a Page of Dhikr
Home » ; Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam Era Kolonial Belanda

Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam Era Kolonial Belanda

Written By Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi on 13 October 2013 | October 13, 2013



 A.     Politik Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Umat Islam Di Indonesia

1)    Netral Terhadap Agama

Dua Dasawarsa terakhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20 dikenal sebagai puncak abad imperialisme, yang merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk kekaisaran. Pada masa itu, Inggris, Perancis, dan lain-lainnya merajalela di Afrika dan Asia, mengancam negara-negara merdeka untuk dijadikan propinsi Eropa. Sedangkan Belanda sudah memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu.

Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya di Kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya, betapapun tidak terlepas dari kaitan ajaran agama ini. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, mula-mula Belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Sikap Belanda dalam masalah ini “dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan.”

Di satu pihak, Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katolik. Hubungan antara umat Islam di kepulauan ini –terutama pada ulamanya- dengan Khalifah Turki, semula dianggap sama dengan hubungan antara umat Katolik dengan Paus di Roma. Tetapi pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam, dan belum mempunyai Kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Di samping karena belum memiliki pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab, pada waktu itu pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem sosial Islam. Keenganan mencampuri masalah Islam ini, tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda,[3] sehingga pada tahun 1865 pemerintah Belanda tidak sudi memberi bantuan bagi pembangunan masjid, kecuali kalau ada alasan istimewa. Kepentingan pemerintah kolonial dalam hal ini terbatas pada usaha memelihara agar penduduk tidak terpaksa memberikan uang, baik untuk pembangunan maupun perbaikan masjid.[4]

Tetapi Kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama ini nampak tidak konsisten, karena tidak adanya garis yang jelas. Dalam masalah haji misalnya, ternyata pemerintah kolonial tidak bisa menahan diri untuk tidak campur turun tangan; justru para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang memberontak.[5] Pada tahun 1959, Gubernur Jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.[6] Di sini terlihat bahwa Kebijakan tidak mencampuri urusan agama hanyalah bersifat sementara, karena belum dikuasainya masalah Islam sepenuhnya. Kebijakan ini pun masih harus tunduk kepada kepentingan rust en orde.

Setelah kedatangan Shouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah pemerintah Hindia Belanda mempunyai Kebijakan yang jelas mengenai masalah Islam, di mana ia melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam. Ditegaskannya bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatik. Penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, dan bukan atasannya. Ulama independen bukanlah komplotan jahat, sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Pergi haji ke Mekah pun bukan berarti fanatik berjiwa pemberontak. 

Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek, yakni Kebijakan mengenai pribumi.[7] Agaknya dengan menampilkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu. Dialah “arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris,” yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama bidang sosial dan politik, di samping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.

Sekalipun Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Islam sering kali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun ia tahu bahwa orang Islam di negeri ini pada waktu itu memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain. Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing.

Menghadapi medan seperti itu, Snouck Hurgrunje membedakan Islam dalam arti “Ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”. Dalam hal ini dia membagi masalah Islam atas tiga kategori, yakni: 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan; dan 3. Bidang politik; di mana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal dengan Islam Politiek, atau Kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia.

2)    Asosiasi Kebudayaan

Prinsip politik Islam Snouck Hurgronje dibidang kemasyarakatan adalah menggalakkan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini sebenarnya tidak lepas dari kaitan upaya merebut kemenangan dalam persaingannya dengan Islam, demi kelestarian penjajahannya. Oleh karena itu, mereka menerapkan politik asosiasi dan pemanfaatan adat. Politik asosiasi ini bertujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan Negara penjajahnya melalui kebudayaan, dimana lapangan pendidikan menjadi garapan utama. Dengan adanya asosiasi[8] ini maka Indonesia bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaannya sendiri.

Sasaran akhir politik asosiasi adalah memperkuat kedudukan pemerintah kolonial, oleh karena itu kehadiran Islam diperhitungkan sebagai factor penghalang. Dimata pemerintah colonial, Islam sering dinilai sebagai “negara dalam negara” (staat in den staat) yang harus dihadapi, karena agama ini juga mengatur dimensi horizontal hubungan antar manusia. Snouck Hurgonje sendiritelah memperhitungkan bahwa Islam Indonesia akan mengalami kekalahan melalui asosiasi pemeluk agama ini dalam kebudayaan Belanda. Snouck Hurgonje selama di Hindia Belanda telah berjuang untuk menwujudkan ide tersebut. Ia menerima beberapa putra dari kaum ningrat dan pegawai sipil yang berkedudukan tinggi untuk tinggal dirumahnya, menjadi murid The Batavian Grammar School.[9]


B.  Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pendidikan Islam

1)    Asosiasi Pendidikan

Ada tiga fase dalam perkembangan pendidikan di Hindia Belanda pada abad ke-20. Sampai tahun 1915, pendidikan Barat dianggap sangat penting bagi pribumi; kemudian timbul suatu reaksi yang menghendaki agar pendidikan bagi pribumi tidak melepaskan mereka dari kebudayaan aslinya. Selanjutnya timbul fase pengurangan pendidikan Barat yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, sejalan dengan keinginan mengadakan penghematan dalam bidang pendidikan.[10]

Seiring dengan merosotnya ekonomi, maka pada awal tahun tiga puluhan pemerintah Belanda bermaksud meninjau kembali Kebijakan pendidikannya untuk membatasinya, atas dasar pertimbangan sosio-ekonomi. Dalam kongres pendidikan yang diselenggarakan oleh Budi Utomo pada tanggal 31 Desember 1930 di Solo, gagasan pemerintah untuk meninjau kembali pendidikan ini ditolak secara aklamasi. Pada penglihatan mereka, peninjauan ini berlatar belakang faktor ekonomis dan politis. Dikatakan ekonomis karena pendidikan Barat memberikan kemungkinan bagi pribumi untuk menyaingi Eropa; dan dikatakan politis karena umumnya masyarakat Eropa mendukung pendidikan Barat bagi pribumi, bila pendidikan tersebut menolong kepentingan mereka. Ternyata usaha penghematan tersebut tidak dapat ditunda, berhubung situasi ekonomi keuangan pemerintah kolonial waktu itu.

Agaknya yang ditolak pihak pribumi adalah gagasan untuk membatasi pendidikannya, bukan semata-mata difat Baratnya pendidikan tersebut. Hal ini terlihat pada banyaknya sekolah-sekolah swasta yang mereka dirikan, yang di mata pemerintah kolonial kemudian disebut sebagai “sekolah liar”. Besarnya minat mereka untuk menyelenggarakan Barat ini bisa dimaksudkan, sebab aneka jabatan di lingkungan pemerintah kolonial justru menghendaki pendidikan Barat. Di samping itu, pendidikan Barat juga memungkinkan seseorang untuk memperluas pergaulannya dengan Belanda sebagai kelas penguasa.

Memang mereka tidak menolak sifat Baratnya pendidikan semata, tapi yang mereka inginkan adalah tertanamnya jiwa Indonesia pada pendidikan tersebut. Hal ini terlihat jelasa pada aneka usaha pendidikan Muhammadiyah, berupa pendidikan Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan Islam dan Indonesia.[11] Organisasi ini bahkan pada tahun 1937 mendirikan MULO pribumi di Yogyakarta, suatu sekolah menengah pertama dengan sistem pendidikan sebagai MULO biasa tapi menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar. Jiwa Indonesia ini pula agaknya yang melatarbelakangi sikap keras Taman Siswa,[12] dalam menolak sistem pendidikan resmi dan menolak subsidi pemerintah kolonial. Organisasi ini tidak menginginkan tujuan pendidikan hanya sekedar menyiapkan calon pegawai pemerintahan kolonial, sementara itu merenggut mereka dari kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaannya sendiri.

Pada tahun 1914, atas inisiatif Dr. Hazeu sekolah pribumi kelas satu dikembangkan menjadi HIS tujuh tahun, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagi pengantar. Hal ini kemudian dinilai sebagai kebelanda-belandaan, karena sejak tahun 1848 telah ditetapkan bahwa bahasa daerah harus menjadi bahasa pengantar bagi sekolah pribumi. Sampai-sampai pada tahun tiga puluhan timbul keinginan yang disuarakan oleh Van der Plas, agar sistem pendidikan lebih menekankan kepentingan pribumi. Pada tahun 1934, C.C. Berg juga menganjurkan agar kebudayaan Indonesia memperoleh perlindungan.[13] Namun betapapun arah pendidikan ini tetap tidak berubah, dan HIS pun tetap menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sampai akhir masa penjajahan Belanda.

Sejalan dengan pola pendidikan Snouck Hurgronje yang memimpikan pengubahan bangsawan tradisional pribumi menjadi elit berpendidikan barat, maka sekolah HIS semula hanya diperuntukkan bagi keluarga bangsawan pribumi.[14] Agaknya pemerintah kolonial sedikit sekali berbuat bagi pendidikan rakyat biasa, sehingga 93 persen dari 60 juta rakyat Indonesia pada akhir tahun 1930 masih dalam keadaan buat huruf. Pada waktu itu hanya sekitar 200 orang Indonesia yang lulus dari sekolah menengah atas per tahun. Pada tahun 1940 hanya 40 persen anak usia enam sampai delapan tahun yang telah memperoleh pendidikan dasar.

Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah kolonial menyadari, bahwa, “pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan kolonial yang berlaku.” Kebijakannya dalam bidang pendidikan, tidak terlepas dari pola politik kolonialnya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam Kebijakannya yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam ordonansi sekolah liar.

2)    Kebijakan Pendidikan dan Islam

Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial, sejalan dengan pola ini, maka Kebijakan di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat.[15] Agama ini dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi.[16]

Agaknya ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor kemampuan Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkan faktor kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup alasan agaknya untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa,[17] sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup melawan pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah kolonial. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan tersebut.

Kesadaran bahwa kolonial Belanda merupakan “pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam di benak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagai uang haram.[18] Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.[19] Sikap konfrontasi kaum santri dengan pemerintah kolonial ini, terlihat pula pada letak pesantren dii Jawa pada waktu itu, yang umumnya tidak terletak di tengah kota atau desa, tapi di pinggiran atau bahkan di luar keduanya.

Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara pelbagai Kebijakan pemerintah maupun  aktivitas zending dan missi sendiri, justru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen - yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintahan kolonial – sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam.[20] Sekolah-sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran gereja.[21] Semua ini ikut memperdalam jurang pemisah antara pemerintah kolonial dengan masyarakat santri. Aksi menimbulkan reaksi. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, umat Islam berusaha mempertahankan diri, dan kemudia ternyata berhasil.

3)    Ordonansi guru

Suatu Kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah Ordonansi Guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur Islam di negeri ini.

Sesudah terjadinya peristiwa Cilegon tahun 188, K.F. Holle pada tahun 1890 menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, karena pemberontakan para petani di Banten itu dinilai sebagai dimotori oelh para haji dan guru agama. Maka di Jawa terjadilah pemburuan terhadap guru agama; dan demi penyeragaman dalam pengawasannya, maka K.F. Holle menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap tahun. Kemudian pada tahun 1904 Snouck Hurgronje mengusulkan agar pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid, serta pengawasan oleh bupati harus dilakukan oleh suatu panitia. Pada tahun 1905 lahirlah suatu peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi Guru,[22] dan dinyatakan berlaku untuk Jawa madura kecuali Yogya dan Solo.

Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa sangat memberatkan. Apalagi pada waktu itu lembaga pendidikan pesantren belum memiliki administrasi yang teratur, daftar murid dan guru, atau mata pelajaran. Banyak di antara guru agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan.

Dalam praktek, ordonansi guru ini bisa dipergunakan untuk menekan agama Islam, karena dikaitkan dengan ketertiban keamanan. Misalnya ketika terjadi persaingan ketat antara Islam – Kristen di Tanah Batak pada awal abad ini. Lulofs selaku penasehat urusan luar Jawa menetapkan adanya suatu garis perbatasan antara Islam dan Kristen. Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih dari 24 jam. Tetapi gagasan ini ditentang oleh Hazeu, selaku Adviseur voor Inlandsche zaken, yang sangat keras melawan gagasan yang dinilainya sebagai penyalahgunaan Ordonansi guru untuk mengusir orang Islam. Ditegaskannya, Ordonansi Guru itu dibuat untuk mengawasi pendidikan Islam, bukan untuk menghambat atau menekannya.

Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam untuk minta izin itu, kemudian dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan aktifitasnya – yang secara periodik disampaikan bupati – ternyata kurang meyakinkan,[23] di samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Karena itu pada tahun 1925 dikeluarkanlah Ordonansi Guru baru – sebagai pengganti – yang hanya mewajibkan guru agama untuk memberitahu, bukan meminta izin.[24] Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk Jawa – madura. Sejak 1 Januari 1927 berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Kemudian pada tahun tiga puluhan berlaku pula untuk Bengkulu.

Tetapi seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam praktek bisa dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut.[25] Misalnya peristiwa yang terjadi di Sekayu pada tahun 1926.[26] H. Fachruddin selaku Ketua Muhammadiyah menyatakan keluhan bahwa sejak diumumkannya ordonansi ini pelbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Karena itu ia mengimbau gobee, selaku Adviseur voor Inlandsche zaken, agar turun tangan.[27]

Memang banyak reaksi yang dilancarkan oleh pihak pribumi terhadap ordonansi ini. Kongres Al-Islam tehun 1926 (1-5 Desember) di Bogor menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Kewajiban memberitahukan kurikulum, guru dan murid secara periodik ini dinilainya memberatkan, karena lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki administrasi dan sarana yang memadai[28]. Begitu pula keharusan mengisi formulir berbahasa Belanda, dirasakan sebagai beban sangat berat, sebab hampir semua guru agama tidak mengerti bahasa ini; paling-paling mereka mengerti bahasa Arab. Organisasi Muhammadiyah dalam kongres XVII tahun 1928 (12-20 Februari) dengan sangat keras menuntut agar Ordonansi Guru ini ditarik kembali.[29] Tetapi reaksi yang demikian hebat terjadi di Sumatera Barat, ketika pemerintah kolonial bermaksud hendak menerapkan Ordonansi Guru ini di daerah tersebut, segera setelah timbulnya pemberontakan komunis pada tahun 1927. Apalagi di beberapa tempat ternyata untuk mengajarkan agama, seseorang harus memperoleh izin resmi, bukan hanya cukup memberitahu. Tidaklah mengherankan kalau di kalangan masyarakat setempat banyak timbul pendapat bahwa andaikata Ordonansi Guru diterapkan, berarti orang Minang akan kehilangan kebebasan dalam melaksanakan aktivitas agamanya.

Dalam menjajagi kemungkinan dilaksanakannya Ordonansi Guru di Sumatera Barat, misi petugas Kantoor voor Inlandsche zaken, Dr. L. De Vries, memperoleh dukungan para demang dan para asisten demang, sebagian besar kepala nagari dan sebagian besar ulama tradisional. Ternyata tidak semua kaum muslimin Minangkabau bersedia menerima ordonansi tersebut. Untuk membicarakan masalah ini, pada tanggal 18 Agustus 1928 diselenggarakanlah rapat besar di Bukittinggi yang dihadiri 800 orang ulama dan guru agama, ditambah 200 orang utusan dari 115 organisasi Islam di Minagkabau. Menurut laporan resmi pemerintah Belanda, dalam pertemuan tersebut tampil 23 pembicara, yakni 17 orang dari Kaum Muda dan 5 orang dari Kaum Kuno, serta seorang dari golongan netral. Agaknya pidato H. Rasul[30] itu berhasil menguasai sidang sehingga semuanya sepakat untuk mengirim utusan ke Gubernur Jenderal, guna menolak dilaksanakannya Ordonansi guru di Sumatera Barat. Gubernur Jenderal memberikan jawaban, bahwa pemerintah Belanda “belum berniat berketetapan hendak menjalankan Ordonansi Guru itu di Minangkabau.”

Reaksi terhadap Ordonansi Guru agaknya bukan hanya dilancarkan oleh pihak pribumi, tapi juga oleh pihak Belanda sendiri. Sebagaimana diuraikan di atas, tujuan ordonansi ini adalah untuk mengawasi atau mengontrol pendidikan agama Islam; dan untuk itu adanya daftar guru dan segala aktifitasnya senagat diperlukan. Dalam hal ini van der Plas pada tahun 1934 berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan tersebut daftar guru yang dipaksakan itu sema sekali tidak ada gunanya.[31] Dia pun melihat akibat sampingan ordonansi ini dan memandangnya sebagai “rintangan paling besar bagi karya produktif di Hindia Belanda.” Dia berpendapat bahwa demi penyederhanaan dan efisiensi, hendaknya pemerintah kolonial menghapuskan Ordonansi Guru yang dinilainya hanya akan menghabiskan kertas ini.

Menanggapi pelbagai keinginan dihapuskannya Ordonansi Guru ini, Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Menteri Jajahan tahun 1935 masih berpendapat perlunya dipertahankannya ordonansi tersebut, meskipun dengan beberapa usul perubahan. Namun betapapun situasi kondisi telah jauh berubah. Di pihak pemerintahan kolonial sendiri, situasi ekonomi moneter menuntut diadakannya penghematan dan penyederhanaan. Di pihak pribumi, kekhawatiran akan timbulnya pemberontakan seperti terjadi di Cilegon tahun 1888, sudah tidak perlu ada. Bahaya gerakan tarekat maupun Pan Islam juga tidak perlu dikhawatirkan lagi, sehingga guru agama Islam tidak lagi harus diburu. Itulah sebabnya mengapa nasehat arsitek Ordonansi guru 1905 ini, tidak seampuh masa-masa yang lalu. Ordonansi Guru 1905 kehilangan urgensinya dan betapapun terpaksa menghilang dari peredaran.

4)    Ordonansi Sekolah Liar

Sejak tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Kebebasan mendidik pribumi ini kemudian dihapuskan oleh adanya Ordonansi Pengawasan tahun 1923. Sejak itu setiap orang yang hendak mendirikan suatu lembaga pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat mengajarnya.

Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya Ordonansi Pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijakan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia.[32] Sementara itu keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakkannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui di kantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.[33]

Sementara itu menghebatnya propaganda komunis di tengah memburuknya situasi politik pada awal tahun dua puluhan itu, dinilai pemerintah kolonial sebagai sudah cukup membahayakan stabilitas kekuasaannya. Kesadaran politik orang-orang Indonesia di pelbagai partai terus tumbuh, sementara di pihak lain – sejak diangkatnya Fock sebagai Gubernur Jenderal – tindakan pemerintah kolonial semakin keras.[34] Persaingan antara Islam dan komunis dalam tubuh Sarekat Islam (SI) pun bertambah ketat, sampai kemudian orang-orang komunis terpaksa harus dikeluarkan dari SI.[35] Gerakan komunis ini semakin menghebat sejak kembalinya Semaun dari Moskow pada pertengahan 1922, meskipun terpaksa harus berdiri di luar SI.[36] Corak politik pergerakan Indonesia pada tahun 1922 pada umumnya menjadi semakin radikal. Konsentrasi Radikal di Volksraad merupakan manifestasi perkembangan ini. Pada awal tahun 1923, banyak organisasi pribumi yang cenderung mengambil sikap non-kooperasi dan menolak keras imperialisme. Dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari keinginan untuk mengontrol dan mengendalikan perkembangan ini.

Pengawasan melalui Ordonansi 1923 ini hanya bersifat wajib lapor bagi penyelenggara suatu lembaga pendidikan, sementara kalangan luas pejabat kolonial menghendaki pengawasan lebih ketat. Pada tanggal 17 Oktober 1929, Schrieke – selaku direktur Pendidikan – diperintahkan oleh Sekretaris Negara atas saran Dewan Penasehat Hindia, untuk meninjau kemungkinan ditindaknya sekolah liar. Tetapi Schrieke, yang pada dasarnya menyetujui pendapat pendahulunya Hardeman – bahwa pemerintah belum perlu mengambil tindakan terhadap sekolah liar – agaknya berhasil menunda masalah ini sampai tahun 1932; yakni keluarnya Toezicht-ordonantie particulier Onderwijs tanggal 17 September 1932 yang dinyatakan berlaku mulai 1 Oktober 1932.[37]

Krisis ekonomi tahun tiga puluhan memaksa pemerintah kolonial untuk menekan anggaran belanja pendidikan. Sementara itu tuntutan pendidikan sudah semakin meningkat, sehingga bermunculanlah sekolah-sekolah swasta, meskipun tanpa subsidi pemerintah. Tetapi, dan ini suatu ironi, justru pemerintah kolonial menyambut inisiatif masyarakat ini dengan Ordonansi Sekolah Liar. Akibatnya timbullah reaksi hebat dari kalangan luas masyarakat, baik dari organisasi nasional maupun Islam.[38] Direktur Pendidikan sendiri agaknya bisa memaklumi hal tersebut, namun hal ini justru menyebabkan dirinya sedikit tersisih dari lingkungannya.[39]

Taman siswa – yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan ordonansi ini – bertekad untuk mengadakan perlawanan pasif. Tekad tersebut dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam kawatnya ke Gubernur Jenderal, juga dalam pembicaraan lisan dengan Kiewiet de Jounge – selaku kuasa pemerintah – ketika berkunjung ke rumahnya.[40] Sarekat Islam (SI) yang sejak tahun 1932 telah menjelma menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), juga mengumumkan suatu manifesto menentang ordonansi ini.

Pada tahun tahun 1932 sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir dengan keputusan menolak Ordonansi Sekolah Liar. Konferensi dewan pendidikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat tanggal 26-27 Desember 1932 memutuskan bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, di samping mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan membangun pendidikannya sendiri. Para ulama besar Minangkabau, yang beranggapan ordonansi ini merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam, menuduh pemerintah kolonial bertindak menguntungkan Kristen. Mereka memutuskan akan berjuang hidup atau mati untuk Islam, dan membentuk suatu panitia aksi yang diketuai oleh H. Rasul. Suatu partai yang dianggap loyal yaitu Budi Utomo, juga menentang keras ordonansi ini. Partai ini bertekad akan menarik anggota-anggotanya dari aneka lembaga perwakilan, andaikata pada tanggal 31 Maret 1933 Ordonansi Sekolah Liar belum ditarik kembali; bahkan akan menutup-menutup sekolahnya serta akan memberikan bantuan keuangan kepada parakurban perlawananan pasif. Sedangkan Muhammadiyah, pada mulanya menunjukkan sikap ragu terhadap ordonansi ini, mungkin karena sebagian sekolahnya memperolah subsidi dari pemerintah, meskipun hanya sebagian kecil. Namun dalam konferensi daruratnya di Yogyakarta pada tanggal 18-19 Nopember 1932, akhirnya organisasi ini pun menolak Ordonansi Sekolah Liar.

Dari sini terlihat bahwa usaha pemerintah kolonial untuk menekan pendidikan swasta, ternyata memperoleh perlawanan keras dari pihak pribumi, baik dari organisasi nasional maupun organisasi Islam. Organisasi PSII dan Permi serta Muhammadiyah bahu membahu dengan Taman Siswa, Budi Utomo, PNI, Partindo, dan Isteri Sedar, untuk menentang keras Ordonansi Sekolah Liar. Reaksi ini memaksa pemerintah kolonial untuk meninjau ordonansi yang berumur setengah tahun itu. Pada pertengahan Februari 1933 ordonansi ini dinyatakan ditarik kembali, dan pada pertengahan Oktober 1933 penarikan ini dipertegas dengan keluarnya peraturan baru.[41] Sejak itulah pelbagai sekolah yang selama ini dinilai sebagai liar, disebut sebagai “sekolah swasta tak bersubsidi”. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah sekolah ini semakin banyak dan mutunya pun semakin meningkat.


KESIMPULAN

Kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda tidaklah dimaksudkan untuk mencerdaskan orang-orang Indonesia, melainkan tak lebih daripada sekedar memberi kesempatan  kepada  keluarga  golongan  tertentu  yang  dipercaya  untuk  ikut serta mempertahankan kelangsungan kolonialnya. Keinginan keras untuk tetap berkuasa di Indonesia, mengharuskan pemerintah Hindia Belanda untuk menemukan politik Islam yang tepat, karena sebagian besar penduduk kawasan ini beragama Islam. Snouck Hurgronje mendorong untuk bersikap netral terhadap ibadah agama, di samping bertindak tegas terhadap setiap kemungkinan perlawanan orang-orang Islam fanatik. Disisi lain Snouck Hurgronje juga menggunakan sistem asosiasi kebudayaan, dia percaya bahwa pendidikan barat, dalam analisanya, merupakan sarana yang paling meyakinkan untuk mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia.

Secara implisit, faktor-faktor utama yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda yaitu: 
  •  Faktor ekonomi, yakni pendirian sekolah-sekolah selalu didorong pertimbangan untung-rugi secara sosio-ekonomis bagi pemerintah Hindia Belanda (hlm.8
  • Faktor Kristenisasi, yaitu pendirian sekolah-sekolah berkaitan dengan upaya-upaya Kristenisasi terhadap pribumi dan berusaha menyisihkan kekuatan Islam sebagai sebuah ideologi yang telah mengakar kuat dalam diri sebagian besar penduduk pribumi (hlm.5 dan 11).
  • Penyelenggaraan sekolah-sekolah yang tak lain dimaksudkan untuk mencetak tenaga menengah ke bawah untuk mengisi posisi-posisi pekerjaan di berbagai perkebunan dan pabrik-pabrik dengan kata lain menyiapkan calon pegawai pemerintahan kolonial (hlm.9).
  •  Faktor politik, yakni suasana perpolitikan baik yang terjadi di Parlemen Belanda maupun di Hindia Belanda sendiri turut memengaruhi produk kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Disisi lain, Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri (hlm. 10).
  • Faktor kondisi umat Islam Indonesia, yaitu fenomena umat Islam yang pada paruh kedua abad ke-19 sedang mengalami kebangkitan juga ikut menjadi pemicu pemerintah kolonial Belanda untuk menyainginya dengan banyak mendirikan sekolah-sekolah – terutama sekolah kristen. Dsb.




DAFTAR PUSTAKA

Suminto, Aqib., 1985, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
           Noer, Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. II
            Steenbrink, Karel, 1995, Kawan dalam pertikaian kaum kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penj. Suryan A. Jamrah. Jakarta. Mizan. 


 


[1] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1985), hal. 1.
[2] Aqib Suminto, op.cit., hal. 4.
[3] Ayat 119 RR: “Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan    masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama.”
[4] Di sini terlihat bahwa karena enggan membantu masjid, maka digunakan ketentuan: tidak boleh mencampuri masalah agama; sedangkan dalam masalah haji ketentuan tersebut dikesampingkan justru karena alasan ketertiban keamanan.
[5] Hal ini terlihat jelas pada aneka peraturan tentang haji yang dikeluarkan antara tahun 1825 – 1859, yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit ibadah haji ke Mekah. (Ibid).
[6] Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 no. 78 memberikan instruksi rahasia kepada Gubernur Jenderal. Ayat 78 berbunyi: “Gubernur Jenderal yang memegang prinsip bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan agama, boleh mencampurinya bila dipandang perlu untuk memelihara ketenangan dan ketertiban umum.” Ayat 80 berbunyi: “Gubernur Jenderal harus mengawasi dengan teliti tingkah laku para ulama, dan harus menjada agar guru atau zendeling Kristen tidak mengganggu mereka.” (Lihat Arsip UB no. 1803, A21, Leiden).
[7] Penulis terkenal Perancis Joseph Chailley, dosen perbandingan sistem kolonial, pernah menyatakan bahwa aktivitas kolonial harus berdasarkan politik pribumi, yaitu seni memahami dan menguasai penduduk pribumi. Lihat: ADA de Kat Angelino, Colonial Policy I, (The Hague, 1931), hal. 3.
[8] Gagasan Snouck Hurgronje mengenai politik asosiasinya  meyakini bahwa pendidikan Barat yang diberikan kepada rakyat jajahan akan mengalahkan Islam. Karena, menurut pandangannya, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi akan relatif jauh dari pengaruh Islam, sedangkan pengaruh yang akan mereka miliki akan lebih mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Pendidikan Barat, dalam analisanya, merupakan sarana yang paling meyakinkan untuk mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia. Lihat, Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal. 43
[9] Steenbrink, Karel.Kawan dalam pertikaian kaum colonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penj. Suryan A. Jamrah. Jakarta. Mizan. 1995. Hlm: 122
[10] Perkembangan pendidikan pada abad ke-20:
1900-1915: Percaya akan arti nilai pendidikan Barat bagi pribumi. Walaupun ada sekolah desa yang didirikan oleh Van Heutz, pendidikan Barat sangat menarik perhatian.
1915-1927: Timbul reaksi yang menghendaki pendidikan yang lebih cocok bagi pribumi, agar mereka tidak terlepas dari kebudayaan aslinya; meskipun pada masa Direktur Pendidikan dan Agama Creutzberg masih terdapat optimisme bahwa pendidikan Barat akan segera tersebar.
1927-1942: Yakni sejak berdirinya panitia Pendidikan Belanda Indonesia oleh G.J. de Graeff tahun 1927. Panitia ini bkerja sampai tahun 1930, diketuai oleh Dr. B.J.O. Schrieke.
Pemerintah mengakui secara terbuka bahwa karena kekurangan biaya dan tenaga guru, maka pendidikan harus dibatasi.
[11] Sekitar tahun 1939 Muhammadiyah memiliki 1744 sekolah. Sekitar separuh dari padanya merupakan sekolah model pemerintah, dan separuh lainnya model madrasah. Model pertama pada umumnya dinilai baik oleh pemerintah kolonial, dan diberi subsidi olehnya. Meskipun model ini sejalan dengan sekolah sekuler pemerintah, namun tidak terlepas dari jiwa al-Qur’an.
[12] Taman Siswa adalah perguruan swasta nasional yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Perguruan ini menentang sistem pendidikan kolonial, yang dinilainya hanya mengutamakan mendidik pegawai. Dalam kongres pertamanya bulan Agustus 1930, Taman Siswa telah memiliki 58 cabang di seluruh Indonesia, yang seluruhnya didukung swadaya masyarakat.
[13] Pada tahun itu, C.C. Berg memberikan prasaran tentang pengaruh kebudayaan Barat dan tugasnya di Indonesia, dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Indisch Genootschap. Ketika ditanya pendapatnya tentang penambahan pelajaran al-Qur’an bagi sekolah desa, dia menyetujuinya dengan alasan agar pribumi tidak terlepas dari kebudayaannya.
[14] Ternyata kemudian mereka yang menyekolahkan anaknya ke HIS hanya 28 persen yang berpenghasilan di atas f.100, - per bulan.
[15] Tapi dalam kenyataannya, penetrasi Belanda keluar Jawa segera diikuti oleh kedatangan para mahasiswa dari Al-Azhar di Mesir, dan modernisasi Islam menjalar bagaikan api liar.
[16] R.A. Kern pernah menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengenal usaha ke arah kemajuan, justru beku. Harus diperingatkan bahwa peraturan agama Islam merupakan rintangan paling besar. Pribumi pada dasarnya mengenal dorongan kepada kemajuan, walaupun mereka beragama Islam. ”Jadi dalam memerangi Islam, kita harus berusaha membawa pribumi ke tingkat lebih tinggi”.
[17] Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada sekitar tahun 1850 oleh Brumund dinilai hanya merupakan tempat lahirnya kepercayaan bodoh dan asusila. Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa dilihat dari sudut didaktis, pesantren tidak banyak berarti. Dikatakannya bahwa para santri membuang waktu dengan menelusuri ilmu moral, dan kadang-kadang mengarah ke intoleransi. Baru dua belas tahun kemudian ia mengakui bahwa pesantren tinggi mampu mendidik murid ke pengertian lebih luas.
[18] Ahmad Djajaningrat melukiskan pengalamannya di pesantren, ketika dimarahi lurahnya akibat salah membaca huruf arab. Dikatakan kepadanya, misalnya: “Tak akan masuk pelajaran ini ke otakmu, karena perutmu penuh disumbat dengan nasi yang dibeli dengan uang haram”.
[19] Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia tergolong kaum tersebut. Latar belakang sosial politik ketika itu ikut mewarnai pendapat ini. Golongan santri saat itu  dalam posisi konfrontasi dengan kolonial Belanda, meskipun hanya dalam persamaan identitas dasi dan celana.
[20] Dalam hal ini Snouck Hurgronje sampai memberikan pernyataan bahwa pemerintah tidak boleh memberikan bantuan kepada sekolah zending yang mewajibkan pendidikan agama Kristen kepada murid-murid Islam. Ia bahkan memperingatkan bahwa bantuan pendidikan itu dibayar oleh pajak yang datang dari orang Islam sendiri. “Mustahil mereka harus membiayai usaha untuk menjauhkan anaknya dari agama nenek moyangnya”.
[21] Pemerintah kemudian mengatur bahwa pendidikan di negeri ini harus menghormati aliran agama seseorang. Tidak boleh menggunakan propaganda salah satu dogma, juga tidak boleh bersifat satu aliran gereja saja.
[22] Staatsblad 1905 no. 550, isinya antara lain:
-   Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari bupati.
-   Izin tersebut baru diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum.
-   Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkan.
-   Bupati atau instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu.
-   Guru agama Islam bisa dihukum kurang maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila ternyata mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/ mengirimkan daftar tersebut; atau enggan memperlihatkan dafta itu kepada yang berwewenang, berkeberatan memberi keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwewenang.
[23] Salah satu contoh kurang meyakinkannya laporan tentang daftar guru ini tergambar dalam laporan Residen Yogya tentang K.H. Imam Tafsir Krapyak. Dalam laporan thaun 1890, kyai ini dilaporkan dalam nomor urut 21, mengajar Tafsir. Pesantrennya dikunjungi 20 murid, semuanya dari desa Krapyak. Dalam laporan 1897 kyai yang sama berada dalam urutan nomor 14 dan masih mempunyai murid dari Krapyak. Dalam laporan residen tahun yang lain disebutkan bahwa K.H.M. Kasan Tafsir di kalangan polisi selalu dikenal sebagai guru yang masyhur. “Seseorang yang mengajar 20 murid di desanya sendiri, tidak pantas disebut masyhur”. Mungkin setelah adanya Ordonansi Guru, statistik agak bisa dipercaya. Meskipun demikian pada tahun 1935 Snouck Hurgronje masih meragukan akuratnya data guru agama yang dilaporkan pada bupati.
[24] Staatsblad 1925 no. 219, isinya antara lain:
-   Setiap guru agama harus mampu menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
-   Ia harus mengisi daftar murid dan daftar pekerjaan yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oelh pejabat yang berwewenang.
-   Pengawasan dinilai perlu justru memelihara ketertiban keamanan umum.
-   Bukti kelayakan bisa dicabut, bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud yang bisa  dinilai sebagai mencari uang.
-   Guru agama Islam bisa dihukum maksimum delapan hari kurungan atau denda maksimum f.25,-, bila mengajr tanpa surat tanda terima laporan, tidak benar keterangan/ pemberitahuannya, atau lalai dalam mengisi daftar.
-   Juga bisa dihukum maksimum sebulan kurungan atau denda maksimum f.200,-, bila masih mengajar setelah dicabut haknya.
-   Ordonansi guru 1925 berlaku sejak 1 Juni 1925, dan Ordonansi Guru 1905 yang berlaku sejak 2 Nopember 1905 dinyatakan dicabut.
[25] Dalam keterangan pasal 3 ordonansi ini dijelaskan bahwa kebebasan guru agama hendaknya tidak dirintangi. Tidak dibebani kewajiban yang menyulitkan dan menghalangi pekerjaannya. Pengawasan itu jangan sampai menyebelah kepada suatu keyakinan dalam agama.
[26] Pada bulan Syawal tahun 1926, di Sekayu direncanakan akan diresmikan pembukaan sekolah Muhammadiyah oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah dari Yogyakarta. Hal ini telah dilaporkan secara tertulis kepada Residen Palembang, melalui Asisten Residen. Tiba-tiba kontrolir setempat menutup sekolah tersebut dengan alasan bahwa gurunya belum memiliki beslit dari residen.
[27] Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Ordonansi Guru belum secara resmi dinyatakan berlaku bagi daerah Palembang.
[28] Noer, Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. II. Hlm: 195
[29] Prasaran Junus Anies dalam kongres ini dengan sangat tajam mengkritik Ordonansi Guru dan menuntut penarikannya.
[30] Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah memulai pidatonya dengan bahasa Arab, kemudian diteruskan dalam bahasa daerah. “Sejak saya mendengarkan maksud pemerintah hendak menjalankan ordonansi ini di Minangkabau, berguncang persendianku, lemah lunglai seluruh tulang-belulangku. Saya insaf, sebetulnya maksud pemerintah tidak hendak menjalankan ordonansi yang amat berat ini di negeri kita. Saya yakin pemerintah agung tidak bermaksud hendak menyinggung perasaan kita. Tetapi peraturan ini akan dijalankan adalah karena kesalahan kita selama ini. Kita, ulama-ulama selalu berpecah, selalu bersilang selisih!. . . (Ketika itu airmata beliau titik-gemiring) Inilah bahaya yang mengancam kita dan akan banyak bahaya lagi, selama kita berpecah!” Semua yang hadir bergarungan, menitikkan air mata, sampai ada yang melulung. Para wakil pemerintah menyaksikan sendiri dengan mata kepala, bagaimana hebatnya keadaan hari itu. Kalau salah-salah bertindak, bahaya besarlah yang akan mengancam. “Sudikah tuan-tuan bersatu?” “Sudi” jawab mereka dengan suara gemuruh. Kepada Dr. De Vries kemudian ia berkata: “sampaikanlah kepada pemerintah tinggi, janganlah dijalankan ordonansi itu di sini, kami tidak berpecah lagi. Kami telah bersatu!”
[31] Selaku Adviseur voor Inlandsche zaken dia pernah mencoba memperoleh guru dari daftar yang dikatakannya bisa mengisi satu sado, ternyata tidak berhasil. “Ordonansi ini tiada gunanya. Belum pernah seorang pun perampok atau propagandis berbahaya yang berhasil ditangkap dari ordonansi ini”.
[32] Akibat ini di luar keinginan Gubernur Jenderal Fock dari partai Liberal. Partai ini tidak mendukung kristenisasi, tapi ketika gubernur Jenderal berasal dari partai tersebut Kristen justru sangat maju.
[33] Tapi tidak semua sekolah yang  didirikan oleh orang Indonesia tergolong sekolah liar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah pada umumnya diakui dan dibantu pemerintah. Sebagian sekolah dasar milik Sarekat Islam juga tidak dianggap sebagai sekolah liar, setidak-tidaknya samapai infiltrasi komunis.
[34] Hal ini terlihat pada penanganan masalah pemogokan pegawai pegadaian yang dikoordinasi oelh Sentral Uni Buruh yang dikuasai Sarekat Islam.
[35] Dalam kongres SI keenam bulan Oktober 1921, Agus Salim dan A. Muis berusaha memforsir diadakannya disiplin partai. Kongres ini mengambil keputusan mengeluarkan PKI dari SI, dengan suara 23 lawan 7. Mereka yang menentangnya antara lain utusan dari Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung.
[36] Pada bulan Mei 1922, Semaun kembali dari Rusia. Ia kemudian mendirikan markas Uni Revolusioner di Semarang, sementara itu Sentral Uni Buuh di Yogya tetap berada di bahwa kontrol SI. Semaun juga membentuk Uni Organisasi-Organisasi Pedagang Indonesia di Madiun.
[37] Staasblad no. 494 dan 495. Isinya antara lain:
-   Sebelum memperoleh izin tertulis dari pemerintah, suatu lembaga pendidikan yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh dana pemerintah tidak dibenarkan memulai aktivitasnya.
-   Hanya lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah, berhak mengajar di sekolah ini.
-   Ordonansi ini tidak berlaku bagi lembaga pendidikan agama.
[38]Melalui Volksraad mereka tegaskan bahwa pendidikan swasta ini seharusnya ditolerir pemerintah karena merupakan inisiatif sendiri, di tengah ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan fasilitas pendidikan yang cukup.
[39] Dalam hal ini Schrieke – yang menjabat sebagai Direktur Pendidikan sejak tahun 1929 – meskipun bisa memahami bahwa tujuan utama ordonansi itu untuk memberantas pendidikan bermutu rendah, namun ia berpendapat bahwa syarat ijazah bagi guru dinilainya terlalu berat dan tidak perlu diberikan. Ia berpendapat bahwa syarat tentang pengetahuan maupun sekolah perlu ada, tapi untuk sementara jangan terlalu berat. Pendirian semacam ini yang menyebabkan Schrieke kemudian agak tersisih dari lingkungannya.
[40] Tepat pada hari mulai berkalunya ordonansi ini pada 1 Oktober 1932, Ki. Hadjar Dewantara selaku pimpinan umum Taman Siswa mengirimkan kawat kepada Gubernur Jenderal, menentang ordonansi tersebut. Pada pertengahan bulan Oktober, Kiewiet de Jonge selaku kuasa pemerintah mengunjungi rumahnya. Dalam pertemuan ini Ki. Hadjar membeberkan rencananya, bahwa sekolah swasta tidak perlu meminta izin meskipun tahu bahwa izin akan diberikan. Akibatnya sekolah akan ditutup atau dilanjutkan tanpa izin. Kemungkinan terakhir ini pasti berakibat dipanggilnya yang bersangkutan ke pengadilan. Denda tidak akan dibayar. Akbiat selanjutnya para guru laki-laki maupun perempuan akan dipenjara, dan orang lain akan menggantikannya.
[41] Staatsblad 1933, no. 373, 17 Oktober 1933. Isinya memeprkuat Staatsblad 1933 no. 66, meniadakan syarat ijazah bagi para pengajar.


Share

Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi

Berasal dari kota kecil nan indah di lereng gunung Lawu, Magetan. Bisa dihubungi melalui email: ahmad.elmagetany@gmail.com

0 komentar :

Post a Comment