— a Page of Dhikr —
Home » ; Pendidikan Karakter dengan konsep Whole school Approach

Pendidikan Karakter dengan konsep Whole school Approach

Written By ahmadhikr on 19 September 2018 | 11:09:00 AM

Geregetan pastinya, ketika mendengar seorang anak kecil dengan fasihnya berbicara kotor. Sedih, ketika anak-anak seumuran sd/smp sudah mulai meninggalkan sholat yang merupakan kewajiban kita sebagai seorang muslim. Lebih menyedihkan lagi jika kita coba bertanya kepada mereka, dan jawaban yang muncul adalah karena orang tua mereka juga seperti itu, atau paling tidak, easy going, tidak ada kepedulian sama sekali dengan membiarkan hal tersebut.


Pendidikan anak, terlebih pendidikan karakter tidak pernah bisa berdiri sendiri. Perlu adanya visi yang sama antara orang tua, sekolah dan lingkungan. Hal yang disebut pertama adalah yang paling penting, pendidikan oleh orang tua (keluarga). Pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga sejatinya adalah imun/kekebalan yang sangat diperlukan anak sebagai dasar kekuatan untuk menyaring dan menolak hal-hal yang kurang baik dari lingkungan. Adapun sekolah berperan sebagai pihak yang membantu untuk mengembangkan pendidikan karakter tersebut.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan salah satu alumni sekolah kami. Dia melanjutkan sekolah menengah pertamanya di tempat lain. Sontan saya kaget dengan bahasa yang dia gunakan sekarang. Terlebih lagi, dia mengakui bahwa hal-hal yang menjadi pendidikan pembiasaan (habituation) yang kami biasakan dan tanamkan dulu di sekolah ternyata sudah tidak pernah dilanjutkan. Lebih mengejutkan lagi ketika dia bilang sudah jarang sholat, kenapa?, “karena orang tua juga jarang sholat”, jawabnya.

Dari cerita pertemuan diatas dapat disimpulkan bahwa seberapa-pun sering kita bahas masalah pendidikan karakter ini, tidak akan pernah ada habisnya jika konsep pendidikan keluarga, sekolah dan lingkungan tidak se-frekuensi. Paling tidak antara yang pertama dan kedua, mengingat pengertian lingkungan yang sangat luas. Seperti yang disampaikan diatas, bahwa keluarga adalah imun yang dapat menguatkan kekebalan karakter anak dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik. Dari mana-pun.

Kita tidak bisa selalu menyalahkan lingkungan, media TV, Internet, dan sebagainya. Karena perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Perputaran bisnis media TV adalah lahan yang basah bagi mereka-mereka yang disana. Apalagi pada era digitalisasi Revolusi Industri 4.0 ini. Trus, sampai kapan kita bisa melempar kesalahan dengan apa yang terjadi pada anak-anak kita?

Tentu kita harus merespon perkembangan ini. Namun, seberapa besar dan seberapa jauh kemampuan kita dalam menghilangkan dan memfilter pengaruh-pengaruh yang kurang baik yang muncul seiring dengan perkembangan zaman ini kalau tidak kita awali dari diri kita dan keluarga. Banyak sekali seminar-seminar parenting yang terjadi saat ini. Hal ini karena tidak hanya anak-anak yang perlu “sekolah”, tetapi orang tua-pun perlu “disekolahkan”.

Banyak dari kita yang kurang mengerti bagaimana mendidik anak dengan baik. Ada yang mengerti, tapi kurang peduli. Bahkan tidak sedikit yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah yang tidak diimbangi dengan pendidikan di rumah, yang tentunya, orang tua-lah yang berperan sebagai gurunya. Sekolah hanyalah miniatur kehidupan skala kecil. Kebiasaan beribadah, bersosial, dan mengembangkan karakter serta minat-bakat. Bukan bengkel ketok magic.

Menurut T. Lickona yang dikutip Hernowo (Mengikat Makna...;Bandung: Kaifa, 2009): ada tiga kegiatan penting dalam mendidik karakter, knowing, loving, dan acting the good.  Tidak mungkin mendidik seorang hanya berdasarkan knowing the good, yaitu bagaimana mengetahui tentang karakter yang baik cukup di kelas maupun di rumah. Knowing perlu dibarengi dengan loving, yaitu sebuah upaya untuk mencintai karakter yang baik itu sendiri. Knowing dan loving the good pun belum cukup, diperlukan yang ketiga, yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter, yaitu bagaimana memunculkan seseorang yang mau dan mampu memberikan contoh atau teladan dalam menjalankan karakter yang baik (acting the good).

Teladan. Itulah yang kurang dari pendidikan kita. Baik orang tua, guru, maupun kelompok yang lebih besar, masyarakat. Tidak banyak keteladanan baik yang bisa anak-anak tiru. Pada akhirnya hanya bisa menyalahkan keadaan, perkembangan teknologi, dan sebagainya.

Coba kita tengok sekilas pendidikan di pesantren. Memang, tidak semua pesantren dapat menerapkan pendidikan yang proporsional. Namun, secara umum, pesantren mempunyai keteladanan-keteladanan yang dapat dilihat dan ditiru yang dicontohkan oleh pendidik/ustadz di dalamnya. Konsep pendidikan secara menyeluruh (whole school approach) mereka terapkan. Keterkaitan dan keselarasan pendidikan di sekolah, boarding/asrama maupun lingkungan sekitar. Hal ini diperlukan dalam menumbuh-kembangkan pendidikan karakter anak, peserta didik maupun santri. Sehingga imun anak dapat berkembang yang secara otomatis dapat menolak pengaruh-pengaruh yang kurang baik yang ada di masyarakat.

Konsep pendidikan secara menyeluruh (whole school approach) ini tentunya perlu diterapkan di-semua sekolah. Pendidikan yang dikomunikasikan dan melibatkan orang tua sebagai guru di rumah. Sehingga sekolah tidak berjalan sendiri dan orang tua tidak berjalan di jalan yang berbeda. Maka kesamaan frekuensi visi ini dapat membantu tumbuh kembang karakter anak. Jika tidak ada kesamaan visi, tujuan, kerjasama dan yang tidak kalah penting, keteladanan, mau sekolah dalam jangka waktu yang lama maupun kurikulum yang sangat baik konsepnya-pun tidak akan maksimal hasilnya.

Wallahu a’lam.


Semoga bermanfaat.




Share

ahmadhikr

Berasal dari kota kecil nan indah di lereng gunung Lawu, Magetan. Bisa dihubungi melalui email: ahmad.elmagetany@gmail.com

1 komentar :

  1. The Titanium Mountain Bike and a
    ‎The titanium titanium scooter bars mountain bike harbor freight titanium welder · ‎The ‎Cetis Classic, the Bicycle citizen titanium watch Classic, silicone dab rig with titanium nail and the titanium wallet Premium Classic.

    ReplyDelete