AHMADHIKR

Home » ; Pendekatan Antropologis Dalam Pengkajian Islam

Pendekatan Antropologis Dalam Pengkajian Islam

Written By Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi on 10 December 2014 | December 10, 2014

A.      Pengertian dan Ruang Lingkup Antropologi
1.    Pengertian Antropologi
Istilah “antropologi” berasal dari bahasa Yunani dari asal kata anthropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah antropologi berarti ilmu tentang manusia. 

Para ahli antropologi (antropolog) sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia[1]. Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian  atau  pemahaman  tentang  mahluk  manusia  dengan  mempelajari  aneka  warna bentuk fisiknya, masyarakat, dan kebudayaannya.




2.    Ruang Lingkup Antropologi

Secara khusus ilmu antropologi tersebut terbagi ke dalam lima sub-ilmu yang mempelajari: (a) masalah asal dan perkembangan manusia atau evolusinya secara biologis; (b) masalah terjadinya aneka ragam cirri fisik manusia; (c) masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam kebudayaan manusia; (d) masalah asal perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa yang diucapkan di seluruh dunia; (e) masalah mengenai asas- asas dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari aneka ragam sukubangsa yang tersebar di seluruh dunia masa kini.


Secara makro ilmu antropologi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis yang melacak perkembangan manusia menurut evolusinya, dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (specis). Keistimewaan apapun yang dianggap melekat ada pada dirinya yang dimiliki manusia, mereka digolongkan dalam “binatang menyusui” khususnya primat[2]. Dengan demikian para antropolog umumnya mempunyai anggapan bahwa nenek moyang manusia itu pada dasarnya adalah sama dengan primat lainnya, khususnya kera dan monyet. Melalui aktivitas analisisnya yang mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatannya pada primat-primat yang hidup, para ahli antrolpologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi mahkluk seperti sekarang ini.

Sedangkan antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menurut Haviland[3] cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni; arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi. Untuk memahami pekerjaan para ahli antropologi budaya, kita harus tahu tentang; (1) hakikat kebudayaan yang menyangkut tentang konsep kebudayaan dan karakteristik- karakteristiknya, (2) bahasa dan komunikasi, menyangkut; hakikat bahasa, bahasa dalam kerangka kebudayaan, serta (3) kebudayaan dan kepribadian. Dalam antropologi budaya mengkaji tentang praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, di mana makna diciptakan  dan  diuji  sebelum  digunakan  masyarakat.

B.       Tujuan dan Kegunaan Antropologi
Antropologi memang merupakan studi tentang umat manusia. Ia tidak hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat akademis, tetapi juga merupakan suatu cara hidup. Dalam arti yang lain banyak sesuatu yang mungkin “mustahil”, sebab apa yang diketahui dengan cara hidup bersama dengan mempelajari orang lain di dunia yang asing, bukan hanya orang-orang asing itu, tetapi akhirnya juga tentang diri sendiri. Oleh karena itu kerja lapangan dalam antropologi sungguh merupakan suatu inisiasi, karena menimbulkan suatu transformasi. Begitu juga dengan pangalaman, karena memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pengungkapan diri (self-expression) dan cara hidup baru, yang menuntut suatu penyesuaian baru kepada segala sesuatu yang aneh, tidak menyenangkan dan asing, serta memaksa orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang mungkin tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan biasa.

Sebagai ilmu tentang umat manusia, antropologi melalui pendekatan dan metode ilmiah, ia berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang makhluk manusia dan perilakunya, dan untuk mendapat pengertian yang tidak apriori serta prejudice tentang keanekaragaman manusia. Kedua bidang besar dari antropologi adalah antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai organisme biologis, yang tekanannya pada upaya melacak evolusi perkembangan mahluk manusia dan mempelajari variasi-variasi biologis dalam species manusia. Sedangkan antropologi budaya berusaha mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Di mana kebudayaan bisa merupakan   peraturan-peraturan   atau   norma-norma   yang   berlaku   dalam   masyarakat[4].

Di antara ilmu-ilmu sosial dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan, tujuan, dan manfaat yang unik, karena bertujuan serta bermanfaat dalam merumuskan penjelasan- penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas semua aspek biologis manusia dan perilakunya di semua masyarakat.

Selain itu juga antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secara obyektif, paling tidak mendekati obyektif dan sistematis[5]. Seorang ahli antropologi dituntut harus mampu menggunakan metode-metode yang mungkin juga digunakan oleh para ilmuwan lain dengan mengembangkan hipotesis, atau penjelasan yang dianggap benar, menggunakan data lain untuk mengujinya, dan akhirnya menemukan suatu teori,  suatu  sistem  hipotesis  yang  telah  teruji.  Sedangkan  data  yang  digunakan  ahli antropologi dapat berupa data dari suatu masyarakat atau studi komparatif di antara sejumlah besar masyarakat.

C.      Konsep-konsep Antropologi
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Antropologi sebagai disiplin ilmu yang relatif baru itu terus berusaha mengidentifikasi dan mengembangkan konsep walaupun tidak seperti ilmu-ilmu lainnya yang lebih dahulu setle to stand up. Namun tetap memang tidak mudah untuk menyamakan suatu persepsi.  

Benar  kata  Banks  dan  Keesing yang  mengemukakan  No two anthropologists think exactly alike, or use precisely the same operating concepts or symbols” (Tidak ada dua ahli antropologi yang berpikirnya persis mirip, atau menggunakan dengan tepat sama pengoperasian konsep-konsep atau simbol-simbol).


Contoh ekstremnya bisa diambil tentang konsep “kebudayaan” yang paling umum, paling tidak terdapat tujuh kelompok pengertian kebudayaan; (1) kelompok kebudayaaan sebagai keseluruhan kompleks kehidupan manusia; (2) kelompok kebudayaan  sebagai  warisan  sosial  atau  tradisi;  (3)  kelompok  kebudayaan  sebagai  cara atauran termasuk cita-cita, nilai-nilai, dan kelakuan; (4) kelompok kebudayaan sebagai keterkaitannya dalam proses-proses psikologis; (5) kebudayaan sebagai struktur atau pola- pola  organisasi  kebudayaan;  (6)  kelompok  kebudayaan  sebagai  hasil  perbuatan  atau kecerdasan manusia; (7) kelompok kebudayaan sebagai sistem simbol.

Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, di antaranya; (1) kebudayaan; (2) evolusi; (3) culture area; (4) enkulturasi; (5) difusi; (6) akulturasi; (7) etnosentrisme; (8) tradisi; (9) ras dan etnik; (10) stereotip, dan (11) kekerabatan, (12) magis, (13) tabu, (14) perkawinan.

D.      Urgensi Pendekatan Antropologi dalam Pengkajian Islam
Agama sebagai sasaran studi Antropologi dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama, Antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi salah satu sasaran kajian yang penting sehingga menghasilkan kajian cabang tersendiri yang disebut dengan Antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang Antropologi sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling berhubungan yaitu Antropologis. Karena itu pendekatan Antropologi identik dengan pendekatan kebudayaan[6].

Mengaitkan definisi Antropologi secara umum dengan kajian keislaman suatu tatanan masyarakat, maka pendekatan Antropologis di sini dapat dipahami lebih jelas seperti apa yang diungkapkan Abudin Nata, bahwa, pendekatan Antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama[7].

Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi[8], misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.

1.    Objek kajian Studi Islam dengan Pendekatan Antropologi
Menurut Atho Mudzhar[9], fenomena agama yang dapat dikaji ada lima kategori meliputi:
a.       Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b.      Para penganut atau  pemimpin atau  pemuka  agama.  Yakni  sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
c.       Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d.      Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
e.       Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syiah dan lain-lain.

Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.

2.    Paradigma Pendekatan Antropologis
Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma[10]. Meliputi:
a.       Evolusionisme Klasik: paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
b.      Difusionisme: paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
c.       Partikularisme: paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
d.      Struktural-Fungsionalisme: paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.
e.       Antropologi Psikologi: paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar: hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
f.       Strukturalisme: paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
g.      Materalisme Dialektik: paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.
h.      Kultural Materialisme: paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
i.        Etno-sains: paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi kognitif”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
j.        Antropologi Simbolik: paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada kehidupannya.
k.      Sosiobiologi: paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.

3.    Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Studi Islam
Menurut Amin Abdullah, cara kerja yang dalam hal ini bisa kita artikan  sebagai  langkah  dan  tahapan  pendekatan  antropologi  dalam studi Islam memiliki empat ciri fundamental. Meliputi:
a.       Deskriptif: Pendekatan antropologis  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan dengan orang dan atau masyarakat (kelompok)  setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama.   Inilah  yang biasa disebut dengan thick description ( pengamatan dan obserasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstruktur, mendalam dan   berkesinambungan),  bisa   dilakukan dengan cara living in.
b.      Lokal Praktis: Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan atau tahunan, lebih-lebih ketika melewati peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan.
c.       Keterkaitan antar domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains):  Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara  domain-domain  kehidupan   sosial  secara  lebih utuh.  Yakni,  hubungan  antara  wilayah  ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.
d.      Komparatif (Perbandingan):    Pendekatan  antropologis   perlu melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Seperti yang dilakukan Cliffort Geertz pernah membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dengan di Maroko.

Keempat ciri di atas adalah sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan, bahwa dalam kaitan ini pendekatan antropologi lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dimana darinya timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. 

Pendekatan antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis[11].

 

SELAMATAN DALAM KAJIAN ISLAM

A.     Pengertian Selamatan[12] dan Perkembangannya
Ada berbagai macam selamatan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya. Seperti selamatan bangun rumah, aqiqah, pernikahan, nujuh bulan dll.  Tiap dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna mengadakan upacara selamatan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.

Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu.

Dari sinilah manusia pada awalnya, setelah merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha kuat, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Aktifitas yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut dengan “selamatan”. Seiring dengan masuknya kepercayaan Hindu dan Budha pada orang Jawa, maka kepercayaannya pun bertambah lagi, menjadi percaya kepada adanya dewa-dewi. Hal ini akan nampak jelas pada bacaan doa dalam upacara selamatan yang diselenggarakan.

Setelah kedatangan Islam di tanah Jawa, Islam juga ikut mempengaruhi upacara selamatan. Jika pada masa sebelumnya disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian nama-nama dewa-dewi, maka setelah kedatrangan Isalam nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya cukup mewarnainya, dalam doa-doa selamatan.


B.     Selamatan Dalam Islam; Sebuah Kajian Antropologis
1.      Gambaran Singkat Suku Jawa
Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu sahaja di Jakarta, mereka juga banyak ditemukan.

Suku jawa merupakan suatu kelompok sosial yang paling besar kuantitasnya di Indonesia. Dan pada dasarnya, dimana ada kelompok sosial di situlah ada hukum. Menurut Volkgeist, “hukum tumbuh dan berkembang di masyarakat”. Sehingga bisa diambil pemahaman, bahwa tanpa adanya suatu badan hukum pun, suku jawa zaman dulu sudah menerapkan suatu model hukum berupa hukum kebiasaan (adat istiadat).

Hukum kebiasaan atau adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial berupa tradisi yang umumnya bersifat sakral yang mengatur tata kehidupan sosial masyarakat tertentu. Adat istiadat ini sejak lama dianut, hidup, dan berkembang dalam masyarakat tertentu, misalnya upacara pelaksaan perkawinan suku jawa.[13]

Contoh hukum di atas menggambarkan bahwa suku Jawa kental akan adat istiadat yang mereka sendiri menganggapnya sebagai sebuah hukum. Hukum adat suku Jawa tercermin dari banyaknya upacara adat yang dalam kepercayaan mereka upacara itu merupakan sebuah keharusan yang apabila tidak dilakukan akan datang sanksi penguasa alam semesta (bencana).

2.      Kajian Antropologi Pada Suku Jawa
Pada dasarnya antropologi dibagi ke dalam dua garis besar, yakni antropologi fisik dan antropologi budaya:
a)      Antropologi fisik suku Jawa 
Orang Jawa adalah sebutan bagi orang yang tinggal di Jawadwipa[14] atau di pulau Jawa pada dulu kala. Pada saat ini yang dinamakan orang Jawa adalah penduduk yang menghuni di pulau Jawa bagian tengah dan timur yang disebut suku bangsa Jawa dan anak keturunannya. Dalam khasanah Arkeologi, nama Java Man sudah tidak asing lagi, ini menunjuk kepada nenek moyang orang Jawa dikala purba. Situs manusia purba di Indonesia, pulau Jawa adalah di Sangiran yang terbelah sisi utara dan selatan karena dilewati aliran Kali Cemoro yang mengalir dari Gunung Merapi menuju ke Bengawan Solo. Bagian utara termasuk wilayah Desa Krikilan, Sragen, sedangkan yang belahan selatan masuk Desa Krendowahono, Karanganyar.

Penelitian dalam rangka mencari fosil nenek moyang manusia di Sangiran sudah dimulai sejak 1893 oleh peneliti Eugene Dubois. Dia menemukan fosil manusia purba di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, yang dinamakan Pithecanthropus Erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak.

b)     Antropologi budaya suku Jawa
Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental. Adat istiadat suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Ini merupakan sebuah bahan kajian yang sangat menarik untuk dituangkan ke dalam sebuah makalah. Maka, penulis coba kupas satu per-satu dari mulai masa kehamilan sampai kematian pada adat suku jawa.
1)   Adat Istiadat Suku Jawa saat Kehamilan
Saat seorang wanita suku Jawa mengandung dan usia kandungannya sudah mencapai tujuh bulan, mereka akan melakukan semacam ritual selamatan atau biasa disebut mitoni. Salah satu ritual mitoni yang harus dijalankan oleh ibu hamil tersebut adalah tingkeban. Pada ritual ini, wanita yang tengah mengandung dimandikan menggunakan campuran air dan bunga. Kain yang digunakan sebagai kemben pun jumlahnya harus tujuh dan dipakai secara bergantian saat acara tingkeban berlangsung.

2)   Adat Istiadat Suku Jawa saat Upacara Pernikahan
Adat istiadat suku Jawa juga sering dilaksanakan saat upacara pernikahan. Masyarakat suku Jawa percaya akan adanya hari yang baik untuk melaksanakan pernikahan. Hari baik tersebut, biasanya, berpatokan pada buku primbon Jawa. Sebulan sebelum acara pernikahan berlangsung, calon pengantin suku Jawa tidak diperbolehkan untuk saling bertemu. Khusus calon mempelai wanita, biasanya, akan dipingit.

Ritual pingitan ini ditujukan untuk mempersiapkan fisik dan mental si gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Sehari sebelum acara pernikahan, calon mempelai wanita kembali melakukan ritual. Kali ini, ritualnya berupa siraman.

Pada acara siraman, air yang digunakan oleh calon pengantin biasanya sudah dicampur dengan bermacam-macam bunga. Kemudian, malam harinya, diadakan ritual midodareni. Ritual ini biasanya juga menjadi acara pertemuan sebelum pernikahan antara kedua keluarga calon mempelai. Saat acara pernikahan berlangsung, ritual adat istiadat suku Jawa yang dilakukan lebih banyak. Mulai saling melempar sirih hingga ritual membasuh kaki mempelai pria oleh mempelai wanitanya.

3)   Adat Istiadat Suku Jawa saat Upacara Kematian
Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat istiadat pun tidak lepas mengiringi. Ritual yang biasa dilakukan adalah brobosan, yaitu melintas di bawah mayat yang sudah ditandu dengan cara berjongkok. Ritual adat istiadat pun belum selesai hingga di situ. Setahun pertama setelah meninggal, biasanya, pihak keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan selamatan pendak siji, pendak loro, hingga  pendak telu atau selamatan yang dilakukan di tahun ketiga[15].


C.    Kajian Antropologi Islam
Tradisi selamatan suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan do’a. Peserta selamatan (orang jawa) memandangnya sebagai ringkasan tradisi lokal, namun secara totalitas selamatan adalah peristiwa komunal, namun tiak mendefinisikan komunitas secara tegas; selamatan berlangsung melalui ungkapan verbal yang panjang dimana semua orang setuju dengannya, walaupun hadirin secara peorangan belum sepakat akan maknanya. Tetapi manakala upacara ini menyatukan semua orang dalam perspektif yang bersama mengenai manusia, Tuhan, dan dunia, maka upacara yang dilakukan tersebut tidak mewakili pendangan siapapun secara khusus. Apabila dilakukan pengamatan tentang berbagai unsur dalam selamatan ini, maka selamatan merupakan pola kompromi kebudayaan, sikap dan gaya retorik yang diwujudkannya dalam berbagai variasi yang dibawa kedalam nuansa kehidupan keagamaan yang berbeda-beda.

Signifikansi selamatan tergantung pada apa dan bagaimana peserta selamatan menggunakan konse-konsep kunci yang sebagian berasal dari Islam. Sebagian menarik sebagai ajaran ortodok, ada pula yang menempatkan konsep-konsep Islam dalam ajaran Jawa atau memahaminya sebagai simbolisme universal manusia. Namun selamatan juga mencerminkan suatu fungsi kritis dari simbolisme dalam tatanan yang secara ideologis beranekaragam kepentingan yang dapat mendorong kesadaran kolektif untuk menjadikan suatu kesatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa selamatan sebagai “ambiguitas yang teratur”.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.

Kesimpulan
1.    Secara khusus ilmu antropologi tersebut terbagi ke dalam lima sub-ilmu yang mempelajari: (a) masalah asal dan perkembangan manusia atau evolusinya secara biologis; (b) masalah terjadinya aneka ragam cirri fisik manusia; (c) masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam kebudayaan manusia; (d) masalah asal perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa yang diucapkan di seluruh dunia; (e) masalah mengenai asas- asas dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari aneka ragam sukubangsa yang tersebar di seluruh dunia masa kini.
2.    Dalam memahami agama, pendekatan antropologi dapat dilakukan dengan melihat wujud dari praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
3.    Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu.





DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia Press

Haviland, William A. 1999, Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta: Erlangga

Kaplan dan Manners. 1999. Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam Yogyakarta: ACAdeMia

Abudin Nata, 2000. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nurcholish Madjid, 2000. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina

Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan  Studi  Islam,  Dalam  Teori  dan  Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Saifuddin, Achmad  Fedyani, 2006. Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group

Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, 1990. Metodologi Penelitian Agama Yogyakarta: Tiara Wacana


Internet:

Komunitas wong kebumen, Asal-usul Jawa Dwipa, melalui: (http://www.facebook.com/note.php?note_id=125992110785449)

Anne Ahira, Adat istiadat Suku Jawa, melalui:



  



[1] Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press. 1987), hal. 1-2. Lihat pula: Haviland, William A. Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga. 1999), hal. 7
[2] Haviland, William A. Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga. 1999), hal.13
[3] Haviland, William A. Antopologi, hal. 12
[4] Haviland, William A. Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga. 1999), hal. 21
 [5] Kaplan dan Manners. Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999), hal.33
[6] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMia + Tazzafa, 2009), hal. 218.
[7] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal.36.
[8] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. IV. hal. 22.
[9] Mudzhar, Atho.  Pendekatan  Studi  Islam,  Dalam  Teori  dan  Praktek, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998), hal. 13-14
[10] Saifuddin, Achmad  Fedyani, Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta:  Kencana Prenada Media Group, 2006), hal: 63-66.
[11] Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 19.
[12] Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa, yang melambangkan kesatuan.
[13] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung; Ghalia Indonesia, 2004) hlm. 64-65
[14] Komunitas wong kebumen, Asal-usul Jawa Dwipa, melalui: (http://www.facebook.com/note.php?note_id=125992110785449), diakses tanggal 13 juni pada pukul 15.30 wib
[15] Anne Ahira, Adat istiadat Suku Jawa, melalui: (http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-jawa.htm), diakses tanggal 13 Juni pukul 15.10 wib



Share

Khoirul Anam Ahmad al-Hasyimi

Berasal dari kota kecil nan indah di lereng gunung Lawu, Magetan. Bisa dihubungi melalui email: ahmad.elmagetany@gmail.com

0 komentar :

Post a Comment