A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Antropologi
1.
Pengertian Antropologi
Istilah “antropologi” berasal
dari bahasa Yunani dari asal
kata “anthropos” berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah antropologi berarti
ilmu
tentang manusia.
Para ahli antropologi (antropolog) sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia[1]. Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang mahluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, dan kebudayaannya.
Para ahli antropologi (antropolog) sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia[1]. Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang mahluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, dan kebudayaannya.
2.
Ruang Lingkup Antropologi
Secara khusus ilmu antropologi tersebut terbagi ke dalam lima sub-ilmu yang mempelajari: (a) masalah asal dan perkembangan manusia atau evolusinya secara biologis; (b) masalah terjadinya aneka ragam cirri fisik manusia; (c) masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam kebudayaan manusia; (d) masalah asal perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa yang diucapkan di seluruh dunia; (e) masalah mengenai asas- asas dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari aneka ragam sukubangsa yang tersebar di seluruh dunia masa kini.
Secara makro ilmu antropologi dapat dibagi ke dalam
dua bagian, yakni antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai
organisme biologis yang melacak perkembangan manusia menurut evolusinya, dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (specis). Keistimewaan apapun yang dianggap melekat ada pada
dirinya yang dimiliki manusia,
mereka digolongkan dalam “binatang menyusui” khususnya primat[2].
Dengan demikian para antropolog umumnya
mempunyai anggapan bahwa nenek moyang manusia itu pada dasarnya
adalah sama dengan primat lainnya,
khususnya kera dan monyet. Melalui aktivitas analisisnya yang mendalam
terhadap fosil-fosil dan pengamatannya pada primat-primat yang hidup, para ahli antrolpologi fisik berusaha melacak
nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa
kita menjadi mahkluk seperti sekarang ini.
Sedangkan antropologi
budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia
ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menurut Haviland[3] cabang antropologi
budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni; arkeologi, antropologi
linguistik, dan etnologi. Untuk memahami pekerjaan para ahli antropologi budaya, kita harus tahu tentang; (1) hakikat kebudayaan yang menyangkut
tentang konsep kebudayaan dan karakteristik- karakteristiknya, (2) bahasa dan komunikasi, menyangkut; hakikat bahasa, bahasa dalam kerangka kebudayaan, serta (3) kebudayaan
dan kepribadian. Dalam antropologi budaya mengkaji
tentang praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk
ekspresif, dan penggunaan bahasa, di mana makna
diciptakan dan diuji sebelum
digunakan masyarakat.
B.
Tujuan dan Kegunaan Antropologi
Antropologi memang merupakan
studi tentang umat manusia.
Ia tidak hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat akademis, tetapi
juga merupakan suatu cara hidup. Dalam arti yang lain banyak sesuatu
yang mungkin “mustahil”, sebab apa yang diketahui
dengan cara hidup bersama dengan mempelajari orang lain di dunia yang asing, bukan hanya orang-orang asing itu, tetapi akhirnya juga tentang diri sendiri. Oleh karena itu kerja lapangan dalam
antropologi sungguh merupakan suatu inisiasi, karena menimbulkan suatu transformasi. Begitu juga dengan pangalaman, karena memberi kemungkinan-kemungkinan
untuk pengungkapan diri (self-expression)
dan cara hidup baru, yang menuntut
suatu penyesuaian baru kepada segala
sesuatu yang aneh, tidak menyenangkan
dan asing, serta memaksa
orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang mungkin tidak
akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan biasa.
Sebagai
ilmu tentang umat manusia,
antropologi melalui pendekatan dan metode ilmiah, ia berusaha menyusun sejumlah generalisasi
yang bermakna tentang makhluk manusia dan perilakunya, dan untuk mendapat
pengertian yang tidak apriori serta prejudice tentang keanekaragaman manusia.
Kedua bidang besar dari antropologi adalah antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik memusatkan
perhatiannya pada manusia sebagai organisme biologis, yang tekanannya pada upaya melacak evolusi perkembangan mahluk
manusia dan mempelajari variasi-variasi
biologis dalam species manusia. Sedangkan
antropologi budaya berusaha mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Di mana kebudayaan bisa merupakan peraturan-peraturan atau
norma-norma yang
berlaku
dalam
masyarakat[4].
Di antara ilmu-ilmu sosial dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan, tujuan, dan manfaat yang unik, karena bertujuan
serta bermanfaat dalam merumuskan penjelasan- penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas semua
aspek biologis manusia dan
perilakunya di semua masyarakat.
Selain itu
juga antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secara
obyektif, paling tidak mendekati
obyektif dan sistematis[5].
Seorang ahli antropologi dituntut harus mampu menggunakan metode-metode yang mungkin juga
digunakan oleh para ilmuwan lain dengan
mengembangkan hipotesis, atau penjelasan yang dianggap benar, menggunakan data lain untuk mengujinya,
dan akhirnya menemukan suatu teori, suatu sistem hipotesis
yang
telah
teruji.
Sedangkan
data
yang
digunakan
ahli
antropologi dapat berupa data dari suatu masyarakat
atau studi komparatif di antara sejumlah
besar masyarakat.
C.
Konsep-konsep Antropologi
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep dalam
antropologi adalah penting karena
pengembangan konsep yang terdefinisikan
dengan baik merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Antropologi sebagai disiplin ilmu yang relatif baru itu terus berusaha mengidentifikasi dan mengembangkan konsep walaupun tidak seperti ilmu-ilmu
lainnya yang lebih dahulu setle to
stand up. Namun tetap
memang tidak mudah untuk menyamakan
suatu persepsi.
Benar kata Banks dan Keesing yang mengemukakan “No two anthropologists think exactly alike, or use precisely the same operating concepts or symbols” (Tidak ada dua ahli antropologi yang berpikirnya persis mirip, atau menggunakan dengan tepat sama pengoperasian konsep-konsep atau simbol-simbol).
Benar kata Banks dan Keesing yang mengemukakan “No two anthropologists think exactly alike, or use precisely the same operating concepts or symbols” (Tidak ada dua ahli antropologi yang berpikirnya persis mirip, atau menggunakan dengan tepat sama pengoperasian konsep-konsep atau simbol-simbol).
Contoh ekstremnya bisa diambil tentang konsep
“kebudayaan” yang paling
umum, paling tidak terdapat tujuh
kelompok pengertian kebudayaan; (1) kelompok kebudayaaan sebagai keseluruhan kompleks kehidupan
manusia; (2) kelompok kebudayaan sebagai
warisan sosial atau tradisi;
(3) kelompok kebudayaan sebagai cara atauran termasuk cita-cita, nilai-nilai, dan
kelakuan; (4) kelompok kebudayaan sebagai keterkaitannya dalam proses-proses psikologis; (5) kebudayaan sebagai
struktur atau pola- pola organisasi
kebudayaan; (6) kelompok kebudayaan sebagai
hasil perbuatan atau kecerdasan manusia; (7) kelompok
kebudayaan sebagai sistem simbol.
Adapun yang merupakan contoh
konsep-konsep antropologi, di
antaranya; (1) kebudayaan; (2) evolusi;
(3) culture area; (4) enkulturasi; (5) difusi; (6) akulturasi; (7) etnosentrisme; (8)
tradisi; (9) ras dan etnik; (10) stereotip, dan
(11) kekerabatan, (12) magis, (13) tabu, (14) perkawinan.
D.
Urgensi Pendekatan Antropologi dalam Pengkajian Islam
Agama sebagai sasaran studi Antropologi dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama,
Antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi salah satu
sasaran kajian yang penting sehingga menghasilkan kajian cabang tersendiri yang
disebut dengan Antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang Antropologi
sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling berhubungan yaitu
Antropologis. Karena itu pendekatan Antropologi identik dengan pendekatan
kebudayaan[6].
Mengaitkan definisi Antropologi secara umum dengan kajian keislaman suatu
tatanan masyarakat, maka pendekatan Antropologis di sini dapat dipahami lebih
jelas seperti apa yang diungkapkan Abudin Nata, bahwa, pendekatan Antropologi
dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dengan kata lain cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama[7].
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi[8],
misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya.
1.
Objek kajian Studi Islam dengan Pendekatan Antropologi
Menurut Atho Mudzhar[9], fenomena agama yang dapat dikaji ada lima kategori meliputi:
a. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama.
Yakni
sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
c. Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d. Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
e. Organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan. Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut
memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
2.
Paradigma Pendekatan Antropologis
Beberapa paradigma pendekatan
antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad Fedyani Saifuddin dalam
bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma[10].
Meliputi:
a.
Evolusionisme Klasik: paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan
kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling
mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
b.
Difusionisme: paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara
bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
c.
Partikularisme: paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data
etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
d.
Struktural-Fungsionalisme: paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen
sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi
memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.
e.
Antropologi Psikologi: paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga
hal besar: hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan
antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian
khas masyarakat.
f.
Strukturalisme: paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk
mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran
manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
g.
Materalisme Dialektik: paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan
terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.
h.
Kultural Materialisme: paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab
kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
i.
Etno-sains: paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi
kognitif”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung
dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen
kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk
melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
j.
Antropologi Simbolik: paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia
adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik
dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia-
memberikan makna kepada kehidupannya.
k.
Sosiobiologi: paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi
biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program
genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.
3.
Cara Kerja
Pendekatan Antropologis Dalam Studi Islam
Menurut Amin Abdullah, cara kerja yang dalam hal ini bisa kita artikan
sebagai
langkah dan
tahapan
pendekatan antropologi dalam
studi Islam memiliki
empat ciri fundamental. Meliputi:
a. Deskriptif: Pendekatan antropologis bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang
dan
atau masyarakat (kelompok) setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama. Inilah yang biasa disebut dengan thick description
( pengamatan dan obserasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstruktur, mendalam dan berkesinambungan), bisa dilakukan
dengan cara living in.
b. Lokal Praktis: Pendekatan antropologis
disertai praktik konkrit dan
nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari,
agenda mingguan,
bulanan atau tahunan, lebih-lebih ketika melewati peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan.
c. Keterkaitan antar domain kehidupan secara lebih utuh (connections
across social domains): Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara
domain-domain kehidupan sosial
secara lebih
utuh. Yakni, hubungan antara
wilayah
ekonomi, sosial, agama,
budaya dan politik.
Hal
ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas
tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.
d. Komparatif (Perbandingan): Pendekatan antropologis perlu melakukan perbandingan
dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Seperti yang dilakukan
Cliffort Geertz pernah membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dengan di Maroko.
Keempat
ciri di atas adalah sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan, bahwa dalam
kaitan ini pendekatan antropologi lebih mengutamakan pengamatan langsung,
bahkan sifatnya partisipatif. Dimana darinya timbul kesimpulan-kesimpulan yang
sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan
dalam pengamatan sosiologis.
Pendekatan antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis[11].
Pendekatan antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis[11].
SELAMATAN DALAM KAJIAN ISLAM
A. Pengertian Selamatan[12]
dan Perkembangannya
Ada berbagai macam selamatan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya.
Seperti selamatan bangun rumah,
aqiqah, pernikahan, nujuh bulan dll. Tiap dari upacara yang
dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan
tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna
mengadakan upacara selamatan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti
tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa,
yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa
dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh
orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh
keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan
animisme-dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang
orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan
tertentu.
Dari sinilah manusia pada awalnya, setelah merasa tak
berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha kuat, yang disebut dengan
roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Aktifitas yang berupa
permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut dengan “selamatan”.
Seiring dengan masuknya kepercayaan Hindu dan Budha pada orang Jawa, maka
kepercayaannya pun bertambah lagi, menjadi percaya kepada adanya dewa-dewi. Hal
ini akan nampak jelas pada bacaan doa dalam upacara selamatan yang
diselenggarakan.
Setelah
kedatangan Islam di tanah Jawa, Islam juga ikut mempengaruhi upacara selamatan.
Jika pada masa sebelumnya disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian
nama-nama dewa-dewi, maka setelah kedatrangan Isalam nama-nama Allah, Muhammad,
dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya cukup mewarnainya, dalam doa-doa
selamatan.
B. Selamatan Dalam
Islam; Sebuah Kajian Antropologis
1. Gambaran Singkat Suku
Jawa
Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia. Mereka berasal
dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur
tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu sahaja di Jakarta, mereka juga
banyak ditemukan.
Suku jawa merupakan suatu kelompok sosial yang paling besar kuantitasnya
di Indonesia. Dan pada dasarnya, dimana ada kelompok sosial di situlah ada
hukum. Menurut Volkgeist, “hukum
tumbuh dan berkembang di masyarakat”. Sehingga bisa diambil pemahaman, bahwa
tanpa adanya suatu badan hukum pun, suku jawa zaman dulu sudah menerapkan suatu
model hukum berupa hukum kebiasaan (adat istiadat).
Hukum kebiasaan atau adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial berupa
tradisi yang umumnya bersifat sakral yang mengatur tata kehidupan sosial
masyarakat tertentu. Adat istiadat ini sejak lama dianut, hidup, dan berkembang
dalam masyarakat tertentu, misalnya upacara pelaksaan perkawinan suku jawa.[13]
Contoh hukum di atas menggambarkan bahwa suku Jawa kental akan adat
istiadat yang mereka sendiri menganggapnya sebagai sebuah hukum. Hukum adat
suku Jawa tercermin dari banyaknya upacara adat yang dalam kepercayaan mereka
upacara itu merupakan sebuah keharusan yang apabila tidak dilakukan akan datang
sanksi penguasa alam semesta (bencana).
2. Kajian Antropologi Pada
Suku Jawa
Pada dasarnya antropologi dibagi ke dalam dua garis besar, yakni
antropologi fisik dan antropologi budaya:
a)
Antropologi fisik suku Jawa
Orang Jawa adalah sebutan
bagi orang yang tinggal di Jawadwipa[14] atau
di pulau Jawa pada dulu kala. Pada saat ini yang dinamakan orang Jawa adalah
penduduk yang menghuni di pulau Jawa bagian tengah dan timur yang disebut suku
bangsa Jawa dan anak keturunannya. Dalam khasanah Arkeologi,
nama Java Man sudah tidak asing lagi, ini menunjuk kepada nenek
moyang orang Jawa dikala purba. Situs manusia purba di Indonesia, pulau Jawa
adalah di Sangiran yang terbelah sisi utara dan selatan karena dilewati aliran Kali
Cemoro yang mengalir dari Gunung Merapi menuju ke Bengawan
Solo. Bagian utara termasuk wilayah Desa Krikilan, Sragen, sedangkan yang
belahan selatan masuk Desa Krendowahono, Karanganyar.
Penelitian
dalam rangka mencari fosil nenek moyang manusia di Sangiran sudah dimulai sejak
1893 oleh peneliti Eugene Dubois. Dia menemukan fosil manusia purba di
Trinil, Ngawi, Jawa Timur, yang dinamakan Pithecanthropus Erectus, artinya
manusia kera yang berjalan tegak.
b)
Antropologi budaya suku Jawa
Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan
adat istiadat yang sangat kental. Adat istiadat suku Jawa masih sering
digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga
kematian. Ini merupakan sebuah bahan kajian yang sangat menarik untuk
dituangkan ke dalam sebuah makalah. Maka, penulis coba kupas satu per-satu dari
mulai masa kehamilan sampai kematian pada adat suku jawa.
1)
Adat Istiadat Suku Jawa
saat Kehamilan
Saat seorang wanita suku Jawa mengandung
dan usia kandungannya sudah mencapai tujuh bulan, mereka akan melakukan semacam ritual selamatan atau biasa disebut
mitoni. Salah satu ritual mitoni yang harus dijalankan oleh ibu hamil tersebut
adalah tingkeban. Pada ritual ini, wanita yang tengah mengandung dimandikan
menggunakan campuran air dan bunga. Kain yang digunakan sebagai kemben pun jumlahnya harus
tujuh dan dipakai secara bergantian saat acara tingkeban berlangsung.
2)
Adat Istiadat Suku Jawa
saat Upacara Pernikahan
Adat
istiadat suku Jawa juga sering dilaksanakan saat upacara pernikahan. Masyarakat
suku Jawa percaya akan adanya hari yang baik untuk melaksanakan pernikahan.
Hari baik tersebut, biasanya, berpatokan pada buku primbon Jawa. Sebulan
sebelum acara pernikahan berlangsung, calon pengantin
suku Jawa tidak diperbolehkan untuk saling bertemu. Khusus calon mempelai
wanita, biasanya, akan dipingit.
Ritual pingitan ini ditujukan untuk mempersiapkan fisik dan mental si
gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Sehari sebelum acara pernikahan,
calon mempelai wanita kembali melakukan ritual. Kali ini, ritualnya berupa
siraman.
Pada acara siraman, air yang digunakan oleh calon pengantin biasanya
sudah dicampur dengan bermacam-macam bunga. Kemudian, malam harinya, diadakan
ritual midodareni. Ritual ini biasanya juga menjadi acara pertemuan sebelum
pernikahan antara kedua keluarga calon mempelai. Saat acara pernikahan
berlangsung, ritual adat istiadat suku Jawa yang dilakukan lebih banyak. Mulai
saling melempar sirih hingga ritual membasuh kaki mempelai pria oleh mempelai
wanitanya.
3)
Adat Istiadat Suku Jawa
saat Upacara Kematian
Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat istiadat pun tidak
lepas mengiringi. Ritual yang biasa dilakukan adalah brobosan, yaitu melintas
di bawah mayat yang sudah ditandu dengan cara berjongkok. Ritual adat istiadat
pun belum selesai hingga di situ. Setahun pertama setelah meninggal, biasanya,
pihak keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan
selamatan pendak siji, pendak loro, hingga pendak telu
atau selamatan yang dilakukan di tahun ketiga[15].
C. Kajian Antropologi Islam
Tradisi
selamatan suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan
simbolik, sambutan resmi, dan do’a. Peserta selamatan (orang jawa)
memandangnya sebagai ringkasan tradisi lokal, namun secara totalitas selamatan
adalah peristiwa komunal, namun tiak mendefinisikan komunitas secara tegas; selamatan
berlangsung melalui ungkapan verbal yang panjang dimana semua orang setuju
dengannya, walaupun hadirin secara peorangan belum sepakat akan maknanya.
Tetapi manakala upacara ini menyatukan semua orang dalam perspektif yang
bersama mengenai manusia, Tuhan, dan dunia, maka upacara yang dilakukan
tersebut tidak mewakili pendangan siapapun secara khusus. Apabila dilakukan
pengamatan tentang berbagai unsur dalam selamatan ini, maka selamatan
merupakan pola kompromi kebudayaan, sikap dan gaya retorik yang diwujudkannya
dalam berbagai variasi yang dibawa kedalam nuansa kehidupan keagamaan yang
berbeda-beda.
Signifikansi
selamatan tergantung pada apa dan bagaimana peserta selamatan menggunakan
konse-konsep kunci yang sebagian berasal dari Islam. Sebagian menarik sebagai
ajaran ortodok, ada pula yang menempatkan konsep-konsep Islam dalam ajaran Jawa
atau memahaminya sebagai simbolisme universal manusia. Namun selamatan
juga mencerminkan suatu fungsi kritis dari simbolisme dalam tatanan yang secara
ideologis beranekaragam kepentingan yang dapat mendorong kesadaran kolektif
untuk menjadikan suatu kesatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa selamatan
sebagai “ambiguitas yang teratur”.
Jika
kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi
sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya
kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang
melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua
aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu
manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus
mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa
memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian
sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan
masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting.
Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi
kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat
dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah
makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri,
maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara
historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian
berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis
tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya
menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif
untuk mencari makna (meaning).
Kesulitan
mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman
dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga
oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk
membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk
dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah
bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan.
Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak
perlu lagi dipahami.
Kesimpulan
1.
Secara khusus ilmu antropologi tersebut terbagi ke dalam lima sub-ilmu yang
mempelajari: (a) masalah
asal dan perkembangan manusia
atau evolusinya secara biologis;
(b) masalah terjadinya
aneka ragam cirri fisik manusia;
(c) masalah terjadinya perkembangan
dan persebaran aneka ragam kebudayaan manusia; (d) masalah asal perkembangan dan
persebaran aneka ragam bahasa yang diucapkan di seluruh dunia; (e) masalah mengenai asas- asas
dari masyarakat dan kebudayaan
manusia dari aneka ragam sukubangsa yang tersebar di seluruh dunia masa kini.
2.
Dalam memahami agama,
pendekatan antropologi dapat dilakukan dengan melihat wujud dari praktek
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini
agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
3. Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa,
yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa
dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh
orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh
keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan
animisme-dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang
orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan
tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Koentjaraningrat.
1987. Sejarah
Teori
Antropologi,
Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia Press
Haviland, William A.
1999, Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa:
R.G. Soekadijo, Jakarta:
Erlangga
Kaplan dan Manners. 1999. Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam Yogyakarta:
ACAdeMia
Abudin Nata, 2000. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Nurcholish Madjid, 2000. Islam
Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
Mudzhar, Atho.
1998. Pendekatan Studi
Islam,
Dalam Teori dan
Praktek,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Saifuddin, Achmad Fedyani, 2006.
Antropologi Kontemporer : Suatu
Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, 1990. Metodologi
Penelitian Agama Yogyakarta: Tiara Wacana
Internet:
Komunitas wong kebumen, Asal-usul Jawa Dwipa, melalui: (http://www.facebook.com/note.php?note_id=125992110785449)
Anne Ahira, Adat istiadat Suku Jawa, melalui:
[1] Koentjaraningrat.
Sejarah
Teori
Antropologi,
Jilid 1, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press. 1987), hal.
1-2. Lihat pula: Haviland, William A.
Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa:
R.G. Soekadijo, (Jakarta:
Erlangga. 1999), hal. 7
[2] Haviland, William A.
Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa:
R.G. Soekadijo, (Jakarta:
Erlangga. 1999), hal.13
[3] Haviland, William A.
Antopologi, hal. 12
[4] Haviland, William A.
Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa:
R.G. Soekadijo, (Jakarta:
Erlangga. 1999), hal. 21
[6] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam
(Yogyakarta: ACAdeMia + Tazzafa, 2009), hal. 218.
[7] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal.36.
[8] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
(Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. IV. hal. 22.
[9] Mudzhar, Atho.
Pendekatan Studi
Islam,
Dalam Teori dan
Praktek,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998), hal. 13-14
[10] Saifuddin, Achmad Fedyani, Antropologi
Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hal: 63-66.
[11] Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Metodologi
Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 19.
[12] Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan
merupakan unsur terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem
religi orang Jawa, yang melambangkan kesatuan.
[13] Marwan Mas, Pengantar
Ilmu Hukum, (Bandung; Ghalia Indonesia, 2004) hlm. 64-65
[14] Komunitas wong kebumen, Asal-usul Jawa Dwipa, melalui: (http://www.facebook.com/note.php?note_id=125992110785449),
diakses tanggal 13 juni pada pukul 15.30 wib
[15] Anne Ahira, Adat
istiadat Suku Jawa, melalui: (http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-jawa.htm),
diakses tanggal 13 Juni pukul 15.10 wib
0 komentar :
Post a Comment