
A. Pemahaman seputar konsep Dialektika; Mengenal Dialektika Hegel
Dialektika merupakan metode yang dipakai Hegel dalam memahami realitas sebagai perjalanan ide menuju pada kesempurnaan. Menelusuri meteri baginya adalah kesia-siaan sebab materi hanyalan manifestasi dari perjalanan ide tersebut. Dengan dialektika, memahami ide sebagai realitas menjadi dimungkinkan.
Dialektika dapat dipahami sebagai “The Theory of the Union of opposites” (teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan). Terdapat tiga unsur atau konsep dalam memahami dialektika yaitu pertama, tesis, kedua sebagai lawan dari yang pertama disebut dengan antitesis. Dari pertarungan dua unsur ini lalu muncul unsur ketiga yang memperdamaikan keduanya yang disebut dengan sinthesis. Dengan demikian, dialektika dapat juga disebutsebagai proses berfikir secara totalitas yaitu setiap unsur saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), serta saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).
Untuk memahami proses triadic itu (thesis, Antitesis, dan sithesis), Hegel menggunakan kata dalam bahsa Jerman yaitu aufheben, Kata ini memiliki makna “menyangkal”, “menyimpan” dan “mengangkat”. Jadi dialektika bagi Hegel bukanlah penyelesaian kontradiksi dengan meniadakan salah satunya tetapi lebih dari itu. Proposi atau tesis dan lawannya antitesis memiliki kebenaran masing-masing yang kemudian diangkat menjadi kebenaran yang lebih tinggi.
Tj. Lavine menerangkan proses ini sebagai berikut:
1. Menunda klonflik antara tesis dan antitesis.
2. Menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis.
3. Mengungguli perlawanan dan meninggikan konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih tinggi.
Hagel memberikan contoh sebagai berikut “yang mutlak adalah yang berada murni (pure being)” yang tidak memiliki kualitas apapun. Namun yang berada murni tanpa kualitas apapun adalah “yang tiada (nothing)” ini merupakan regasi dari proposi atau tesis, oleh sebab itu kita terarah pada antitesis “yang mutlak adalah yang tiada”. Penyatuan antara tesis dan antitsis tersebut menjadi sinthesis yaitu apa yang disebut menjadi (becoming) maka “yang mutlak adalah yang menjadi”, sinthesis inilah kebenaran yang lebih tinggi.
Dialektika Hegel merupakan alternatif tradisional yang mengasumsikan bahwa proposi haruslah terdiri dari subjek dan predikat. Logika seperti ini bagi Hegel tidaklah memadai. Berikut contoh yang bisa sedikit menerangkan tentang hal tersebut, dalam logika tradisional terdapat proposi sebagai berikut: “Heru adalah seorang paman”, kata paman disini merupakan predikat yang dinyatakan begitu saja benar (benar dengan sendirinya), Heru tidak perlu mengetahui keberadaannya sebagai paman, maka dalam hal ini logika tradisional mengandung cacat.
Hegel menggantinya dengan dialektika untuk menuju pada kebenaran mutlak, paman bagi Hegel tidaklah benar dengan sendirinya, sebab eksistensinya sebagai paman juga membutuhkan eksistensi orang lain sebagai keponakan. Dari perseteruan antara paman sebagai tesis dan keponakan sebagai antitesis maka tidaklah memungkinkan kebenaran parsial atau individual, kesimpulannya adalah kebenaran terdiri dari paman dan keponakan. Jika dialektika ini diteruskan akan mencapai kebenaran absolut yang mencakup keseluruhan.
Tidak ada kebenaran absolut tanpa melalui keseluruhan dialektika. Setiap tahap yang belakangan mengandung semua tahap terdahulu. Sebagaimana larutan, tak satupun darinya yang secara keseluruhan digantikan, tetapi diberi tempat sebagai suatu unsur pokok di dalam keseluruhan.
B. Dialektika sebagai Dasar Internalisasi Nilai Karakter
Fenomena pendidikan karakter masih saja menjadi hal yang menarik untuk dibahas, hal ini karena pendidikan karakter ketercapaiannya dilapangan masih sangatlah diharapkan, hal ini berkaitan dengan adanya usaha pembentukan karakter bangsa yang kuat dan tangguh, sehingga tak mudah teromabng-ambing oleh perubahan zaman ataupun keadaan, dimana perubahan gaya hidup, gaya berfikir sangat cepat berubah pada akhir-akhir ini terutama pada saat teknologi informasi berkembang secara pesat.
Arus globalisasi yang sangat deras mengalir menuntut semua pihak untuk selalu mengantisipasi di berbagai bidang, termasuk juga dalam bidang pendidikan, karena pendidikan disini daiartikan dan dianggap sebagai tempat mendidik dan menciptakan generasi masa depan dari sebuah negara, diharapkan dengan pendidikan karakter ini lembaga pendidikan dapatmemberi jawaban yang menjanjikan dalam menyiapkan generasi yang tangguh dan sehat baik dari sisi jasmani ataupun rohani.
Dari judul ini kami selaku pemakalah berusaha untuk menguak lebih dalam mengenai masalah yang terjadi dalam proses dialektis dalam penanaman nilai, dimana disatu sisi nilai adalah sesuatu yang telah ada dalam keadaan apapun atau dalam waktu kapanpun, kemudian disisi lain pula manusia sudah membawa semacam paradigma yang bergam pula dalam memahami atau menerima nilai tersebut, yang kemudian akan melahirkan nilai yang mempunyai wajah atau bentuk yang berbeda dalam dataran riilnya.
Peserta didik dalam menginternalisasikan nilai moral berlangsung secara dialektik. Teori Berger dan Licman menyatakan bahwa manusia adalah pencipta kenyataan social yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagai kenyataan yang objektif yang mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi(yang mencerminkan kenyataan subjektif).[1]
Dari hal tersebut bisa dijelaskan bahwa manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang telah ada dengan kata lain kenyataan yang ada dalam masyarakat tersebut adalah hasil dari pemikiran manusia yang menghuni dalam daerah regional tersebut, sehingga bisa disimpulkan bahwa kenyataan social tersebut adalah wujud dari kesepakatan bersama dalam membentuk kenyataan tersebut.
Kenyataan sosial ini akan selalu mengalami metamorfosa membentuk kenyataan baru yang disebabkan oleh pemikiran dan pemahaman baru mengenai konsep nilai tersebut, walaupun nilai yang diberikan tersebut sama akan tetapi proses dalam memahaminya akan selalu berbeda, keperbedaan tersebut berdasarkan latarbelakang peserta didik, baik latar belakang agama ras dan lain-lain.
Manusia sebagai mahluk tuhan yang paling tinggi derajatnya selalu memiliki kecondongan untuk mengarah ke sifat dasar manusia itu sendiri. Sifat kodrati diantaranya manusia sebagai mahluk social dengan ciri-ciri sebagai berikut. Pertama manusia selalu berkelompok (group base), baik kontekstual maupun kondisional, bersifat mono multiplex atau pluralistic, merupakan insan politik yang terorganisir (zoon politicon, organized political man), merupakan insan yang terikat dalam lingkaran kehidupan (life circles) yang multi aspek dan multi waktu.[2]
Selain itu dalam buku yang berjudul pendidikan karakter non dikotomik John Locke mengemukakan lima sifat natural manusia dalam posisinya sebagai organized political man yaitu, suka dihormati, mencintai kekuasaan, merasa pintar, ingin selamat, dan ingin hidup abadi.[3]dari berbagai macam sifat dasar tersebut manusia terpengaruh dalam membentuk nilai yang ada dalam masyarakat.
Diantara teori teori tentang nilai social yang ada dalam masyarakat menilai bahwa pola ataupun nilai yang ada dalam masyarakat tersebut ada yang menganggap bahwa nilai itu muncul karena manusialah yang membuatnya, ada juga yang menganggap bahwa nilai itu adalah muncul dengan sendirinya yang kemudian disepoakati untuk dijadikan sebagai pegangan hidup, akan tetapi teori teori tersebut tidak akan kami ulas secara mendalam karena pembahasan itu bukanlah akan memberikan pengerucutan dalam pembahasan ini.
Manusia yang mampu berpikir dialektis melakukan proses tesis antithesis dan synthesis.[4] Tiga hal tesis antithesis dan sintesis tersebut akan dilakukan oleh manusia dan khususnya peserta didik ketika mereka menerima sebuah nilai yang diharapkan akan dilakukan atau diekternalkan.
Dialektika (Ing.: dialectic). Istilah untuk falsafah pemikiran yang menekankan pada hakikat adanya pertentangan dan menyelidiki pertentangan tersebut. Falsafah pemikiran itu berbeda dengan cara pemikiran yang rasional konsekuen. Metode pemikiran dialektik ingin menyatakan diri pada kenyataan yang ada, yang juga mengakui sifat dialektik; bahwa dalam kenyataan dianggap sebagai proses perubahan yang dinamik di mana segala pertentangan saling silih berganti dan silih menyusul. Cara pemikiran ini dalam falsafah kuno pertama kali dijumpai pada Heraklitus dan kemudian secara luas berkembang pada gaya pemikiran Hegel. Prinsip-prinsip dialektik Hegel kemudian diterapkan pada perkembangan masyarakat oleh Marx dan Engels dan dikembangkan menjadi falsafah dunia tentang “dialektika materialisme”.
Dalam Teori Dialektika Hegel, George Wilhein Friederich Hegel (GWF Hegel) (1770 – 1831), merupakan filsuf dari Jerman. Dia sangat terkenal dalam dunia ilmu social, karena melahirkan teori yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan social/kehidupan masyarakat.
GWF Hegel dalam membahas teorinya, berpedoman pada 3 tokoh ilmuwan besar yang sekaligus mengilhami teori yang dilahirkannya. Ke 3 (tiga) ilmuwan tersebut, adalah :
1. Immanuel Kant
2. Johan Gottlieb Fichte.
3. Friedrich Wilhelm Joseph Schelling.
GWF Hegel dalam membangun teorinya, selalu berpedoman pada 3 (tiga) ilmuwan besar tersebut di Atas, sehingga Hegel dalam menciptakan dan membangun teorinya, berpedoman pada prinsip - prinsip sebagai berikut :
1. Idealisme
Berdasarkan prinsip ini, Hegel membangun teorinya dengan mengutamakan pemikiran yang mengutamakan ide/gagasan, sehingga ide dan gagasan itu merupakan sumber kebenaran.
2. Roh mutlak
Pada prinsip ini, Hegel menjunjung tinggi adanya kebebasan / ketidakterikatan dan melahirkan konsepsi social, politik dalam suatu negara.Prinsip Roh Mutlak, dipakai Hegel berdasarkan pendekatan Filsafat, Agama dan Seni.
3. Essensialisme
Prinsip ini menjelaskan bahwa pendidikan itu didasarkan pada nilai – nilai kebudayaan yang telah ada, sehingga dapat memberikan kestabilan dan nilai – nilai terpilih yang punya tata/ketentuan yang jelas.
4. Realisme.
Prinip ini menjelaskan bahwa pendidikan itu didasarkan pada kenyataan – kenyataan yang ada (nyata/ realis).
C. Contoh Dialektika Internalisasi Nilai Karakter
Hegel sebagai filsuf besar dari Jerman, menghasilkan teori yang dikenal dengan istilah DIALEKTIKA HEGEL.Teori ini lahir berdasarkan 3 komponen, yatu filsafat Agama, Seni dan lahir berdasarkan prisnsip idealisme dan roh mutlak.
Teori Dialektika Hegel itu, adalah :
1. Thesis Teori ini didasarkan pada adanya ide / gagasan atau teori yang dipakai. Artinya: Suatu pernyataan / pendapat yang diungkapkan untuk suatu keadaan tertentu. Contoh: Tanah ini basah karena hujan.
2. Antithesis . Teori ini berdasarkan pada alam / Natural. Artinya: Suatu pernyataan/ pendapat yang menyanggah terhadap suatu pernyataan atau suatu pendapat. Contoh : Hari ini tidak hujan.
3. Sintesis, dialektika ini ada berdasarkan ROH MUTLAK. Artinya: Suatu pernyataan atau pendapat berdasarkan rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan yang berlawanan, sehingga muncul pernyataan / pendapat yang baru. Contoh: Oleh karena hari ini tidak hujan, maka tanah ini tidak basah karena hujan.
Dialektika Hegel yang berisi Thesis, Antithesis dan Sintesa, disebut juga dengan istilah Hukum Sosial (Dialektika Sosial), sehingga dalam proses kehidupan di masyarakat, akan berlaku Thesis, Antithesis dan Sintesa, dan lebih kongkritnya bahwa dalam kehidupan masyarakat akan muncul PRO (Thesis), KONTRA (Antithesis) dan SOLUSI / PEMECAHAN (Sintesa).[5]
Teori Hegel yang disebut dengan istilah Teori Dialektika / Hukum Sosial, yang melipti Thesis, Antithesis dan Sintesa, dapat dan ada relevansinya dalam pendidikan di Indonesia, karena :
Teori Hegel (Dialektika Hegel) dapat diterapkan dalam pengembangan dan pemajuan pendidikan di Indonesia, dan hal ini sudah diterapkan oleh Perguruan Taman Siswa, yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantoro.Sehingga dengan hal tersebut, ternyata Teori Hegel (Dialektika Hegel) memiliki relevansi bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Relevansi teori hegel tersebut nampak pada asas – asas Perguruan Taman Siswa, yang dalam salah satu asas Taman Siswa sesuai dengan prinsip essensialisme hegel dan prinsip Roh Mutlak.
Adapun asas – asas Perguruan Taman Siswa , antara lain :
1. Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dengan terbitnnya persatuan dalam perikehidupan umum. (Prinsip Roh Mutlak)
2. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan lahir dan batin , sehingga dapat memerdekan diri. (Prinsip Roh Mutlak).
3. Bahwa pengajaran harus berdasarkan pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri (Prinsip Essensualisme)
4. Asas Kemerdekaan (Prinsip Roh Mutlak)
5. Asas Kebudayaan (Prinsip Essensialisme)
6. Asas Kodrat alam
Berdasarkan asas Perguruan Taman Siswa (terutama asas Kebudayaan, asas Kemerdekaan, asas bahwa pengajaran harus berdasarkan pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri), maka lahirlah Sistem Among sebagai Metode pendidikan.
Adapun System Among tersebut adalah :
1. Ing Ngarso Sung Tuladha. Artinya: Ketika kita ada di depan (jadi pemimpin / tokoh), kita harus dapat memberi contoh yang baik (teladan yang baik) yang mengandung pendidikan kepada anak didik kita / masyarakat sekitar kita.
2. Ing Madya Mangun Karsa. Artinya: Ketika kita berada di tengah – tengah masyarakat/anak didik, kita harus dapat membangkitkan masyarakat/anak didik kita untuk selalu terus maju/ berkarya / belajar.
3. Tut Wuri Handayani. Artinya: Ketika kita di belakang, kita harus dapat mendorong dan member motivasi masyarakat/anak didik kita untuk selalu berusaha / berkarya dan selalu belajar.
Teori Dialektika Hegel (Thesis, Antithesis dan Sintesa) dapat diterapkan dalam mengembangkan dan memajukan pendidikan di Indonesia.
Penerapan tersebut, dapat dilakukan dalam hal :
1. Proses Belajar. Dasar pelaksanaan Prinsip Idealisme, Proses belajar sesuatu diawali dari hal – hal yang kecil dan dekat dengan diri kita sendiri dan semakin lama semakin luas dan mendalam, hal ini seperti prinsip belajar spiral, dari mikrokosmos ke makrokosmos.
2. Pengembangan kurikulum. Untuk mengembangkan kurikulum, maka kurikulum itu harus berpangkal/ berpedoman pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Sehingga dalam pengembangan kurikulum harus didasarkan pada idealisme dan roh mutlak serta Essensialisme.
3. Pembelajaran Sejarah. Teori Dialektika Hegel dapat digunakan dalam proses pembelajaran Sejarah (IPS Sejarah), karena dalam dialektika hegel dikembangkan metode sejarah. Metode Sejarah yang dikembangkan Hegel , meliputi:
a. Sejarah Asli, Dalam metode ini yang dipelajari berupa perbuatan, peristiwa dan keadaan sejarah.
b. Sejarah Reflektif. Pembelajaran sejarah dilakukan dengan cara bahwa penyajian sejarah tidak mengenal batas waktu, sehingga dapat melampaui batas waktu.
c. Sejarah Filsafati. Dalam metode ini, sejarah diajarkan sebagai konsepsi sederhana tentang rasio, sehingga kita dapat mengenal sejarah dunia. Berdasarkan metode sejarah filsafati, kita dapat membuka cakrawala intelektual kita secara luas, sehingga kita dapat mensikapi sejarah itu sebagai perwujudan/perubahan kondisi masyarakat ke depan, hal ini karena filsafati sejarah itu didasarkan pada Roh Mutlak (Roh dunia, rasio manusia dan kebebasan memperoleh makna dan posisi yang nyaman dalam konteks sejarah).[6]
Setelah manusia dalam hal ini peserta didik mampu melakukan ketiga hal itu yaitu thesis antithesis dan sintesis ini akan melahirkan pandangan bahwa masyarakat adalah produk dari manusia dan manusia adalah merupakan produk masyarakat.
Artinya dalam hal ini norma nilai dan aturan apapun yang ad dalam masyarakat tersebut merupakan hasil dari gagasan manusia yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah budaya yang disepakati bersama, hal itu beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari ide, kemudian manusia adalah produk masyarakat artinya manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk individu akan terinternalisasi sebuah nilai yang ada dimasyarakat tersebut, yang kemudian dari hal itu manusia akan membentuk dirinya sesuai dengan apa yang ada dimasyarakat.
Oleh karena itu berpikir dialektis berlangsung dalam tiga proses secara simultan, yaitu (1)eksternalisasi atau penyesuaian diri dengan dunia sosia cultural sebagai produk manusia, (2) objektifikasi atau interaksi social dalam dunia intersubjektif dan dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi dan (3) internalisasi atau pengidentifikasian diri dengan lembaga-lembaga social atau organisasi social tempat individu menjadi anggotanya.[7]
Manusia ketika masuk kedalam sebuah masyarakat tentu sudah mempunyai nilai, budaya, norma pemahaman yang tertanam dalam pikiran dan kepribadiannya, sehingga ketika melihat atau berada dalam masyarakat yang baru maka secara otomatis manusia tersebut akan menyesuaikan kepribadian pemahaman dan nilai yang ada dalam dirinya dengan nilai yang ada dimasyarakat tersebut.
Setelah mengalami proses penyesuaian diri maka tahap selanjutnya orang tersebut akan serta merta masuk kedalam masyarakat tersebut dengan pemahaman yang sama terhadap nilai-nilai yang ada dlam masyarakat tempat mereka tinggal, dan selanjutnya mereka akan mengalami identifikasi atau pelekatan sebuah cirri-ciri yang ada dalam masyarakat tersebut, sehingga pada akhirnya baik dari persepsi maupun keadaan dari orang tersebut akan sama dengan masyarakat tempat ia tinggal.
Khusus dalam masalah pendidikan,terutama dalam proses pembelajaran, Guru meletakkan dasar atau pondasi semua nilai moral berdasarkan rasional. Karena semua tindakan gurudapat dilihat, bagi yang melihatnya dapat merasakan dan memahami alasan mengapa perbuatan dan tindakan itu dilakukan sedemikian rupa.[8]
Cara atau penanaman nilai kepada peserta didik hendaknya disampaikan secara rasional, dalam artian manfaat dari tindakan itu ketika dilakukan, menyebabkan munculnya akibat yang dapat diamati dirasakan, dan dinikmati.
Kecenderungan dari para siswa akan menerima suatu nilai manakala nilai yang diberikan tersebut dapat diterima oleh akal, dan konsep nilai tersebut menyenangkan, sehingga ketika mereka menerimanya, maka kemudian akan dilakukanlah nilai tersebut secara ihlas atau penuh kesadaran karena nilai pada dasarnya adalah apa yang menyenangkan apa yang masuk akal dan apa saja yang indah baik dan selaras.
Sebagaimana pengertian nilai adalah segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi kehidupan seseorang yang dipertimbangkan berdasarkan salah dan benar, baik dan buruk indah dan tidak indah yang orientasinya bersifat antroposentris dan theosentris.
Sebagai orang yang beragama tentu saja meniali sebuah benar dan salah baik dan burukindah dan tidak indah tersebut tidak terlepas dari subjektifitas seseorang yang mempunyai latar belakang dari agama yang mereka anut, pada dasarnya nilai itu bersifat universal dan lepas dari latar belakang apapun, dalam artian bahwa hakikatnya nilai dari sesuatu itu adalah satu, dan yang membuat berbeda dari wajah nilai tersebut adalah pada cara pandang yang dipakai dalam memahami sebuah nilai yang ada didepannya.
Terkadang meski pemahaman akan nilai itu telah melekat pada diri peserta didik akan tetapi kebanyakan dari peserta didik belumlah mencapai kesadaran total dalam menjalankan nilai yang dipahaminya itu, dalam membentuk kesadaran dalam melakukan nilai itu dibutuhkanlah sebuah proses pemikiran yang disebut pemikiran dialektik.
Kesimpulan
Peran guru dalam dunia pendidikan sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik, baik secara konseptual ataupun dalam alam nyata, selain itu guru bagi siswanya adalah ibarat buku hidup yang dapat berjalan, dan dapat dibaca walaupun tanpa aksara, disini guru adalah sebagai cermin bagi peserta didik, dan dalam hal ini nilai atau karakter akan sangat mudah diinternalisasikan kepeserta didik manakala seorang pendidik melaksanakan nilai tersebut dalam kehidupannya sehingga niali itu tampak nyata rasional sehingga akan mudah untuk ditangkap dalam alam pikir peserta didik.
Dalam pembahasan mengenai nilai diatas yang menjadikan dialektika sebagai dasar internalisasi nilai, sangatlah menarik karena ada kecocokan antara konsep dialektik dengan nilai pendidikan yang ada diIndonesia, dalam konsep dialektik terkandung thesis antithesis dan sintesis.
Dilihat dari sisi pengembangan nilai, pendidikan nilai adalah suatu proses ilmiah yang mengembangkan format kemampuan dan pemikiran yang diinginkan yang berhubungan dengan isu-isu nilai baik dalam aspek pengembangan nilai kepribadian yang berkenaan dengan nilai-nilai individu, dan nilai kemasyarakatan, dan kebangsaan.
DAFTAR PUSTAKA
Maksudin, Pendidikan Nilai Komprehensif Teori dan prkatik.(Yogyakarta: UNY Press 2009).
Maksudin, M.Ag.Pendidikan Karakter Non Dikotomik, (Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2013)
Teuku Ramli Zakaria, Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti, dalam:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/pendekatan_pendidikan_teuku_ramli.htm.
http://suksespend.blogspot.com/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html
------------------------------------
[1] Maksudin, Pendidikan Nilai Komprehensif Teori dan prkatik. (Yogyakarta: UNY Press 2009), hal.52
[2] Maksudin. Pendidikan Karakter Non Dikotomik,(Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2013),hal 9
[3] Maksudin. Pendidikan Karakter, hal.9
[4] Maksudin. Pendidikan Karakter, hal.52
[5] http://suksespend.blogspot.com/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html (diakses tgl. 17 Maret 2014)
[6] Teuku Ramli Zakaria, Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai danImplementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti, dalam: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/pendekatan_pendidikan_teuku_ramli.htm. (diakses 17 Maret 2014)
[7] Dr.H. Maksudin, M.Ag.Pendidikan Karakter Non Dikotomik, (Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2013), hal 52.
[8]Ibid, hal 53.
0 komentar :
Post a Comment