Sebagai guru dan orang tua tentunya kita sudah tahu teori atau konsep tentang Reward and Punishment. Di sekolah kami biasa disebut Rewards and Consequences. Istilah Iming-iming sendiri adalah kata lain dari reward yang diberikan kepada peserta didik atau anak-anak kita jika melakukan suatu perbuatan baik.
Memang ada sedikit perbedaan antara iming-iming dan reward itu sendiri. Reward bisa diberikan langsung tanpa ada perjanjian di awal. Asalkan anak-anak melakukan sesuatu yang baik, maka kita bisa memberi reward kepada mereka, minimal adalah pujian atas perbuatan tersebut. Beda halnya dengan iming-iming yang umumnya disampaikan di awal sebelum munculnya perbuatan itu. Rumus “IF” sebagaimana formula dalam microsoft excel digunakan disini. “IF” begini mendapat ini, “IF” begitu akan mendapat itu. Walaupun terkesan ada “transaksional” pada reward jenis ini.
Umumnya, anak-anak usia PAUD-SD memang lebih tertarik sesuatu yang konkrit daripada abstrak. Iming-iming akan adanya hadiah (berwujud) akan menarik minat mereka dalam melakukan sesuatu perbuatan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah perbuatan baik itu akan melekat pada diri anak jika suatu saat tidak ada hadiah?
Istilah reward atau punishment memang bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan anak. Reward atau hadiah, meskipun hanya berbentuk poin atau pujian, diberikan kepada seorang anak ketika ia berhasil mencapai sebuah tahap perkembangan tertentu, membuat prestasi atau berhasil meraih target tertentu. Sedangkan istilah punishment, atau consequences (konsekuensi), diberikan ketika target-target tidak tercapai atau ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ditanamkan oleh guru.
Consequences memang efektif untuk jangka pendek, daripada membiarkan sang anak berbuat “kesalahan” yang justru akan berdampak lebih beresiko untuk perkembangan mereka. Dengan punishment / consequences, anak akan takut mengulangi kesalahannya. Tapi, sebuah consequences tidak akan berpengaruh dalam jangka waktu yang panjang. Karena itu, untuk membentuk suatu perilaku yang diharapkan, penggunaan sistem iming-iming yang memotivasi, reward atau hadiah/penghargaan lebih disarankan.
Memberi consequences bukan berarti tidak bermanfaat sama sekali, atau memberi reward selalu bisa mengatasi anak yang “nakal”. Alangkah lebih baik dan bijak jika kita mampu menempatkannya secara proporsional. Baik memberi hukuman (consequences) maupun memberikan iming-iming hadiah (reward), keduanya adalah cara yang digunakan untuk merangsang anak agar belajar yang di dorong oleh kesadaran mereka sendiri. Bukan karena paksaan atau tekanan orang lain. Mereka melakukan dan mempelajari sesuatu untuk kebaikan mereka sendiri.
Mengajar anak-anak, apalagi usia dini sampai sekolah dasar adalah hal yang berbeda dari mengajar mereka yang sudah duduk di tingkat sekolah menengah pertama atau pun sekolah menengah atas. Mengajari anak-anak bukan hanya terfokus pada apa materi yang disampaikan saja, melainkan (juga) tentang bagaimana cara penyampaiannya. The art of teaching.
Cara penyampaian yang tidak “cocok” akan berpengaruh pada seberapa besar prosentase materi yang dapat mereka serap. Artinya, keberhasilan transformasi ilmu bisa dilihat dari cara penyampaian materi itu sendiri. Belum lagi didalam sebuah komunitas, kita tentu akan menemui mereka-mereka yang termasuk Developing child yang memerlukan pendekatan lebih daripada anak-anak yang lainnya.
Pada dasarnya, sekolah, adalah tempat pembelajaran dua arah. Pembelajaran yang tidak hanya selalu anak didik yang belajar dari guru. Disisi lain, guru -sebenarnya- juga belajar dari para anak didik. Disadari atau tidak, ada pelajaran dan juga ada banyak hikmah yang dapat kita ambil dari interaksi kita dengan anak-anak baik selama proses belajar-mengajar berlangsung maupun kegiatan-kegiatan diluar itu.
Sebut saja misalnya, kita akan selalu belajar menemukan sebuah cara penyampaian materi yang lebih mengena, paling tidak dengan cara kita sendiri. Kita juga belajar untuk mengendalikan situasi dalam kelas, mengendalikan anak-anak yang mempunyai “keaktifan” yang berbeda dan yang paling penting adalah kita mengendalikan emosi dan diri kita sendiri.
Selain itu, anak mempunyai “kebiasaan” yang jarang kita temui dalam kehidupan orang dewasa. Misalnya, apabila mereka berseteru akan sesuatu hal atau pun ada “perkelahian” diantara mereka, dalam kurun waktu yang relatif singkat mereka akan kembali seperti biasa dan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Anak-anak, tentang belajar dan kenakalan, adalah sebuah kontras yang mengasyikkan. Namun, bagi kita guru dan orang tua, mari kita ubah dan arahkan “kenakalan” itu menjadi sebuah prestasi positif tersendiri. Dalam sebuah pepatah arab dikatakan,
Selain itu, anak mempunyai “kebiasaan” yang jarang kita temui dalam kehidupan orang dewasa. Misalnya, apabila mereka berseteru akan sesuatu hal atau pun ada “perkelahian” diantara mereka, dalam kurun waktu yang relatif singkat mereka akan kembali seperti biasa dan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Anak-anak, tentang belajar dan kenakalan, adalah sebuah kontras yang mengasyikkan. Namun, bagi kita guru dan orang tua, mari kita ubah dan arahkan “kenakalan” itu menjadi sebuah prestasi positif tersendiri. Dalam sebuah pepatah arab dikatakan,
At-Thariiqatu ahammu minal maadati,
Wal Mudarrisu ahammu minat Thariiqati,
Wa Ruuhul Mudarrisi ahammu min kulli syaiin.
Metode lebih penting daripada materi yang disampaikan, Seorang pendidik (guru) lebih penting daripada metode itu sendiri, tapi Semangat dan kreatifitas guru lebih penting dari semuanya.
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
0 komentar :
Post a Comment