Selamat datang di kota kenangan, begitu ujarku pada diri sendiri. Sabtu pertama bulan april tahun ini, langit surabaya begitu cerah pagi itu, karena memang hujan telah ditumpahkan sepanjang malam sebelumnya. Perjalanan dari Magetan-Surabaya pun seolah terobati dengan pemandangan kota pahlawan ini. Ada yang bergeser dan bukan berubah sepenuhnya, ada yang baru tanpa menggeser yang lama. Bangunan-bangunan dengan konstruksi baru, orang-orang dengan pikiran maju. Kalimat itulah yang dulu sering ku ucapkan. Surabaya, tempat yang tepat menjadikan hal realis menjadi surealis dan ruang yang lapang untuk memparodikan rasa suka menjadi sebuah kebiasaan.
Di Surabaya, kita bisa “jatuh cinta” dimana saja dan kapan saja. Maksudku, cinta dalam soal citarasa, pilihan, aktifitas, kumpulan, persaingan, pekerjaan dan surga-nerakanya kehidupan. Disisi lain, aku mengenal kota ini dari beberapa kebiasaan. Dari suasana siang dengan panas yang terik dan berdebu, teriakan para kernet bus dan juga suara ribut klakson dari berbagaimacam kendaraan yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Hujan di Surabaya, hanya menjadikannya tampak biasa. Bagaimanapun juga, Surabaya akan tampak lebih gagah dengan panas-nya.
Setelah mengunjungi beberapa kawan dan kampus tempatku menimba ilmu dulu. Terbersit keinginan lain untuk menelusuri beberapa tempat kenangan di Kota ini. Tapi dengan waktu yang hanya satu hari, aku hanya mengunjungi dua tempat. Yang pertama adalah Tugu Pahlawan. Tugu yang didirikan 10 November 1951 dan diresmikan pada 10 november 1952 oleh Ir. Soekarno ini mencapai tinggi 41 meter. Dulu, aku datang ke tempat ini hampir setiap minggu. Jika kau di Surabaya datanglah pada minggu pagi, tempat ini bagaikan lautan manusia. Selain bagi mereka yang ingin bermain ataupun berolah raga di dalam kompleks tugu pahlawan, disepanjang jalan yang melingkari kompleks ini terdapat pasar minggu yang ramainya bukan main hingga membuat macet jalur menuju arah ampel dan sekitarnya.
Dipasar ini juga di jual berbagai macam barang dengan harga yang relatif murah. Tapi anda juga harus teliti memilih barang dan juga harus pandai-pandai menawarnya.
Tempat kedua yang ku kunjungi adalah Ampel dento, atau makam sunan ampel. “Ngajenono adat istiadat wonten ing ampel, hurmati adat istiadat daerah ampel”, sebuah tulisan yang tertulis di tembok sebelah timur Masjid Ampel ini mengingatkan sekaligus memperingatkan para pengunjung agar “menghormati” adat yang sudah terbentuk di ampel. Masjid Sunan Ampel yang dibangun dengan gaya arsitektur jawa kuno dan dengan nuansa arab islami yang sangat lekat ini terasa kental bagi masyarakat setempat.
Jika kau berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa mampir ke Pasar “lorong” Ampel. Semua perlengkapan muslim tersedia disana dengan harga relatif murah. Uniknya lagi tidak hanya barang buatan daerah sekitar Jatim yang dijual, tapi juga asli buatan Timur Tengah. Sebagian orang berkata bahwa Pasar ini (juga) dikenal dengan Pasar Seng Ampel karena mirip dengan Pasar Seng yang ada di Mekah.
0 komentar :
Post a Comment