latar belakang sosial politik ketika itu ikut mewarnai pendapat ini.
Golongan santri saat itu dalam posisi
konfrontasi dengan kolonial Belanda, meskipun hanya dalam persamaan identitas
dasi dan celana.
[20] Dalam hal ini Snouck Hurgronje sampai
memberikan pernyataan bahwa pemerintah tidak boleh memberikan bantuan kepada
sekolah zending yang mewajibkan pendidikan agama Kristen kepada murid-murid
Islam. Ia bahkan memperingatkan bahwa bantuan pendidikan itu dibayar oleh pajak
yang datang dari orang Islam sendiri. “Mustahil mereka harus membiayai usaha
untuk menjauhkan anaknya dari agama nenek moyangnya”.
[21] Pemerintah kemudian mengatur bahwa pendidikan
di negeri ini harus menghormati aliran agama seseorang. Tidak boleh menggunakan
propaganda salah satu dogma, juga tidak boleh bersifat satu aliran gereja saja.
[22] Staatsblad 1905 no. 550, isinya antara lain:
- Seorang guru agama Islam baru
dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari bupati.
- Izin tersebut baru diberikan
bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan
pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum.
- Guru agama Islam tersebut
harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang
diajarkan.
- Bupati atau instansi yang
berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu.
- Guru agama Islam bisa dihukum
kurang maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila
ternyata mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/ mengirimkan daftar tersebut;
atau enggan memperlihatkan dafta itu kepada yang berwewenang, berkeberatan
memberi keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwewenang.
[23] Salah satu contoh kurang meyakinkannya laporan
tentang daftar guru ini tergambar dalam laporan Residen Yogya tentang K.H. Imam
Tafsir Krapyak. Dalam laporan thaun 1890, kyai ini dilaporkan dalam nomor urut
21, mengajar Tafsir. Pesantrennya dikunjungi 20 murid, semuanya dari desa
Krapyak. Dalam laporan 1897 kyai yang sama berada dalam urutan nomor 14 dan
masih mempunyai murid dari Krapyak. Dalam laporan residen tahun yang lain
disebutkan bahwa K.H.M. Kasan Tafsir di kalangan polisi selalu dikenal sebagai
guru yang masyhur. “Seseorang yang mengajar 20 murid di desanya sendiri, tidak
pantas disebut masyhur”. Mungkin setelah adanya Ordonansi Guru, statistik agak
bisa dipercaya. Meskipun demikian pada tahun 1935 Snouck Hurgronje masih
meragukan akuratnya data guru agama yang dilaporkan pada bupati.
[24] Staatsblad 1925 no. 219, isinya antara lain:
- Setiap guru agama harus mampu
menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
- Ia harus mengisi daftar murid
dan daftar pekerjaan yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oelh pejabat yang
berwewenang.
- Pengawasan dinilai perlu
justru memelihara ketertiban keamanan umum.
- Bukti kelayakan bisa dicabut,
bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud yang
bisa dinilai sebagai mencari uang.
- Guru agama Islam bisa dihukum
maksimum delapan hari kurungan atau denda maksimum f.25,-, bila mengajr tanpa
surat tanda terima laporan, tidak benar keterangan/ pemberitahuannya, atau
lalai dalam mengisi daftar.
- Juga bisa dihukum maksimum
sebulan kurungan atau denda maksimum f.200,-, bila masih mengajar setelah
dicabut haknya.
- Ordonansi guru 1925 berlaku
sejak 1 Juni 1925, dan Ordonansi Guru 1905 yang berlaku sejak 2 Nopember 1905
dinyatakan dicabut.
[25] Dalam keterangan pasal 3 ordonansi ini
dijelaskan bahwa kebebasan guru agama hendaknya tidak dirintangi. Tidak
dibebani kewajiban yang menyulitkan dan menghalangi pekerjaannya. Pengawasan
itu jangan sampai menyebelah kepada suatu keyakinan dalam agama.
[26] Pada bulan Syawal tahun 1926, di Sekayu
direncanakan akan diresmikan pembukaan sekolah Muhammadiyah oleh Pengurus Pusat
Muhammadiyah dari Yogyakarta. Hal ini telah dilaporkan secara tertulis kepada
Residen Palembang, melalui Asisten Residen. Tiba-tiba kontrolir setempat
menutup sekolah tersebut dengan alasan bahwa gurunya belum memiliki beslit dari
residen.
[27] Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Ordonansi
Guru belum secara resmi dinyatakan berlaku bagi daerah Palembang.
[28] Noer, Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. II. Hlm: 195
[29] Prasaran Junus Anies dalam kongres ini dengan
sangat tajam mengkritik Ordonansi Guru dan menuntut penarikannya.
[30] Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah
memulai pidatonya dengan bahasa Arab, kemudian diteruskan dalam bahasa daerah.
“Sejak saya mendengarkan maksud pemerintah hendak menjalankan ordonansi ini di
Minangkabau, berguncang persendianku, lemah lunglai seluruh tulang-belulangku.
Saya insaf, sebetulnya maksud pemerintah tidak hendak menjalankan ordonansi
yang amat berat ini di negeri kita. Saya yakin pemerintah agung tidak bermaksud
hendak menyinggung perasaan kita. Tetapi peraturan ini akan dijalankan adalah
karena kesalahan kita selama ini. Kita, ulama-ulama selalu berpecah, selalu
bersilang selisih!. . . (Ketika itu airmata beliau titik-gemiring) Inilah
bahaya yang mengancam kita dan akan banyak bahaya lagi, selama kita berpecah!”
Semua yang hadir bergarungan, menitikkan air mata, sampai ada yang melulung.
Para wakil pemerintah menyaksikan sendiri dengan mata kepala, bagaimana
hebatnya keadaan hari itu. Kalau salah-salah bertindak, bahaya besarlah yang
akan mengancam. “Sudikah tuan-tuan bersatu?” “Sudi” jawab mereka dengan suara
gemuruh. Kepada Dr. De Vries kemudian ia berkata: “sampaikanlah kepada
pemerintah tinggi, janganlah dijalankan ordonansi itu di sini, kami tidak
berpecah lagi. Kami telah bersatu!”
[31] Selaku Adviseur
voor Inlandsche zaken dia pernah mencoba memperoleh guru dari daftar yang
dikatakannya bisa mengisi satu sado, ternyata tidak berhasil. “Ordonansi ini
tiada gunanya. Belum pernah seorang pun perampok atau propagandis berbahaya
yang berhasil ditangkap dari ordonansi ini”.
[32] Akibat ini di luar keinginan Gubernur Jenderal
Fock dari partai Liberal. Partai ini tidak mendukung kristenisasi, tapi ketika
gubernur Jenderal berasal dari partai tersebut Kristen justru sangat maju.
[33] Tapi tidak semua sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia tergolong
sekolah liar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah pada umumnya diakui dan dibantu
pemerintah. Sebagian sekolah dasar milik Sarekat Islam juga tidak dianggap
sebagai sekolah liar, setidak-tidaknya samapai infiltrasi komunis.
[34] Hal ini terlihat pada penanganan masalah
pemogokan pegawai pegadaian yang dikoordinasi oelh Sentral Uni Buruh yang
dikuasai Sarekat Islam.
[35] Dalam kongres SI keenam bulan Oktober 1921,
Agus Salim dan A. Muis berusaha memforsir diadakannya disiplin partai. Kongres
ini mengambil keputusan mengeluarkan PKI dari SI, dengan suara 23 lawan 7.
Mereka yang menentangnya antara lain utusan dari Semarang, Solo, Salatiga,
Sukabumi dan Bandung.
[36] Pada bulan Mei 1922, Semaun kembali dari
Rusia. Ia kemudian mendirikan markas Uni Revolusioner di Semarang, sementara
itu Sentral Uni Buuh di Yogya tetap berada di bahwa kontrol SI. Semaun juga
membentuk Uni Organisasi-Organisasi Pedagang Indonesia di Madiun.
[37] Staasblad no. 494 dan 495. Isinya antara lain:
- Sebelum memperoleh izin
tertulis dari pemerintah, suatu lembaga pendidikan yang tidak sepenuhnya
dibiayai oleh dana pemerintah tidak dibenarkan memulai aktivitasnya.
- Hanya lulusan sekolah pemerintah
atau sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah, berhak
mengajar di sekolah ini.
- Ordonansi ini tidak berlaku
bagi lembaga pendidikan agama.
[38]Melalui Volksraad mereka tegaskan bahwa
pendidikan swasta ini seharusnya ditolerir pemerintah karena merupakan
inisiatif sendiri, di tengah ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan
fasilitas pendidikan yang cukup.
[39] Dalam hal ini Schrieke – yang menjabat sebagai
Direktur Pendidikan sejak tahun 1929 – meskipun bisa memahami bahwa tujuan
utama ordonansi itu untuk memberantas pendidikan bermutu rendah, namun ia
berpendapat bahwa syarat ijazah bagi guru dinilainya terlalu berat dan tidak
perlu diberikan. Ia berpendapat bahwa syarat tentang pengetahuan maupun sekolah
perlu ada, tapi untuk sementara jangan terlalu berat. Pendirian semacam ini
yang menyebabkan Schrieke kemudian agak tersisih dari lingkungannya.
[40] Tepat pada hari mulai berkalunya ordonansi ini
pada 1 Oktober 1932, Ki. Hadjar Dewantara selaku pimpinan umum Taman Siswa
mengirimkan kawat kepada Gubernur Jenderal, menentang ordonansi tersebut. Pada
pertengahan bulan Oktober, Kiewiet de Jonge selaku kuasa pemerintah mengunjungi
rumahnya. Dalam pertemuan ini Ki. Hadjar membeberkan rencananya, bahwa sekolah
swasta tidak perlu meminta izin meskipun tahu bahwa izin akan diberikan.
Akibatnya sekolah akan ditutup atau dilanjutkan tanpa izin. Kemungkinan
terakhir ini pasti berakibat dipanggilnya yang bersangkutan ke pengadilan.
Denda tidak akan dibayar. Akbiat selanjutnya para guru laki-laki maupun perempuan
akan dipenjara, dan orang lain akan menggantikannya.
[41] Staatsblad
1933, no. 373, 17 Oktober 1933. Isinya memeprkuat Staatsblad 1933 no. 66, meniadakan syarat ijazah bagi para
pengajar.
0 komentar :
Post a Comment